Wednesday, March 25, 2009

Intervensi Politik Ancam KPK


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menuai kritik tajam. Lembaga ini dinilai berhasil membongkar kasus, namun tak kuasa menuntaskannya. Intervensi politik disebut-sebut sebagai kendala utama bagi KPK untuk menuntaskan sejumlah kasus korupsi.

Benarkah demikian? Sekadar menyebut contoh kasus yang kini masih menjadi sorotan publik, adalah kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) senilai Rp 100 miliar yang mengucur dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) ke sejumlah anggota DPR dan penegak hukum. Kasus tersebut telah disidangkan di Pengadilan Tipikor, bahkan sebagian telah divonis.

Pertanyaan yang muncul, ketika di pengadilan terbukti ada dana sekitar Rp 31,5 miliar mengucur ke Komisi IX DPR periode 1999-2004, mengapa hanya dua orang anggota DPR (Anthony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu) yang harus menanggung akibat hukum ? Di pengadilan juga terungkap dana tersebut digunakan untuk kepentingan pembahasan RUU BI. Logika hukumnya, pembahasan tersebut tidak mungkin hanya melibatkan dua orang, namun seluruh anggota Komisi IX DPR waktu itu.

Meski KPK mengatakan tak tertutup kemungkinan kasus tersebut akan menyeret anggota Dewan lainnya, namun kita tak terlalu yakin KPK bakal maksimal. Terlebih, masih banyak kasus korupsi besar yang belum diselesaikan. Lantas kita teringat pada kasus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang divonis bersalah melakukan korupsi karena telah merugikan keuangan negara dalam perkara dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Di persidangan terungkap bahwa dana tersebut mengalir ke mana-mana. Bahkan, si penerima dana telah mengakui terus terang (termasuk Amien Rais sebagai capres 2004). Namun, KPK tak menindaklanjutinya dan merasa ‘cukup’ dengan mengantarkan Rokhmin Dahuri sebagai pesakitan.

Dugaan intervensi politik pun tak terhindarkan. KPK dianggap tebang pilih dalam penegakan hukum. Aroma tebang pilih ini makin dirasakan ketika KPK menghadapi laporan politikus dari PDIP Agus Condro tentang adanya dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Agus Condro secara terang-terangan mengakui menerima cek perjalanan senilai Rp 500 juta pasca terpilihnya Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Ia pun telah menyerahkan sejumlah bukti ke KPK. Bahkan Agus Condro juga menyebut sejumlah nama yang ikut menerima dana serupa.

Pada saat hampir bersamaan, KPK juga menerima laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang adanya aliran 400 cek perjalanan ke Komisi IX DPR periode 1999-2004. Rata-rata tiap cek perjalanan senilai Rp 50 juta. Data tersebut sebenarnya cukup lengkap, termasuk nama siapa saja yang menerima cek perjalanan tersebut. Sayangnya, lagi-lagi KPK tak juga mengumumkan siapa saja anggota DPR penerima cek.

Sejak saat itu (sekitar bulan September 2008), KPK terlihat gigih mengusut kasus Agus Condro. KPK pun menetapkan penanganan kasus tersebut ke tahap penyelidikan. Namun apa hasilnya sekarang ? KPK terkesan jalan di tempat. Sampai saat ini KPK belum juga menetapkan tersangka, dan belum menaikkan penanganan status dari penyelidikan ke penyidikan.

Walau KPK membantah ada intervensi politik dalam penanganan kasus Agus Condro, hemat kita, wajar bila publik tetap mempertanyakan mengapa tak juga menaikkan status tersebut ke tingkat penyidikan ? Adakah hal ini terkait dengan ‘politik balas budi’ KPK terhadap DPR terutama yang duduk di Komisi Hukum -yang notabene dulu menyeleksi calon pimpinan KPK ? Kecurigaan itu akan tetap muncul bila KPK tetap jalan di tempat.

Kedaulatan Rakyat, 24 Maret 2009

No comments: