Saturday, March 21, 2009

Supersemar, Keris Mpu Gandring dan Presiden Ketujuh


Pepatah Perancis berkata, historie se repete, yang artinya sejarah selalu berulang. Tikaman keris ampuh buatan Mpu Gandring oleh Ken Arok di abad ke 13 berulang tujuh kali dalam nuansa dendam maupun hukum karma. “Tikaman politik” Soeharto kepada Soekarno dengan Supersemar terbukti -32 tahun kemudian- menorehkan sejarah serupa. Soeharto terpaksa lengser dalam latar demo massif mahasiswa dan membawanya ke sudut fait accompli persis yang dialami Soekarno. Dan para presiden sesudahnya?

Identifikasi Supersemar dengan keris Mpu Gandring maka itu bukanlah fiksi melainkan analogi, pelukisan pengetahuan melalui perbandingan guna memetik kemiripan dan kesetaraannya.

Dan kesetaraan tematiknya ialah keduanya mewujudkan wahana kepolitikan bagi gapaian kepentingan mahkota kerajawian. Buhul kecocokannya adalah unsur keterpaksaan dan keteraniayaan Mpu Gandring untuk keris pesanan Ken Arok maupun Soekarno untuk Supersemar (pesanan?) Soeharto. Hikmahnya adalah pembelajaran kebangsaan character building di mana antara tujuan dan cara pencapaiannya mesti konsisten dan runtut bermoral jangan asal sampai.

Pesan (message) ini penting bagi kaum muda, juga penting dicamkan dalam masa-masa ketika banyak tokoh kini baku rebut kedudukan politik. Entah caleg, capres-cawapres serta sekian pihak sebagai makelarnya. Dalam pelajaran sejarah di Sekolah Rakyat atau SD tempo dulu dikisahkan Ken Arok merebut keris pesanannya dari tangan pembuatnya, Mpu Gandring. Pemuda berandal itu tidak sabar menunggu kesempurnaan sepuhan keris dan saat sang empu mendadak tewas dia tusuk dengan keris itu konon terdengar ujaran "Hee, Ken Arok awaslah kamu, keris itu akan memakan tujuh korban.”

Soekarno dengan kesaksian eks Dubes Kuba Hanafi, Kol CPM Maulwi Saelan, AKBP Mangil, Letkol Ali Ebram -pengetik draft Supersemar, eks Menlu Dr Soebandrio, apalagi Kol TNI Sukarjo Wilarjito- dipaksa, setidaknya terpaksa memberikan surat perintah kepresidenan 11 Maret 1966 itu kepada Soeharto. Keterpaksaan yang mirip dengan apa yang diderita Mpu Gandring.

Yang tercatat dalam sejarah Tumapel dan Singasari di abad ke-13, selain Mpu Gandring berturut-turut tewas ditikam keris yang sama yakni Tunggul Ametung, Ken Arok sendiri yang naik tahta bergelar Sri Rajasa, Anusapati dan Rangga Tohjaya.

Di sinilah analogi bisa dipatok, adakah Supersemar bakal menelan “tujuh korban” seperti tikaman dahsyat keris Mpu Gandring?

Dalam pada itu idiom “korban” bisa dinafaskan secara simbolik melalui cermatan sejarah suksesi kepresidenan negeri ini, yang ternyata tidak terlepas dari nuansa ketakwajaran. Analisis Contour, Content, Conduct agaknya bisa menerangkan sekilas-pintas dimana baik Supersemar maupun keris Mpu Gandring akan membentangkan kelindan artian khasnya seperti berikut.

Content atau wadah narasi keduanya memang berbeda; Supersemar berwadah sejarah sedangkan keris ampuh tadi berwadah Babad Pararaton yang, notabene ditulis baru di abad ke 15 -tiga abad setelah masa hidup awal kerajaan Singasari. Jika sejarah menarasikan realitas dengan metodologi rasional, babad lebih bermuatan mitos dengan cara kisahnya yang irasional.

Namun, jangan dikira nisbah keduanya adalah mutlak. Berhubung dengan tingkat emosionalitas tinggi kaum elite politik, sejarah kebangsaan sering duplikatif di antara history dan his story.

Irasionalitas pun memang bukan monopoli sebuah legenda semacam riwayat keris Mpu Gandring. Bukankah hilang misteriusnya dokumen Supersemar memberitahukan irasionalitas sekaligus kejanggalan yang setinggi-tingginya?

Betapa mengharukan, menjengkelkan dan menerbitkan air mata tuturan sejarah Mpu Gandring oleh guru SD masa silam saat mengisahkan terbunuhnya sang empu oleh kerisnya sendiri.

Ini bukankah mirip kisah prolog dan epilog Supersemar yang mengaduk emosionalitas khususnya pengagum dan pendukung Bung Karno, sipil dan ABRI -atas perlakuan aniaya yang diderita sang proklamator?

Modalitas keteraniayaan yang dalam kompleksitasnya berbaur dengan rempah kesewenangan, khianat dan jurus watak cerdik julig inilah menjadi content atau isi dan makna dari produk legendaris historis keris Empu Gandring dan Supersemar.

Kedua tokoh pemberinya adalah korban-korban, semisal pada epilog Supersemar yang segera sesudah Bung Karno menerbitkannya justru digelandang dalam status tawanan. Salah seorang isteri setianya, Hartini, mendengar sendiri gerundelan Bung Karno: ”Penderitaan saya di jaman Belanda tak seberat yang saya alami sekarang.” (Rakyat Merdeka, 7 Juni 2000).

Korban-korban tusukan keris yang dirintis oleh tangan cerdik Ken Arok atas diri Mpu Gandring yang justru kepadanya dia berutang budi jelas menunjukkan sifat durhakanya seorang manusia dengan dampak keteraniayaan pada korban keburukan wataknya. Ketika Megawati bertanya adakah Supersemar telah dimanipulasi, Bung Karno menjawab : “Wah, Dis (panggilan akrab Mega) mereka benar-benar keterlaluan.” Saat Mega bertanya kenapa bapak pilih Pak Harto jadi presiden dijawab pula: ”Wong... Soeharto yang mau..” (A. Pambudi, 2006; 296).

Presiden Soekarno bukan Mpu Gandring yang sakti mandraguna, namun keteraniayaan yang merasuki rasa kalbunya sulit dipungkiri sebagaimana keteraniayaan pada Mpu Gandring.

Supersemar menjadi jalur tol peminggiran Soekarno dari praksis kepresidenan bahkan berujung pada paradoks moral menyangkut penahanan tanpa proses hukum seorang kepala negara dalam sebuah negara yang dia sendiri mendirikannya.

Bila Ken Arok sukses merekayasa dan mengelabui publik Tumapel yang mengira Kebo Ijo pembunuh Tunggul Ametung, Soeharto didakwa oleh sementara kalangan telah menyertakan unsur rekayasa pula dalam terbitnya Supersemar, meski pelaku Supersemar Jendral Amirmachmud menyebutkan sebaliknya. Katanya, Supersemar lahir tidak pernah direncanakan, sebagai “mukjizat” Tuhan untuk bangsa Indonesia.

Versi lain menyatakan bahwa pada 9 Maret 1966 Jendral Alamsyah Ratuprawiranegara mengutus pengusaha Hasjim Ning dan Dasaad agar menghadap Bung Karno guna membujuknya bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Jendral Soeharto. Untuk misi itu Soeharto membuat surat pengantar yang diberikan kepada Hasjim Ning. Keduanya menemui Bung Karno di Istana Bogor. Ternyata Bung Karno marah kepada ke dua utusan tersebut, dilemparkannya asbak yang nyaris mengenai wajah Hasjim Ning yang dalam biografinya masih menyimpan asbak istimewa itu.

Inilah yang menjadi conduct atau tatalaku kemiripan Supersemar dengan keris Mpu Gandring. Yakni, tatalaku perekayasaan yang berujung pada lepasnya keris dari tangan Mpu Gandring dan raibnya Supersemar yang membuat kadar misterinya kian dalam.

Bisakah disimpulkan sesuatu, yakni antara Supersemar dan keris Mpu Gandring memiliki korelasi tertentu melalui analogi tersebut? Terlebih-lebih dalam content atau isi dan maknanya yang telah dijelaskan, yakni fatsal keterpaksaan dan keteraniayaan yang melekat pada kedua entitas sejarah dan babad tersebut.

Mengapa judul tulisan ini menyertakan “presiden ke tujuh?” Presiden Soekarno dijatuhkan melalui wahana keteraniayaan; dan Presiden Soeharto pun memutuskan undur diri setelah 14 menteri notabene, murid dan anak-anak didiknya menyatakan mundur yang ditafsirkan Soeharto sebagai pengkhianatan.

Presiden berikutnya, B J Habibie pun tak terlepas dari keteraniayaan tertentu. Tak sedikit orang mencibirkannya bahkan saat dia menggantikan Soeharto.

Dalam memoirnya, Habibie sangat masgul kenapa Soeharto tak menegurnya di saat-saat menjelang pengunduran dirinya. Beberapa menit sebelum pernyataan “berhenti” nya, Habibie selaku wapres mencegat Soeharto keluar dari ruang Jepara istana menunju ruang pengumuman. Tak sedikit pun presiden menoleh kepada wapresnya itu sebagai suatu keteraniayaan serius di kalbu Habibie.

Setelah naik ke kursi presiden, para pemimpin militer dan sebagian besar teknokrat memang memberi toleransi terhadapnya, tetapi tidak memberi respek kepadanya. Bahkan dalam reputasinya 20 tahun sebagai menteri riset disusul dengan tekadnya membangun industri pesawat terbang telah menghasilkan sebutan “reputasi sebagai pembual.” (Anderson, et.al,1999).

Pada gilirannya voting pertanggunganjawabnya di depan MPR ternyata berbuah penolakan terhadap kinerja kepresidenan BJ Habibie. Padahal siapapun tahu bahwa Habibie adalah presiden yang berani mendekonstruksi bangunan psiko-politik Orba, betapapun dia adalah murid kinasihnya Soeharto. Dia membuka kran HAM dan demokratisasi, dia melepaskan tapol-tapol penting dari ruang tahanan yang tak berkesudahan.

Dan Presiden Abdurrahman Wahid? Bukankah dia jatuh setelah sengaja ditelikung oleh DPR/ MPR yang ditopang pula oleh sikap ABRI yang tidak mau patuh pada Dekritnya? Presiden berikutnya, kekalahan Presiden Megawati pada pilpres 2004 jauh lebih wajar dari para presiden pendahulunya. Namun, bukankah Mega pun lagi-lagi merasa terkhianati oleh SBY?

Dengan demikian “keris Supersemar” pun kurang lebihnya sudah “bekerja” sampai lima kali sejak Soekarno hingga Megawati -yakni dalam wahana keteraniayaan, pengkhianatan, kelicikan atau setidaknya membuhulkan ketidaksportifan proses suksesi kepresidenan itu.

Kalau ujar Mpu Gandring berlaku pula bagi negeri kita, masih akan ada presiden yang akan terguling secara kurang lebih teraniaya -dan biarlah para analis politik yang membuktikan kebenaran atau kekeliruan analogi tulisan ini. Jangan lupa pula keamburadulan tertentu kinerja KPU bisa menjadi faktor penopang bagi validitas “keris Supersemar” tersebut.

Toh, yang sebaliknya bisa saja terjadi dimana bukan presiden yang teraniaya melainkan para capres. Camkan kepala berita ini “DPT Direkayasa Sistematik” (Kompas, 6 Maret 2009). Ada indikasi DPT direkayasa sangat sistematik oleh pemegang otoritas, dengan skala besar.

Depdagri menjadi institusi politik untuk memenangkan pihak tertentu, "demikian sinyalemen Hasto Kristianto, anggota DPR/MPR F PDI-P setelah mengecek daftar pemilih tetap di Ponorogo, Ngawi, Pacitan dan Trenggalek baru-baru ini.

Wah..wah..; akankah Orba reinkarnasi melalui pemilu 2009?

Drs Slamet Sutrisno MSi, Dosen Sejarah Pergerakan Nasional di Fakultas Filsafat UGM
Kedaulatan Rakyat, 12 Maret 2009

No comments: