Saturday, March 14, 2009

Probabilitas Depresi Ekonomi Meningkat


Sementara negara-negara berkembang Asia berjuang untuk tak terjerumus kembali dalam krisis seperti krisis finansial 1997, ekonom dunia mulai mencemaskan risiko tergelincirnya ekonomi dunia dalam depresi.

Probabilitas resesi ekonomi global menjadi depresi, menurut ekonom Universitas Harvard, Robert J Barro, sekitar 20 persen. Yang menakutkan, tak satu kebijakan pun yang sudah maupun yang akan ditempuh mampu mencegah terjadinya depresi.

Depresi didefinisikan sebagai penurunan produk domestik bruto (PDB) dan konsumsi 10 persen atau lebih selama empat triwulan berturut-turut.

Menurut Barro, banyak alasan mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya depresi. Data jangka panjang dari 25 negara hingga 2006 mencatat terjadinya 195 peristiwa crash (anjloknya pendapatan riil kumulatif 25 persen atau lebih) di pasar saham dan 84 depresi ekonomi, di mana pada 58 kasus di antaranya keduanya terjadi bersamaan. AS mengalaminya dua kali, yakni Depresi Besar 1929-1933 dan depresi pasca-Perang Dunia I (1917-1921), yang dipicu epidemi influensa yang melanda dunia saat itu.

Sebanyak 45 persen dari 58 kasus itu terkait perang, termasuk dua Perang Dunia. Dalam situasi crash pasar saham, probabilitas depresi kecil (penurunan PDB minimal 10 persen) adalah 30 persen, sedangkan probabilitas depresi besar (penurunan sedikitnya 25 persen) adalah 11 persen.

Dalam situasi tidak ada perang, probabilitas terjadinya depresi juga menurun, tetapi tetap substansial, yakni 20 persen untuk depresi minor dan 3 persen untuk depresi besar.

Crash berantai pasar saham di AS dan negara lain pada 2008-2009, menurut Barro, sudah cukup sebagai alasan mencemaskan risiko depresi. ”Kemungkinan satu banding lima bahwa resesi sekarang ini seperti bola salju berkembang menjadi penurunan makroekonomi hingga 10 persen atau lebih, yang menandai terjadinya depresi,” demikian diungkapkan Barro dalam artikel di Wall Street Journal baru-baru ini.

Ekonom dunia lain umumnya masih menahan diri untuk bicara probabilitas depresi kendati mengakui kondisi ekonomi saat ini terburuk sejak Depresi Besar 1930-an.

Stag-deflasi
Ekonom terkemuka Nouriel Roubini mengatakan, probabilitas untuk terjadinya pemulihan ekonomi global secara cepat mengikuti pola huruf V (ekonomi pulih 2010) sudah lenyap. Yang ada, resesi mengikuti pola U yang terjadi sekarang ini berisiko meningkat menjadi stag-deflasi (penurunan ekonomi global mengikuti huruf L) seperti di Jepang. Stag-deflasi adalah kombinasi mematikan stagnasi yang dibarengi dengan resesi dan deflasi.

Data pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2008 (angka tahunan) di berbagai penjuru dunia menunjukkan kondisi yang jauh lebih buruk dari perkiraan. Perekonomian global sekarang ini, menurut Roubini, praktis seperti terjun bebas dengan semakin cepatnya kontraksi di semua lini: dari konsumsi, belanja modal, investasi residensial, produksi, lapangan kerja, hingga ekspor dan impor.

Sejumlah indikator menunjukkan situasi sekarang sudah mendekati, bahkan lebih buruk, dari Depresi 1930-an. Kemerosotan ekonomi di beberapa negara Asia, seperti penurunan tingkat produksi industri di Taiwan, sudah melampaui yang dialami AS era Depresi Besar.

Menurut HSBC, spread suku bunga pinjaman korporasi juga sudah mencapai 30 persen, melebihi level pada Depresi Besar yang 20 persen. Ini bisa memicu gelombang kebangkrutan skala besar global. Padahal, banyak perusahaan induk negara berkembang harus melakukan refinancing utang luar negeri mereka sebesar 200 miliar dollar AS tahun ini, dengan debitor terbesar terutama dari Rusia, Turki, Meksiko, Uni Emirat Arab, dan Korea Selatan.

Diprediksikan terjadi kebangkrutan eksplosif, 20.000 di antaranya di Eropa. Di AS, 62.000 perusahaan diperkirakan bangkrut tahun ini, menyusul 42.000 perusahaan (2008).

Semua negara maju sudah mengalami resesi. China, India, dan negara ASEAN mengalami pelambatan lebih tajam dari perkiraan. Penurunan ekonomi juga meluas ke Amerika Latin.

Bank Dunia memperkirakan, setiap persen penurunan pertumbuhan ekonomi global menambah 20 juta penduduk miskin baru. Penurunan pertumbuhan global menjadi 0,9 persen 2009 berpeluang menambah jumlah penduduk miskin sebanyak 53 juta (berdasarkan patokan garis kemiskinan pendapatan 1,2 dollar AS per hari).

Lingkaran setan
Ekonom Center for Strategic and International Studies, Hadi Soesastro, melihat perdagangan dunia sedang berada dalam proses kehancuran yang sangat serius. Pada triwulan IV-2008, sejumlah negara mengalami kemerosotan tajam perdagangan. Turki mengalami penurunan rata-rata 41 persen per bulan, Brasil 33 persen, China 32 persen, Italia 26 persen, Perancis 25 persen, AS 23 persen, dan Australia 22 persen.

Sumber utama kemerosotan perdagangan adalah pelambatan ekonomi global. Selama hal ini masih berlanjut, perdagangan dunia akan terus melambat. ”Pelambatan perdagangan dunia kian menurunkan tingkat pertumbuhan dunia sehingga sebenarnya ekonomi dan perdagangan dunia sudah berada dalam lingkaran setan,” ujarnya.

Namun, ia menduga upaya mencari jalan keluar belum mendapat tempat dalam agenda KTT G-20 di London 2 April 2009. Perhatian sejumlah negara, khususnya Eropa, masih terpaku pada urusan memperketat peraturan bidang keuangan dan tak mendukung usulan AS untuk memberikan perhatian lebih besar pada upaya menggerakkan kembali pertumbuhan ekonomi.

”Perbedaan pendapat dua kekuatan ekonomi dunia ini mungkin tak akan dapat diselesaikan dalam KTT London. Artinya, kemerosotan perdagangan dunia masih akan berlanjut, dan mungkin semakin parah,” ujarnya.

KOMPAS, 13 Maret 2009

1 comment:

KULYUBI ISMANGUN said...

MASA DEPAN MONETER INDONESIA

Dongeng Kapitalisme dan “Kiamat Kecil”


Kapitalisme di Dunia

Munculnya arus utama (mainstream) ekonomi atau yang biasa disebut dengan kapitalisme, merambah ke seluruh derivasi ekonomi. Kekuatan yang besar serta daya adaptasi yang baik terhadap perubahan waktu, mengkokohkan kapitalisme sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang dianggap paling sahih. Kapitalisme sendiri merupakan sebuah paham yang mengandalkan kekuatan modal serta bercirikan kebebasan berekonomi (KBBI).

Munculnya kapitalisme sendiri diawali dari terbitnya buku yang sangat dipuja oleh kaum ekonom klasik, The Wealth of Nations karangan Adam Smith. Dengan teori The Invisible Hand yang mengungkapkan bahwa ekonomi berjalan optimum dan efisien dengan sendirinya. Peran pemerintah terhadap sektor ekonomi diharapkan tidak ada. Dalam kerangka teori klasik, pemerintah dianggap akan mendistorsi pasar dari titik keseimbangan ekonomi (equilibrium).

Pada kenyataannya ada kesenjangan antara ranah teoretik dengan realitas, antara das Sein dan das Sollen. Pemikiran ekonomi klasik pengikut Adam Smith terbukti secara empirik tidak dapat mengakomodasi tujuan ilmu ekonomi sesungguhnya, yaitu kesejahteraan masyarakat. Maka bermunculanlah modifikasi dari sistem kapitalisme itu sendiri yang menantang keberadaan kapitalis ortodoks, seperti state capitalism, welfare state, dan mixed economy (Mubyarto, 2000: 4).


Krisis-Krisis Ekonomi

Namun, sistem ekonomi yang berakar dari prinsip kapitalisme pun tetap sering mengalami kegagalan-kegagalan. Ini terbukti dengan berkali-kalinya terjadi krisis ekonomi di dunia. Tengok saja peristiwa Great Depression tahun 1933 yang mencoreng nama besar kapitalisme atau krisis moneter di tahun 1997 yang memporak-porandakan perekonomian Asia Timur, termasuk Indonesia.

Masalah kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran acapkali terjadi di negara dunia ke-3. Bayangkan saja, ketika pendapatan rata-rata dunia secara rill naik sekitar 2,4% dari awal tahun 90-an sampai akhir abad ke 20, secara bersamaan justru terjadi peningkatan jumlah masyarakat miskin dunia (pendapatan kurang dari 2$ per hari) sebanyak 100 juta jiwa (Stiglitz, 2003: 6). Berkaca dari kasus ini, dapat disimpulkan adanya ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang sangat kasat. Jika dari awal sistem ekonomi yang dijalankan adalah sebuah sistem yang ideal, tentunya kasus seperti ini tidak akan pernah terjadi.


Analisa Kritis Kapitalisme

Bila kita amati kasus-kasus yang sebelumnya telah dipaparkan, tentunya dapat kita ketahui bahwa kasus tersebut merupakan dampak negatif penerapan sistem ekonomi kapitalis secara luas. Namun, penting juga untuk diperhatikan secara substansif akar dari krisis ekonomi tersebut. Yaitu dengan memaparkan akar permasalahan secara fokus pada salah satu masalah ekonomi yang paling krusial dan selalu dihadapi setiap negara, salah satunya adalah inflasi.

Inflasi dalam sistem kapitalisme menjadi salah satu siklus yang terus berulang-ulang dan tidak dapat tidak harus dihadapi oleh setiap negara di dunia. Lagi pula para ekonom sepakat bahwa inflasi dalam tingkatan yang moderat merupakan hal yang lazim dan justru dapat berakibat baik bagi perekonomian (Mankew, 2004). Namun, apabila yang terjadi adalah tingkat inflasi yang tinggi, ini tentu saja dapat menghalangi laju perkembangan ekonomi suatu negara secara signifikan.

Menurut Arin Nasim, staf pengajar UPI Bandung, salah satu faktor yang menyebabkan terciptanya inflasi adalah sistem bunga yang merupakan salah satu keluaran dari sistem kapitalisme itu sendiri. Munculnya krisis finansial terutama disebabkan penggunaan mekanisme bunga dalam perekonomian. Hal ini mengakibatkan keputusan investasi tidak berkenaan langsung terhadap sektor rill. Implikasinya berupa pertumbuhan sektor finansial yang lebih tinggi daripada sektor barang dan jasa. Konsekuensi logis dari masalah ini berupa tingkat inflasi yang tidak wajar dan seharusnya tidak terjadi, ini disebabkan daya beli uang terhadap barang dan jasa menurun.

Selain inflasi, bunga juga dapat menimbulkan hal buruk lain bagi perekonomian berupa mekanisme spekulasi yang motifnya dianggap telah lazim dalam ekonomi modern.

Krisis ekonomi sekarang yang oleh para ahli sejarah ekonomi dicoba dianalogikan dengan depresi 1930-an, jelas merupakan akibat logis dari investasi berlebihan (over-investment) terutama dalam sektor real-estate yang sesungguhnya kurang produktif tetapi sangat menguntungkan. Karena usaha-usaha “spekulatif” ini dalam real-estate ini dibiayai dengan kredit-kredit perbankan…(Mubyarto, 2000: 13)

Sebenarnya teori akan motif spekulasi telah dipaparkan dalam buku General Theory oleh J. M. Keynes di tahun 1930-an. Menarik memang apabila kita memperhatikan di mana sebuah krisis biasanya selalu di awali dengan mismanajemen sektor finansial. Mengapa hal ini selalu terjadi? Mengapa ketika terjadi krisis selalu di ikuti dengan terjadinya inflasi yang tinggi bahkan hingga hiperinflasi?

Inflation is a monetary phenomena (Mishkin, 2001), sebuah ungkapan yang biasanya menyederhanakan akar dari sebuah krisis berupa inflasi, di mana faktor yang menyebabkan adanya inflasi hanyalah faktor peredaran uang yang tidak baik. Namun, perlu diperhatikan bahwa sebenarnya ada hal lain yang perlu diangkat lebih jauh mengenai krisis ekonomi yang kerap terjadi di dunia ini.


Peralihan Standardisasi Uang

Mathias Brockers, seorang pengamat konspirasi menyebut sistem fiat money yang tengah berlangsung di jaman ekonomi modern merupakan suatu bentuk konspirasi paling sukses dalam sejarah umat manusia. Menurut Wahyu Avianto, pengamat ekonomi syariah, krisis ekonomi yang menimpa Indonesia tahun 1998 juga tidak lepas dari peranan fiat money.

Krisis Great Depression tahun 1930-an itu pun kalau dirunut lebih ke belakang, disebabkan adanya perubahan standardisasi uang dari emas menjadi hanya uang kertas tanpa jaminan. Ketika itu teori klasik gagal menjelaskan mengapa semua teorinya tidak berjalan. Mulai dari teori full employment sampai hukum Say tidak berjalan dan runtuh. Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah bahwa para ekonom klasik menganggap fungsi uang hanya sebagai jendela transaksi. Hal inilah yang selanjutnya dikoreksi oleh Keynes yang mengungkapkan bahwa uang juga bisa dipakai sebagai sebuah komoditi yang diperjualbelikan. Adanya perubahan paradigma ini tidak lain disebabkan oleh perubahan metode uang.

Uang yang seenaknya dicetak dapat menurunkan daya beli uang terhadap barang. Ekspektasi inflasi pun terbentuk dalam masyarakat yang pada akhirnya berujung pada penerapan metode bunga. Di sinilah letak kesalahan ekonomi yang paling fatal terjadi. Bahkan Margrit Kennedy pernah membuktikan secara matematis bahwa praktik sistem bunga dalam jangka panjang adalah tidak mungkin. Tarek El Diwany pun mempertanyakan apakah di dunia ini sudah ada cukup sumber daya untuk mengkompensasi jumlah uang yang akan mencapai jumlah yang tidak terhingga tersebut.


Riba (Bunga) Sebagai Sebuah Masalah

Rentetan historis ekonomi dari perubahan standardisasi emas sampai penggunaan bunga memunculkan istilah yang selama ini dikenal dengan riba. Dalam beberapa hal yang dikemukakan oleh para ahli, ada perbedaan antara riba dengan bunga, yang pada akhirnya mengatakan bahwa bunga yang selama ini dipakai bukanlah manifestasi dari riba. Berbeda dengan pendapat tersebut, salah satu pengamat ekonomi syariah, Zaim Saidi, mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan yang substansial antara bunga dan riba. Menurutnya bunga merupakan bentuk lain dari riba yang terselubung secara halus dalam sendi perekonomian dunia.

Riba sendiri merepresentasikan ketidakadilan dalam kehidupan ekonomi bermasyarakat. Ketika hasil dari sebuah kegiatan usaha kredit tidak didasarkan adanya kesepakatan pembagian hasil yang jelas, maka yang terjadi adalah tertanamnya motif spekulasi. Yang terjadi bukan lagi kegiatan ekonomi yang saling menguntungkan dan berkeadilan namun zero-sum games.

Akar permasalahan semakin terlihat jelas sampai di sini. Dimulai dari dirubahnya keberlakuan akan sistem uang menimbulkan dinamika-dinamika perekonomian yang sangat fluktuatif di abad ke-20, di mana berujung pada dua jargon bagi semua kegagalan ini: bunga dan spekulasi. Keduanya merupakan bentuk dari riba.


Akankah Sistem Kapitalisme Berakhir?

Menjadi sebuah pertanyaan besar apakah manusia yang derajatnya sebagai mahluk Tuhan yang paling mulia dan memiliki akal, mau mengulangi kesalahan-kesalahannya. Apakah manusia tidak belajar dari kesalahan untuk mencari sebuah sistematika yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat. Pergerakan perubahan sistem ekonomi mulai bergeliat dan terus berkembang. Menyeruaknya kegelisahan umat manusia dari segala penjuru dunia menambah keyakinan akan adanya perubahan pada tatanan perekonomian dunia beberapa puluh tahun kedepan.

Kebosanan akan sistem yang ada, ketimpangan yang semakin merajalela dan munculnya beberapa tokoh dunia yang menentang akan sistem kapitalisme, menunjukan sistem kapitalisme di ambang kehancuran. Krisis-krisis ekonomi yang bersifat masif akan terjadi berulang-ulang. Tentunya semua itu akan mengantarkan kita dalam sebuah titik klimaks konflik dunia. Clash civilization akan membawa kembali semua sistem kembali ke titik nadir. Perubahan akan segera terjadi.

Apakah negara Indonesia sudah mampu menyongsong “kiamat kecil” perekonomian dunia tersebut? Seharusnya negara ini segera berbenah dalam menghadapi perubahan yang akan terjadi. Adanya kesiapan dapat berupa merubah sistem yang ada menuju ke arah yang lebih baik dan tahan terhadap tekanan fluktuasi dunia. Krisis-krisis yang berulang kali terjadi di Indonesia sudah menjadi bukti yang cukup kuat terhadap kegagalan sistem yang ada.

Perubahan bagaimana yang seharusnya di ambil oleh negara Indonesia? Dari ranah mana harus memulainya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya kita harus mengkaji lebih dalam tentang krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Apa faktor paling esensial yang menyebabkan krisis tersebut? Pihak mana yang harus mengambil peran penting dalam perubahan ini? Bagaimana dampak dari krisis tersebut? Semua ini bukanlah hanya pertanyaan retoris tanpa isi. Sejarah selalu membuktikan bahwa akan selalu terjadi perubahan di dunia ini. Siapa yang paling siap akan perubahan tersebut, dialah yang akan bertahan dalam melewati perubahan.