Friday, March 6, 2009

Jenderal Naga Bonar Sang Calon Presiden


Deddy Mizwar resmi mencalonkan diri menjadi calon Presiden RI, didukung beberapa partai politik. Pernyataannya menarik: ia ingin menunjukkan bahwa yang mampu menjadi capres bukan hanya dari kalangan jenderal atau politisi mapan. Tapi juga warga negara biasa, seperti dia. Deddy adalah seniman: aktor teater dan aktor film. Beberapa filmnya menyentak perhatian publik, di antaranya Sunan Kalijaga, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, Cintaku di Rumah Susun dan yang paling populer: Naga Bonar dan Naga Bonar (Jadi) 2.

Deddy memiliki kecemerlangan di bidang seni peran dan ia dikenal sangat selektif membintangi film. Ia hadir sebagai aktor kuat Indonesia. Deddy bukan politisi. Tapi bukan berarti ia tabu berpolitik. Pada mulanya, Ronald Regan - Presiden Amerika - juga bukan politisi, tapi bintang film. Demokrasi membuka dunia politik bagi siapa pun.

Yang menarik, di era demokrasi multi partai pasca Orde Baru, dunia politik kita tidak lagi mengutamakan ‘darah biru’ politik alias politik ‘keturunan’: anak tokoh politisi tidak otomatis menjadi aktor politik. Kader partai tidak otomatis menjadi elite politik, menjadi presiden.

Politik kita sangat cair: semuanya serba mungkin jika memenuhi persyaratan, misalnya kemampuan, nilai ketokohan (popularitas) dan uang. Dalam konteks ini, parpol lebih berposisi sebagai kendaraan politik bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi elite politik, baik atas nama pertimbangan politik maupun sekadar ‘jual jasa’.

Gejala ini makin tampak menguat misalnya dalam pilkada di beberapa daerah. Berbeda dengan jagat politik pada tahun 1950-an hingga menjelang jatuhnya Orde Lama di mana parpol secara konkret hadir dan bekerja di tengah masyarakat. Jagat politik kita sekarang menunjukkan parpol yang mengambang. Artinya, kemunculan parpol di masyarakat dapat diibaratkan seperti ganggang atau tanaman air lainnya, yang akarnya mengambang, tidak menyentuh bumi.

Umumnya, ‘parpol-parpol ganggang’ ini tidak bekerja melakukan pendidikan politik untuk massa atau melakukan berbagai tindakan konkret untuk kepentingan publik. Mereka ‘hanya’ muncul menjelang pemilu atau pilkada. Sesudah itu, menghilang, entah ke mana dan apa yang dilakukan. Karena banyak parpol ‘tidak bekerja’ secara total, maka mereka kurang mengenal dan dikenal publik. Bahkan ada relasi yang terputus antara mereka dengan konstituennya. Hal ini, dalam istilah budayawan Dr Kuntowijoyo, disebut sebagai parpol yang mengalami ‘mistik kenyataan’, yakni hilangnya hubungan antara parpol dengan realitas kehidupan masyarakat.

Dalam situasi dan kondisi seperti di atas, maka kebudayaan tatap muka antara parpol dengan konstituennya, tidak terjadi. Masing-masing hanya dapat ‘membayangkan’ satu sama lain. Relasi yang terbangun pun adalah relasi yang terbayang atau dibayangkan. Situasi ini tentu berdampak pada out-put parpol: mereka sulit melahirkan kader-kadernya untuk menjadi tokoh.

Di sisi lain, kinerja partai juga tidak terekam dalam ingatan publik. Maka, partai perlu hadir, misalnya melalui iklan-iklan politik di media massa. Selain itu, dalam konteks menarik publik, parpol perlu memasang tokoh-tokoh publik yang populer, yang memiliki ikatan emosional dengan publik. Bintang film, selebritis dan lainnya menjadi pilihan. Hal ini sekaligus untuk menjawab kondisi relasi parpol dengan konstituennya yang tidak mengenal kultur tatap muka.

Munculnya Deddy Mizwar sebagai capres yang dijagokan beberapa partai atau (wacana) Dhani Dewa sebagai cawapres yang dijagokan PKB mendampingi Muhaimin Iskandar, menjelaskan hal itu. Yakni, bagaimana popularitas menjadi kata kunci untuk meraup suara publik. Soal kualitas calon dapat diperdebatkan nanti, tapi yang penting adalah popularitas.

Pertimbangan popularitas bukan pertimbangan buruk. Yang menjadi masalah adalah: ketika popularitas menjadi pertimbangan satu-satunya dalam menentukan calon pemimpin masa depan.

Menjadi pemimpin membutuhkan banyak syarat, antara lain kemampuan, komitmen, integritas. Syarat itu bisa dimiliki oleh siapa pun, baik bintang film yang populer, pelawak yang populer, intelektual yang populer, atau politisi yang mungkin kurang populer dalam konteks budaya massa.

Jagat politik adalah jagat yang keras, penuh permainan, penuh siasat dan bahkan penuh ‘tipu daya’. Jagat politik membutuhkan jam terbang. Kedatangan para new comer, betapa pun ia terkenal, bisa tidak berarti apa-apa jika tidak memiliki berlapis-lapis kemampuan.

Deddy Mizwar atau siapa pun harus siap kecewa, jika sekadar mengandalkan popularitas. Politik Indonesia bukan seperti politik di negara-negara Dunia Pertama (Eropa-Amerika) yang telah memiliki mekanisme sistem demokrasi mapan, di mana semuanya bisa berjalan dengan normal jika seseorang memenuhi persyaratan utama untuk menjadi presiden.

Obama, misalnya, tidak semata-mata mengandalkan popularitasnya, melainkan - yang utama - mengandalkan kemampuannya dan telah menunjukkan kerja kerasnya di bidang politik. Kita jangan terjebak melihat Obama hanya pada ketokohan mudanya atau impiannya untuk menciptakan perubahan.

Kultur politik kita yang feodal, tampaknya belum berselera untuk menerima kehadiran para ‘Obama’. Mungkin untuk sekadar menjadi bupati atau walikota, bisa. Untuk menjadi presiden? Masih banyak tokoh senior dan mapan yang antre.

”Apa kata dunia?” teriak Naga Bonar. Tapi itulah kenyataannya.

Indra Tranggono, pengamat kebudayaan
Judul asli tulisan ini di Kedaulatan Rakyat, 5 Maret 2009, adalah "Naga Bonar"

1 comment:

KULYUBI ISMANGUN said...

KEEGOISAN.
Jika kamu menempatkan dirimu di belakang orang lain, kamu akan menemukan dirimu menjadi yang pertama. Jika kamu tidak memikirkan dirimu sendiri, kamu akan lebih dapat menikmati hidup. Jika kamu berhenti menjadi egois,
minat pribadimu akan terwujud. Semakin banyak hal yang kamu lakukan untuk orang lain, semakin banyak kamu akan mendapatkan untuk diri sendiri. Lebih banyak kamu memberi, kamu akan semakin kaya.


KEYAKINAN
Dalam menghadapi kesulitan, selesaikan dahulu yang lebih mudah. Dalam mencapai tujuan yang besar, mulailah dengan yang kecil dulu. Adalah Mudah untuk memegang sesuatu saat stabil.
Adalah mudah untuk membuat rencana sebelum terjadi apa-apa.
Sebuah pohon besar tumbuh dari benih kecil.
Menara yang tinggi dibangun dari kondisi rata dengan tanah.
Perjalanan ribuan mil dimulai dengan sebuah langkah pertama.
Hadapi masalah ketika masih mudah ditangani.
Ambillah tindakan pencegahan sebelum masalah muncul.
Segala sesuatu menjadi rawan untuk gagal saat semakin mendekati tahap penyelasaian. Tetapi jika kamu tetap berhati-hati seperti di tahap awal, kegagalan dapat dihindari.

KEBIJAKSANAAN
Orang yang bijaksana tidak mempunyai pendapat yang tetap.
Dia menganggap keinginan orang-orang seperti keinginannya sendiri. Dia menyetujui orang-orang yang baik, dan juga orang-orang yang jahat. Maka, semua akan menjadi baik.
Dia mempercayai orang-orang yang setia, dan juga orang-orang yang tidak setia. Maka, semua orang akan menjadi setia.
Bagi orang bijaksana, tidak ada orang yang tidak mempunyai harapan, karena dia tahu bagaimana mendidik mereka; dan tidak ada hal yang sia-sia, karena dia mengetahui bagaimana menggunakannya.