Tuesday, March 24, 2009

Bentangkan Optimisme Bangsa


Para pemuda yang berkumpul di Jakarta tanggal 28 Oktober 1928 memiliki kesadaran bersama tentang masa depan. Mereka menyadari transformasi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern mulai terjadi di Nusantara.

Pendidikan sebagai kendaraan menuju kemajuan mulai menyebar di bangsa ini. Para pemuda sadar, mereka masih tersekat kebhinekaan. Tantangan mereka adalah meruntuhkan sekat-sekat pembeda. Kebhinekaan disatukan dalam basis yang lebih luas, basis kebangsaan.

Ada kesadaran baru, suku-suku bangsa di Nusantara ini akan meraih masa depan gemilang jika mereka bisa menemukan rumus sederhana untuk semua. Persatuan dan kebersamaan adalah rumusan itu. Keputusan untuk menggunakan bahasa bersama, yaitu bahasa Indonesia, adalah keputusan jenius. Hingga hari ini, banyak urusan bangsa menjadi sederhana karena bahasa yang diterima seluruh rakyat.

Dunia internasional sering terpukau menyaksikan pluralitas bangsa penghuni sekitar 5.000 pulau yang merentang sepanjang khatulistiwa, yang memiliki 250 lebih bahasa dan dialek, terdiri 1.000 lebih etnis dan subetnis. Sebuah bangsa yang hiperplural, tetapi bisa hidup berdampingan secara —relatif— damai.

Polarisasi, friksi, bahkan konflik antara berbagai komponen bangsa memang tidak absen. Konflik sering terjadi. Meski demikian, seburuk-buruknya konflik di Indonesia, pada saat harus duduk semeja berdialog dan merundingkan kepentingannya, mereka berkomunikasi tanpa penerjemah, duduk menyelesaikan konflik dengan menggunakan bahasa bersama, bahasa Indonesia. Sebuah bukti kesadaran sebangsa yang luar biasa, sebuah bukti kejeniusan para pemuda di tahun 1928.

Di berbagai belahan dunia lain situasi ini absen. Bahkan, di negara-negara maju dan modern yang mengalami proses federalisasi atau unifikasi, salah satu problem utama yang sulit diselesaikan adalah kesepakatan rakyat (bukan kesepakatan formal negara) atas sebuah bahasa bersama.

Kesadaran perlunya instrumen pemersatu kebhinekaan adalah fondasi terwujudnya satu negara. Kemampuan membaca perubahan zaman itu diterjemahkan dengan besarnya optimisme anak-anak muda tentang masa depan bangsanya. Diperlukan 17 tahun, sejak deklarasi sebangsa 28 Oktober 1928 hingga deklarasi Republik Indonesia. Selama 17 tahun itu, usaha meraih kemerdekaan dipertahankan dengan optimisme kolektif. Optimisme bahwa kemerdekaan akan tercapai dan menjadi jembatan emas menuju Indonesia yang adil dan makmur.

Optimisme bangsa
Saat meraih kemerdekaan, mereka dihadapkan kenyataan menyesakkan, kemelaratan merata dan keterbelakangan di segala sektor. Negara tidak punya anggaran. Infrastruktur ekonomi runyam. Melihat potret bangsa dan negara yang parah itu, persyaratan untuk pesimistis menjadi lengkap dan sah. Namun, anak-anak muda dan pendiri republik justru optimistis, bangsa ini bisa meraih janji kemerdekaannya, menjadi bangsa yang cerdas dan sejahtera. Optimisme itu digelorakan dan dibentangkan sehingga menular menjadi optimisme kolektif bangsa. Rakyat seluruh negeri —meski melarat dan tak terdidik— ikut optimistis atas masa depan, sebagaimana optimisme para pemimpinnya.

Kini, 80 tahun setelah deklarasi Sumpah Pemuda, ada keprihatinan atas melorotnya optimisme kolektif bangsa. Belakangan ini diskusi tentang Indonesia sering diwarnai perasaan suram. Dalam berbagai forum, di hotel berbintang hingga obrolan di warung kopi, diwarnai keluh kesah.

Gelembung semangat yang dulu dikagumi di Asia bahkan dunia, kini seolah kempes. Bangsa ini sedang dilibas pesimisme kolektif. Bahasa bersama adalah bahasa pesimistis. Kondisi ini benar-benar tidak sehat.

Kini, meski persyaratan untuk optimistis tersedia, tetapi bangsa ini justru tenggelam dalam pesimisme. Pesimisme kolektif itu muncul dan subur, antara lain disebabkan krisis ekonomi, krisis politik dan transisi politik berkepanjangan. Ditambah minimnya teladan pemimpin membuat bangsa ini serasa disoriented.

Sebagian media —sadar atau tidak— menjadi mesin pengganda opini yang menciutkan optimisme. Berita televisi menghujani berbagai masalah, dan masalah-masalah menjadi bertambah ketika tersebar ke seluruh negeri. Padahal, berita televisi itu powerful dalam memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku kolektif.

Sadar atau tidak, bangsa ini merusak diri sendiri, ada semacam self-defeating mechanism. Bahkan, self-fulfilling profecy, kegagalan terjadi karena secara kolektif kita memprediksi akan gagal.

Situasi pesimistis juga muncul karena kegagalan membedakan sikap kritis dengan sikap pesimistis, juga gagal membedakan sikap optimistis dengan sikap mendukung pemerintahan. Ada kesan jika optimistis, berarti mendukung pemerintah. Sebaliknya, jika pesimistis berarti kritis kepada pemerintah. Menyamakan sikap pesimistis dengan kritis adalah kekeliruan fatal.

Harus berubah
Dalam kondisi demikian, bangsa Indonesia harus berubah, harus bisa kritis sekaligus tetap optimistis. Bangsa ini perlu fokus pada inspirasi tentang kemajuan, bukan ilustrasi kegagalan dan kekacauan. Bangsa Indonesia perlu memiliki perasaan kolektif positif untuk maju dan berkembang. Di sinilah pentingnya pemuda dan pemimpin bangsa sadar pentingnya optimisme.

Pesimisme harus dikubur, munculkan optimisme.

Anak-anak muda dan pemimpin di berbagai sektor dan segala strata harus menjadi motor tumbuhnya optimisme. Sudut pandang dalam setiap realita yang dihadapi harus diubah. Realitas bangsa harus dipandang dengan kacamata optimisme. Hadapi tantangan sebagai peluang untuk kemajuan, bukan masalah untuk keluh kesah dan mencari kambing hitam. Media pun perlu menggandakannya agar menjadi optimisme kolektif.

Janji kemerdekaan telah lunas dibayar pada sebagian bangsa Indonesia. Tetapi itu bukan berarti segala keluh kesah bagi yang belum menerima janji kemerdekaan seperti kesejahteraan, keadilan, dan kecerdasan sudah lunas semua. Kini saatnya Bangsa Indonesia bekerja lebih keras lagi untuk melunasi janji kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sumpah Pemuda 1928 membalikkan semangat kesukuan menjadi kebersamaan sebuah bangsa. Delapan puluh tahun kemudian, bangsa ini harus membalikkan pesimisme menjadi optimisme. Masa depan gemilang seperti janji kemerdekaan hanya bisa diraih melalui optimisme kolektif.

Kini saatnya membentangkan kembali optimisme kolektif bangsa ini.

Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina
KOMPAS, 27 Oktober 2008

1 comment:

Anonymous said...

Optimis memang oke. Tapi karena apa dan untuk apa. Sebagai bangsa yang sedang punya masalah besar, optimisme itu kan harus digantungkan pada konsep yang bisa memecahkan masalah.
Sayangnya,kita punya banyak pemikir, termasuk penulis artikel ini, yang mampu membaca masalah tapi tak bisa menemukan solusi. Inilah, mungkin yang 'disindir' Allah melalui QS 30: 7. (Partai Blogrrr)