Monday, April 18, 2011

Rosihan dan Para Pemimpin Bangsa


Pada awal 1950, harian Pedoman yang saya pimpin adalah harian yang tertinggi oplahnya. Banyak yang menganggap besarnya oplah karena saya tergabung dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang saat itu menjadikan Pedoman sebagai koran partainya. Sebenarnya bukan PSI yang mendanai, melainkan saya yang menawarkan, karena PSI tidak punya uang untuk bikin koran.

Dengan Pedoman sebagai koran internal, orang menganggap saya memiliki perbedaan ideologi dengan Presiden Soekarno. Banyak yang menganggap hubungan saya dengan Soekarno sangat buruk. Padahal saya memiliki pandangan sendiri tentang ideologi, yaitu sosialis kerakyatan. Ini membuat saya sedih, mengapa hubungan saya dengan Soekarno harus diasosiasikan seperti itu.


Saya akui bahwa kritik saya terhadap Soekarno banyak tidak disetujui orang. Tapi bukan berarti saya bermusuhan dengan Soekarno. Bahkan, ketika saya hampir mati pada 1961, saat Pedoman dicabut izin terbitnya oleh Soekarno, tidak pernah ada rasa benci.

Saya selalu berada di pihak oposisi, tapi tetap bersahabat baik dengan Soekarno. Khususnya saat revolusi kemerdekaan. Hampir setiap malam Soekarno memanggil saya sebelum tidur. Dia mengajarkan soal seks kepada saya, padahal saya sudah menikah dan punya anak.

Suatu waktu saya melihat ada yang janggal dari Soekarno di sebuah resepsi pernikahan. Saya merasa orang besar ini akan jatuh. Karena apa? Ketika bersalaman di resepsi itu, tangannya ditepiskan beberapa pejabat militer. Saya kira orang-orang militer itu adalah orangnya Soeharto.


Lain Soekarno lain pula kisah saya dengan Soeharto. Saya bertemu Soeharto pertama kali di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta, pada 7 Juli 1949. Sebagai Pemimpin Redaksi Harian Pedoman, saya bertugas melaporkan penjemputan Panglima Besar Jenderal Sudirman dari Wonosari ke Yogyakarta.

Pak Dirman sebagai pemimpin perang gerilya dikabarkan tidak menyetujui garis kebijakan politik para pemimpin bangsa yang hadir dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Konferensi itu sendiri membahas soal penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dari Belanda. Sebelum KMB diadakan, para pemimpin republik harus menandatangani persetujuan Roem-Van Roijen.

Demi menghindari selisih paham antarpemimpin republik ini, Sultan Hamengku Buwono IX meminta Soeharto membawa Pak Dirman kembali ke Yogyakarta. Maka pagi-pagi sekali di dekat Malioboro, wartawan foto Ipphos, Frans Sumardjo Mendur memperkenalkan saya dengan Soeharto, yang waktu itu berpangkat letnan kolonel. Pertama kali melihat Soeharto, ia berpakaian seragam putih dan menyetir sendiri mobil Land Rover-nya.

Sebelumnya saya tidak pernah kenal dengan Soeharto. Saat di mobil itu dia tersenyum sambil mengulurkan tangan, saya duduk di sampingnya, sedangkan Frans di belakang. Sepanjang perjalanan dari Yogya hingga ke Wonosari, dia tidak berbicara sama sekali. Begitu pula ketika perjalanan menggunakan mobil harus berganti dengan menggenjot sepeda. Soeharto tidak juga berbicara kepada saya.

Menurut saya, Soeharto bukanlah tipe orang yang suka basa-basi. Kata-katanya hemat sekali. Dalam perjalanan ke Wonosari hanya sekali ia berbicara, saat mempersilakan saya minum air kelapa muda. "Mari minum degan," katanya.


Sembilan jam bersepeda, akhirnya kami sampai di desa tempat Pak Dirman berada. Itulah pembicaraan kedua saya dengan Soeharto. Saya minta wawancara secepatnya dengan Pak Dirman. Tapi kata dia besok pagi saja, sekarang istirahat dulu.

Saya juga merasa, Soeharto tidak mudah dekat dengan orang lain. Setelah Soeharto menjadi presiden, saya baru bertemu lagi ketika ada kunjungan Presiden Nixon pada 1970. Waktu itu dia ngobrol dengan saya, saat sarapan pagi dilakukan. Hadir pula di sana Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Sudjatmoko.

Saat sarapan itu, Soeharto saya kasih masukan soal bagaimana cara membuka hubungan dengan Presiden Nixon. Masukan ini saya dapat setelah malam hari sebelumnya saya mewawancarai Nixon di Hotel Sheraton. Mendengar masukan itu, Soeharto tertawa senang.

Paling aneh menurut saya, ketika Soeharto menganugerahi saya Bintang Mahaputra pada 1971. Tapi ternyata, tiga tahun kemudian, 24 Januari 1974, Soeharto membredel Pedoman karena memuat berita hubungan Tien Soeharto dengan beberapa perusahaan swasta.

Pemberitaan itu membuat Soeharto geram kepada saya. Soeharto pun memanggil saya ke Bina Graha. Di sana saya dimarahi habis-habisan dan langsung dihadapkan kepada pengusaha-pengusaha Cina yang namanya saya beritakan. Dan mereka disuruh bilang: tidak punya hubungan dengan Ibu Tien.


Setelah itu, Pedoman memuat pengumuman penyesalan -saat ini semacam hak jawab. Namun tetap saja dua bulan kemudian surat izin cetak dan surat izin terbit Pedoman dicabut.

Cerita saya dengan Soeharto berakhir saat dia mulai sakit-sakitan. Saya dengar dari Bob Hasan bahwa Soeharto sering menyebut nama saya ketika teringat peristiwa penjemputan Pak Dirman di Wonosari.

Beberapa kali pula Bob Hasan meminta saya datang menjenguk ke Cendana, tapi saya menolaknya. Bahkan, beberapa waktu kemudian, ketika saya datang di peluncuran buku anak Ruslan Abdul Gani, Bob tetap menyuruh saya datang. Namun, belum sempat saya menjenguknya, dua minggu kemudian Soeharto mangkat.

Setelah reformasi 1998 bergulir, kepemimpinan Soeharto berganti dengan B.J. Habibie. Presiden ketiga RI ini sudah mengenal baik saya dan keluarga sejak dulu. Istrinya, Ainun, juga teman baik istri saya, Zuraida Sanawi. Mereka memanggil kami dengan sebutan om dan tante.


Ketika istri saya meninggal, Habibie sempat marah kepada saya, karena tidak langsung diberi tahu soal kematian itu. Setelah mengucapkan belasungkawa, Habibie langsung memeluk saya. Dia sangat tahu bagaimana hubungan saya dengan Zuraida. Habibie bilang, dia yang menikah selama 48 tahun, rasanya berat sekali kehilangan Ainun. Apa lagi saya, yang sudah menikah dengan Zuraida selama 63 tahun.

Saya juga mengalami masa-masa berat seperti Habibie. Saya sering ke makam istri saya, dan menyapa, "Selamat pagi, Ma. Anak-anak baik-baik saja." Tapi suatu kali, saya dinasihati cucu, tidak baik bersikap seperti itu. Karena kehidupan mereka yang meninggal berbeda dengan yang masih hidup. Mereka sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi di dunia. So, the life must go on kata cucu saya. Nasihat ini pula yang ingin saya sampaikan kepada Habibie.

Sebelum mengenal Gus Dur, saya sudah berkawan baik dengan ayahnya, Wahid Hasyim. Dulu, kalau ngobrol bareng, Wahid Hasyim sering memegang tangan saya. Karena memang begitu cara orang-orang NU berkomunikasi.


Sama dengan Habibie, Gus Dur memanggil saya dan istri dengan sebutan om dan tante. Tidak sering kami bertemu, tapi Gus Dur dan saya selalu menyapa ketika berpapasan. Seperti ketika Gus Dur bertemu saya dan istri di Singapura. Dari jauh dia sudah berteriak, hai om, tante, sambil melambaikan tangannya.

Sampai kemudian saat dia menjadi presiden, tiba-tiba rumah saya ditelepon staf protokoler Istana. Kata staf itu, Gus Dur mau berkunjung ke rumah saya. Waktu itu saya bilang ke istri, apakah tidak apa-apa kalau presiden datang kemari? Ibu bilang tidak masalah, bahkan Gus Dur mau dimasakkan soto Betawi.

Ketika Gus Dur dan keluarga sampai di rumah saya, banyak sekali media yang meliput. Tapi mereka diharuskan menunggu di luar rumah. Selepas menyantap soto Betawi buatan istri saya, Gus Dur dan saya mengobrol. Begitu pula istri saya, yang mengobrol dengan Sinta Nuriyah. Istri saya senang karena soto Betawi buatannya habis. Zaman sekarang mana ada presiden yang mau datang ke rumah wartawan, dan ikut makan bersama?


Tentang Megawati, justru istri saya -bersama Ibu Herawati Diah- yang dekat dengannya. Mega selalu memanggil mereka dengan sebutan Tante Ida dan Tante Her. Hubungan saya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak sedekat presiden yang lain. Hanya pernah bertemu sekali dengan SBY, pada saat perayaan Hari Pers Nasional di Bandung. Kami bersalaman, lalu difoto dan dipajang besar-besar oleh harian Kompas. Tapi, that's all, hanya bersalaman.

Azan zuhur berkumandang, Rosihan menghentikan kisahnya dengan para pemimpin Republik. Suaranya sudah melemah. "Sudah, ya. Kalau disuruh cerita lagi, saya bisa harus menggunakan tabung oksigen lagi," ujarnya.

Sumber:
majalah.tempointeraktif.com

No comments: