Saturday, March 28, 2009

Tanggul Itu Pun Jebol ....


Putut, menahan sedih yang mendalam. dia kehilangan anak semata wayangnya, Zahra yang baru berusia 6 bulan serta istri dan pembantunya.

Tak ada yang menyangka tanggul Situ Gintung akan jebol, memunculkan luapan air bah amat dahsyat seperti tsunami. Namun, itulah yang terjadi. Bencana pada Jumat (27/3) dini hari menjelang subuh itu terjadi amat sangat cepat. Hanya dalam tempo 10 menit, tetapi melumat ratusan rumah beserta isinya dan menewaskan sedikitnya 100 orang warga. Menyisakan duka mendalam bagi para keluarga korban bencana itu.

Masih segar dalam ingatan Chandra (42), warga RT 01 RW 08 Kampung Gintung, Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan.

Bunyi krek-krek-krek membangunkan tidurnya. Waktu menunjukkan sekitar pukul 01.00. Setelah membangunkan istrinya, Karti (40), empat anak, menantu, dan satu cucu, dengan mata masih terkantuk ia berlari menuju bukit sekitar tanggul Situ Gintung.

”Saya sengaja berdiri di atas jembatan. Di bawah jembatan ada tanggul jembatan,” ujar Chandra yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi.

Setelah memastikan bunyi itu berasal dari sekitar tanggul, beberapa menit kemudian ia berlari membangunkan warga sekitar bukit itu. ”Bangun, bangun, tanggul mau jebol...,” ujar Chandra yang tinggal di tempat itu sejak tahun 1986.

Selanjutnya, ia menuju rumahnya untuk menyuruh semua keluarganya lari mengungsi ke bagian atas rumah. Ia juga berlarian ke seberang kali melalui jalan raya Ciputat-Cirendeu, membangunkan beberapa warga yang dikenalnya, termasuk pemilik galeri barang antik, Maimun.

”Saya bilang kepada suami-istri yang tinggal di warung dekat galeri untuk segera mengungsi. Mungkin karena tidak percaya, suami-istri itu sempat hanyut ketika tanggul jebol. Suaminya selamat, tetapi istrinya yang sedang mengandung belum ditemukan,” ujar Chandra.

Setelah azan subuh, cerita Chandra, tanah mulai longsor. Jembatan ambruk dan tanggul dari beton ikut hancur. ”Tanggul jebol,” paparnya.

Chandra termasuk beruntung karena menyimak tanda-tanda bencana sehingga bisa menyelamatkan keluarga dan tetangganya. Namun, banyak korban warga RT 03 dan 04 di RW 08 sama sekali tak siap dan akhirnya hanyut terbawa air bah.

Haji Dahroni, warga RT 04 RW 08, mengakui, banyak korban tewas berasal dari RT-nya yang berpenduduk 300 warga. ”Korban meninggal terutama perempuan dan anak-anak. Ini karena begitu air datang, kami semua kaget. Sebagian tak sempat menyelamatkan diri,” kata Dahroni yang hanya membawa baju di badan.

Bencana di pagi buta, kata para korban, amat luar biasa. ”Air tiba-tiba datang amat kencang dan setinggi lebih dari 8 meter. Keponakan saya, Fahruz, langsung membawa Bambang, ayahnya, ngungsi. Ia lalu kembali mengambil keponakannya, Adinda Nur Syifa, tetapi keduanya tak mampu menyelamatkan diri,” kata Hajjah Lala, bibi Fahruz yang sedang menunggui jasad Adinda dan Fahruz di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan.

Sekitar dua jam setelah kejadian, tim SAR berhasil mengevakuasi jasad Fahruz yang sedang menggendong Adinda di dalam rumah penuh air.

Derai air mata sepanjang pagi hingga sore kemarin tumpah di gedung STIE Ahmad Dahlan dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, tempat lebih dari 50 jenazah disemayamkan. Di sisi luar garis batas persemayaman jenazah, ratusan warga yang kehilangan anggota keluarga kebingungan mencari informasi keberadaan keluarganya. Ny Sri bersama dua saudaranya lari ke tempat jenazah saat ada jasad baru datang.

”Benar dia Puji?” tanyanya kepada dua saudaranya. Saat dijawab bukan, rombongan kecil itu pindah lagi ke posko PMI untuk melapor. Menurut Sri, Puji yang sedang hamil delapan bulan terbawa arus.

Di antara kesedihan, ada yang bersyukur. Nanang (26) bersama istrinya, Sri Utami (22), dan anak mereka, Alfa (6 bulan), akhirnya selamat setelah bertahan dari terpaan air setinggi 6 meter. Sri Utami dan Nanang yang menggendong Alfa berdiri di atas tembok berpegangan pada sebatang besi cor di dekat rumah kontrakan mereka selama dua jam.

Saat banjir mulai surut, Nanang menurunkan istri dan anaknya yang kedinginan dan mulai kaku. ”Alhamdullilah, mereka selamat walau harta habis,” kata lelaki muda itu.

Seto Mulyadi atau Kak Seto juga termasuk beruntung walau mengaku sangat terkejut dan matanya sempat berkaca-kaca. Apalagi saat kejadian ia berada di Payakumbuh, Sumatera Barat. ”Anak-anak menelepon pagi-pagi buta. Mereka panik dan menangis. Saya ikut bingung, tetapi saya tidak bisa langsung pulang karena harus hadir di seminar,” kata Kak Seto.

Psikolog ini bersyukur keempat anaknya selamat walau rumah porak-poranda. Surat-surat penting dan data di komputer rusak. Selain itu, mobil Toyota Avanza-nya juga nyangkut di ayunan di taman.


Tragedi Situ Gintung

"Tsunami” lokal akibat jebolnya tanggul Situ Gintung menyentak kita semua. Tragedi di pinggir Ibu Kota itu menyita perhatian di tengah hiruk-pikuk kampanye.

Sebanyak 65 orang dilaporkan ditemukan tewas. Adapun sebanyak 98 orang lainnya dilaporkan hilang dan masih dalam pencarian Tim SAR. Ratusan rumah hancur. Kerugian harta benda belum terhitung jumlahnya.

Sejumlah warga di lokasi bencana menuturkan, datangnya air bah di pagi buta itu sungguh mengejutkan mereka dan membuat mereka tak bisa menyelamatkan diri. Siaran media televisi mengingatkan kita akan terjadinya tsunami di Aceh tahun 2004.

Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri datang ke Situ Gintung memastikan penanganan korban bencana itu. Setelah itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang ke lokasi. Presiden memastikan sistem penanggulangan bencana berjalan. Pemerintah pun berjanji akan membantu korban. Bendera partai berkibar. Posko partai didirikan. Sejumlah aktivis partai membagikan kaus partai mereka seraya memberikan bantuan.

Kita mengapresiasi langkah sigap pemimpin bersimpati kepada korban. Komitmen dan kepedulian sosial seharusnya terus ditumbuhkembangan kapan dan di mana saja, terlebih di tengah situasi krisis seperti sekarang ini.

Kita terkejut karena musibah terjadi di kawasan Situ Gintung yang dikenal sebagai danau alam, sebuah tempat wisata di kawasan Tangerang, Banten. Ada usaha restoran di sana, ada pula kawasan yang digunakan sebagai wisata berbasis alam dan air. Situ itu dibangun tahun 1933.

Namun, tetap menjadi pertanyaan, mengapa tanggul itu bisa jebol memuntahkan air yang volumenya mencapai 2 juta meter kubik? Apakah jebolnya tanggul itu betul-betul tiba-tiba dan tidak pernah terantisipasi sebelumnya?

Berdasarkan laporan Mitigasi Tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), ditemukan adanya rekahan di tanggul sejak November 2008. Upaya revitalisasi dilakukan, tetapi belum tuntas. Penurapan tanggul belum sempat dilaksanakan, sampai akhirnya tanggul itu jebol.

Situ Gintung merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Pesanggrahan. Sejalan dengan perkembangan permukiman di Jabodetabek, terjadi perubahan daerah tangkapan yang semula dapat menyerap air hujan (infiltrasi) menjadi aliran permukaan (excess run-off) yang membebani daya tampung sungai. Perubahan itu ikut memengaruhi debit aliran sungai yang semula kecil menjadi makin besar sehingga terjadi luapan yang akhirnya membuat tanggul jebol. Itu problem perilaku manusia!

Apa yang terjadi di Situ Gintung mengingatkan kita akan model pembangunan yang kurang memperhitungkan daya dukung lingkungan. Kita juga diingatkan bahwa tugas pemeliharaan merupakan satu hal penting, tetapi itu justru yang sering terlupakan! Yang perlu menjadi perhatian adalah masih ada situ yang statusnya kritis seperti Situ Gintung. Itu menuntut penanganan cepat!

KOMPAS, 28 Maret 2009

No comments: