Thursday, July 3, 2014

Prabowo atau Jokowi, adalah Putra Terbaik Bangsa

Presiden RI yang pertama, Soekarno, ketika sedang melakukan shalat.

Siapa pun kelak yang memimpin negara ini, kita tak akan pernah berhenti meraut perjuangan dan melakukan perbaikan. Sebab bukan kepada negara atau pemimpin kita mengabdi yang sebenarnya, melainkan hanya kepada Allah SWT. Dan tugas menegakkan kebenaran dan keadilan bukan berarti sekadar menjadi warga negara yang baik. Adil bukan (hanya) perkara antara rakyat dan penguasa, antara negara dan warganya. Adil yang sejati adalah sikap seorang anak manusia sebagai hamba dengan Tuhannya, yang telah terpancang sejak zaman alastu.

Hiruk pikuk politik tanah air kita menjelang pemilihan umum (seperti biasa) tampak begitu gaduh dan ribut luar biasa. Ini tak mengejutkan dan seharusnya menjadi biasa bagi kita. Membicarakan kepemimpinan seolah perlu dilakukan tiap lima tahun sekali, walau sebenarnya ia harus dipikirkan dengan saksama dalam waktu yang panjang. Politik sebenarnya bukan kegiatan lima tahunan, politik seharusnya berlaku setiap hari. Namun karena kita adalah bangsa yang suka “rame-rame”, untuk kemudian lupa, maka perilaku ribut menjadi hal yang lumrah walaupun sebenarnya tragis.

Umat Islam di Indonesia pun seperti punya jadwal sendiri untuk ribut. Dan perkara yang paling lumrah diributkan ialah mengenai Islam dan demokrasi. Satu kubu menyatakan Islam bertentangan dengan demokrasi dan dengan demikian haram hukumnya terlibat dalam demokrasi, sementara kubu lain menerima demokrasi dan menganggapnya sebagai jalan juang yang patut ditempuh guna terbitnya fajar Islam di persada Indonesia.


Kedua kubu –tampaknya- jarang-jarang mempelajari demokrasi secara saksama, sehingga begitu saja menerima bahwa apa yang terjadi di negeri ini memang sebuah proses yang demokratis. Sehingga walaupun demokrasi yang berlaku ternyata dilakukan dengan anomali dan penuh cacat, tampaknya tak selalu menjadi perhatian yang sungguh-sungguh. Dan yang jelas, kita malas menggali gagasan politik yang lahir dari buah pikir para ulama. Kita lebih senang berjalan dengan cara yang serba tanggung (mentah) dan beralas pada ketidakmengertian persoalan yang terang-benderang.

Maka pemilu dengan segala “kebrutalannya” disikapi dengan tak benar-benar jelas oleh orang-orang Islam. Kita mengikuti dan menjalani pemilu dengan kegamangan luar biasa. Jadi amatlah wajar bila dalam setiap pemilu, partai Islam tak pernah menang.

Kita begitu bersemangat dan boros mengumbar kata-kata juang (takbir dll.) dalam masa kampanye, tapi sekaligus kita miskin gagasan mengenai cita politik Islam. Kita jarang menyepuh hubungan Islam dan politik secara serius. Maka pentas politik kita yang nampak adalah hura-hura, urakan, dan cenderung tak memiliki arah. Ringkas kata, pentas politik kita adalah ngawur dan nekad.

Kampanye partai politik yang cenderung "asal rame".

Pertarungan politik akhir-akhir ini jauh dari pertarungan ide, gagasan, dan ideologi. Yang dipertarungkan adalah kekuatan-kekuatan purba seperti kekuatan fisik, uang dan juga hasrat insting hewaniyah. Kita mempertarungkan seberapa banyak pendukung kita, bukan seberapa kuat gagasan dan pemikiran kita. Kita tak mempertarungkan gagasan dalam politik hari ini, tapi berebut kuasa dengan cara yang awuntah.

Ketika pemilu legislatif berlalu, kita berhadapan dengan kenyataan bahwa partai-partai Islam hanyalah partai kelas menengah yang tampak gugup berhadapan dengan partai-partai nasionalis-sekuler. Upaya mempersatukan partai-partai Islam selalu kandas, karena memang hanya merupakan harapan kosong belaka. Dan yang menjadi pertanyaan sesungguhnya adalah, kita akan bersatu di atas ide apa, jika kita sebenarnya tak pernah punya ide (gagasan) apapun mengenai persatuan dan kesatuan?

Yang kita miliki hanyalah hasrat untuk menang dan berkuasa dengan mengusung lencana jumlah dan simbol-simbol fanatisme yang tak tentu arah itu. Kita masih selalu mempertaruhkan jumlah besar dan banyak (kuantitas), bukan gagasan besar dan bermutu (kualitas). Gagalnya gagasan rapuh mengenai persatuan partai-partai Islam untuk mengusung sendiri seorang calon presiden dari kalangan umat Islam dapat dipandang sebagai kebangkrutan visi politik Islam. Karena bukan persatuan semata yang menjadi soal, tapi memang kita sudah terlalu lama abai dan malas untuk menyepuh soal-soal politik, soal-soal kebangsaan dan soal-soal ke-Indonesiaan.

Diantara para tokoh pemimpin umat Islam yang sangat berpengaruh: KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH Hasyim Asy'ari (Nahdlatul Ulama), dan Buya Muhammad Natsir (Masyumi).

Apa arti Indonesia bagi kita umat Islam? Bagaimana kita menafsirkan Pancasila? Bagaimana Islam dan Indonesia seharusnya berjalin berkelindan? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu hanya akan membentur jidat para politisi yang begitu angkuh dengan perolehan jumlah suara. Pikiran mereka kian lama kian tumpul soal kebangsaan. Dan umat menjadi sepi dan miskin akan makna Indonesia, akan makna Pancasila. Umat menjadi asing akan makna tanah air dan kebangsaan. Indonesia menjadi sekadar tempat lahir, hidup, beranak-pinak -yang entah bermakna atau tidak- dan akhirnya mati. Pancasila menjadi seonggok gagasan yang tak hendak dimengerti dengan kesungguhan, yang ada dan tiadanya tak lagi berarti bagi sebagian besar umat Islam.

Keadaan ini, dimana umat tak memiliki visi politik yang jelas dan terarah namun ribut terus tentang politik, sementara para politisi dan pemimpin kita makin terjebak pada kuasa duniawi, menjadikan kita terlihat sebagai umat yang tak pandai bersyukur. Sebagai umat yang tak tahu terima kasih. Padahal Allah SWT telah menjadikan Indonesia sebagai rahmat dan kenikmatan yang tidak terperi yang seharusnya kita syukuri.

Ulama dan pemimpin kita di masa lalu telah berupaya keras menyepuh Indonesia dengan semangat Islam. Jika kita lalai dan abai, tak hendak mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, maka kita adalah umat yang tak tahu terima kasih kepada Buya M. Natsir, Buya Hamka, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Agus Salim, A. Hassan, dan para tokoh pemimpin kita yang lain. Merekalah yang berlelah-lelah menafsirkan Indonesia serta mencanang-juangkan visi politik Islam namun kita jugalah yang melupakan mereka. Lalu dengan apa kita akan menempuh jalan politik kita?

BJ Habibie mengucapkan sumpah dan janji sebagai Presiden RI, menggantikan Presiden Soeharto yang dipaksa lengser oleh mahasiswa dan rakyat melalui peristiwa reformasi tahun 1998.

Mencari Presiden: Harusnya Kita Biasa Saja
Seharusnya, kita adalah umat yang tak takut dipimpin Prabowo dan sudah tahu caranya kalau dipimpin oleh Jokowi. Kita sebenarnya bukan umat kemarin sore yang tak punya pengalaman apa-apa perihal politik. Belanda, penjajah itu, beratus tahun menikam kita dan selama itu pula kita tetap teguh melawannya. Belanda bisa menguasai tanah kita, merampok kekayaan alam kita, tapi ia tak dapat merebut iman kita. Jika kita terikat dengan lajur juang para ulama di Melayu-Nusantara ini, harusnya semangat Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Hasanuddin dan para pejuang pahlawan lainnya mengalir deras di dalam jiwa kita. Dan itulah modal kita sebenarnya untuk menghadapi hari ini dan masa depan.

Kita (jika kata “kita” mengikat umat sekarang dengan gagasan ulama terdahulu) pernah menghadapi tekanan ala Soekarno, atau tipu muslihat ala Soeharto, dan kita mampu menghadapi semua keadaan itu. Kita bergumul dalam perjalanan politik yang panjang dengan berbagai sifat dan karakter pemimpin bangsa kita. Kita pernah berjabat tangan dengan Soekarno tapi tak ragu pula ketika berbeda pandangan dan bahkan bertentangan dengan beliau. Kita pernah berharap banyak pada Soeharto, terutama pada awal masa orde baru, tapi kita serempak melawan ketika ditindas, dan kemudian kita juga tak ragu untuk kembali bekerja sama ketika sikap Pak Harto ternyata berubah menjelang runtuhnya orde baru.

Tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit dalam salah satu pidato politik di tengah massa rakyat sekitar tahun 1960-an.

Gemuruh peristiwa 1965 dan keributan politik tahun 1998 pernah kita hadapi dengan berbagai kecamuk pikiran dan perasaan. Pada 1965, kita berdiri tegak menghadapi cara-cara brutal Partai Komunis Indonesia (PKI). Fitnah, tuduhan, kekerasan fisik, ancaman, hinaan bahkan pembunuhan, pernah kita hadapi bersama-sama. Apa yang menimpa Buya Hamka, tuduhan berat kepada Buya M. Natsir dan para tokoh Islam yang lain, harusnya kita pelajari sungguh-sungguh dan dengan itu kita tegak berdiri. Kita tak perlu menjadi kaum perengek dan cengeng karena ada di lajur sejarah para pemberani yang memiliki keteguhan iman. Pada 1998 kita terlibat berkelindan dalam kerja politik yang melelahkan. Dan apa yang telah terjadi sepantasnya kita ambil pelajaran darinya. Mungkin kita atau pemimpin kita pernah keliru, tapi itu bukan untuk diratapi, dicaci-maki dan dikutuki. Kita sungguh dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga daripadanya.

Apa susahnya dipimpin Prabowo dan apa masalahnya dipimpin Jokowi? Kita pernah lebih dari itu dan kita telah teruji sanggup menghadapi semuanya dengan berani. Kita tak perlu takut dengan Prabowo yang tampak galak dan bergaya seperti macan dan penggebuk. Umat ini ratusan kali digebuk dengan berbagai cara, tapi kita tetap tegar berdiri. Dan belum tentu pula bila Prabowo jadi presiden dia akan jadi tukang gebuk macam mertuanya (Soeharto) dulu.

Prabowo, Megawati dan Jokowi, ketiganya pernah berbaju sama "kotak-kotak".

Lalu Jokowi. Kita pernah dipimpin bos-nya (atasannya) Jokowi, Megawati. Bangsa ini bahkan pernah dipimpin bapaknya Megawati (Soekarno), yang pandai berpidato membusa-busa mengenai apa saja. Kita juga sudah berlatih dipimpin presiden semacam Pak SBY selama 10 tahun. Harusnya itu semua cukup untuk mampu menghadapi pemimpin macam Jokowi. Apa masalahnya?

Pada akhirnya bukan siapa yang akan memimpin kita namun bagaimana kita menghadapinya dan menyikapinya. Pemimpin yang zalim ataupun pemimpin yang adil (seharusnya) kita sudah tahu bagaimana cara menghadapinya. Kita tak perlu risau jika ternyata pemimpin kita kelak tukang gebuk, karena jika demikian, memberi peringatan kepadanya dengan berani adalah merupakan jihad. Jika kita nanti dipimpin perengek yang diam-diam menjual negara kepada asing, kita kritisi dan kita lawan dengan cara-cara yang dewasa dan saksama. Akan tetapi, jika kenyataannya pemimpin yang terpilih mendatang mampu menjadi pemimpin yang baik, sudah sepatutnya kita bersyukur kepada Allah, dan mendukungnya dengan sepenuh hati untuk melaksanakan perbaikan hidup sesuai dengan yang dijanjikan.

Sikap fanatik kekanak-kanakan yang menunjukkan kegagapan tanpa arah dalam perkara dukung-mendukung calon presiden, seharusnya tak perlu terjadi. Riuh dunia maya yang terlalu cepat dan spontan serta tidak memberi jeda, mestinya dapat kita redam dengan cara-cara yang bijaksana. Menghadapi kenyataan ini, seharusnya kita sudah tahu apa yang mesti kita lakukan. Seharusnya kita sudah kenal dan hapal kelakuan dan sifat para politikus yang memang begitu itu. Membabi-buta dalam mendukung dan terlibat dalam keributan yang tak perlu, mestinya dapat dihindari. Sebab kita adalah umat yang (seharusnya) sudah tahu harus berbuat apa dalam keadaan macam apa saja, karena kita punya Buku Panduan Suci (al-Quran) dari Tuhan untuk menghadapi kehidupan, macam apapun modelnya.

Presiden SBY dan Wapres Boediono beserta keluarganya masing-masing, yang tak luput pula pernah menjadi sasaran fitnah.

Perjuangan Tanpa Jadwal Lima Tahunan
Kita menjadi orang Islam bukan cuma ketika pemilu setiap lima tahun sekali. Meributkan Islam dan non-Islam bukanlah jadwal lima tahunan. Bukankah lima tahun lalu kita atau sebagian kita juga sibuk mempertanyakan ke-Islaman dari istri Wapres Boediono? Bahkan ada juga yang mempertanyakan istri Pak SBY karena "kebetulan" bernama Kristiani (Bu Ani Yudhoyono)? Dan sekarang pun kita ribut Jokowi itu orang apa, Prabowo itu hapal berapa surat, dll.

Ke-Islaman seorang pemimpin memang penting. Tapi kita juga pernah dipimpin oleh presiden yang Islamnya abangan, atau presiden yang Islamnya awut-awutan tidak karuan. Dipimpin seorang saleh memang menjadi dambaan setiap insan, tapi dipimpin orang zalim pun kita pernah dan sudah berpengalaman, sehingga kita tahu cara menghadapinya.

Merajut ukhuwah dan menjalin jamaah juga bukan tugas yang datang hanya menjelang pemilihan presiden. Itu tugas panjang yang tidak boleh hanya dikerjakan dalam keadaan yang selalu darurat. Persatuan tidak bisa ditempatkan sebagai sebuah sikap darurat menjelang pilpres. Semestinya itu merupakan sikap yang utuh tidak parsial dan terus-menerus selalu berkelanjutan.

Jokowi atau Prabowo, semuanya sama-sama putra terbaik bangsa pada zamannya.

Siapa pun kelak yang memimpin negara ini, kita tak akan pernah berhenti meraut perjuangan dan melakukan perbaikan. Sebab bukan kepada negara atau pemimpin kita mengabdi yang sebenarnya, melainkan hanya kepada Allah SWT. Dan tugas menegakkan kebenaran dan keadilan bukan berarti sekadar menjadi warga negara yang baik. Adil bukan (hanya) perkara antara rakyat dan penguasa, antara negara dan warganya. Adil yang sejati adalah antara seorang anak manusia sebagai hamba dengan Tuhannya, yang telah terpancang sejak zaman alastu.

Tahun-tahun mendatang setelah kita mendapatkan pemimpin baru adalah tetap merupakan tahun-tahun perjuangan. Apa pun keadaannya, kita tak semestinya berhenti berjuang. Apa yang telah kita pancangkan akan terus kita lakukan. Indonesia tetap sebuah rahmat Allah SWT yang harus terus-menerus dijaga, disyukuri dengan cara merawatnya berdasarkan nilai-nilai iman dan nilai-nilai Islam yang sebenarnya.

Yang lebih penting bukanlah adil atau zalimnya seorang pemimpin, tapi bagaimana kita menghadapinya dan menyikapinya. Dan yang lebih penting lagi, bagaimana kita bisa tetap merawat selalu cita politik Islam dalam keadaan macam apa pun. Perjuangan politik Islam bukanlah jadwal lima tahunan, kita perlu terus-menerus memperjuangkannya sepanjang hayat dikandung badan. Kita tak pernah mundur (seharusnya). Seperti keberanian Pangeran Diponegoro yang direkam Chairil Anwar dalam puisinya:

Pangeran Diponegoro, pahlawan pejuang yang legendaris sepanjang masa.

Diponegoro

Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar.
Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang


Jadi kesimpulannya, kita adalah umat yang tak takut dipimpin Prabowo dan sudah tahu caranya manakala dipimpin oleh Jokowi.

Sumber:
Tri Shubhi A
www.komunitasnuun.org

No comments: