Thursday, March 19, 2009

Merajut Harapan dari Pemilu


Sebanyak 44 partai politik menandatangani deklarasi antikorupsi di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, beberapa waktu lalu. Pada hari yang sama, sejumlah tokoh lain mendeklarasikan ”blok perubahan” di sebuah hotel di Jakarta. Apakah ada maknanya?

Tentu tak ada yang salah dengan semakin banyaknya deklarasi yang berisi komitmen para elite politik membenahi bangsa kita menjadi lebih baik. Hanya, jika deklarasi demikian muncul setiap menjelang pemilu, sementara perilaku korup dan penyalahgunaan kekuasaan para elite yang dihasilkan pemilu tak berubah, yang berlangsung tidak lebih dari sekadar upacara.

Sebagai upacara, hampir tidak ada yang diperoleh rakyat melalui deklarasi-deklarasi demikian. Ia sekadar ”tontonan” yang tidak memiliki makna apa pun saat pemilu menjadi arena pertukaran kepentingan antara politisi dan parpol.

Pembacaan yang sama dapat diberikan pada pameran bisu ribuan foto diri para calon anggota legislatif (caleg), poster, spanduk, dan baliho parpol yang mengepung seantero negeri dewasa ini. Alih-alih menawarkan program, para caleg parpol justru mohon ”doa restu”, padahal kita tak pernah tahu dan diajak bicara tentang mereka.

Akibatnya, pemilu yang seharusnya merupakan arena penawaran ide terbaik untuk membenahi kehidupan kolektif akhirnya menjadi ajang mematut diri bagi para elite yang mempertahankan posisi di satu pihak dan mereka yang kebelet berkuasa di pihak lain.

Fenomena serupa tampak pada para calon presiden (capres) yang sibuk bersilaturahmi dan saling menjajaki koalisi, tetapi tak pernah jelas apa agenda mereka untuk menyelamatkan bangsa ini dari ancaman krisis keuangan global serta kehancuran lingkungan atau bencana banjir yang bisa menenggelamkan Pulau Jawa. Belum lagi soal kemiskinan, pengangguran, serta krisis energi dan pangan yang menghantui bangsa ini akibat akumulasi ”salah urus” negara yang tak berkesudahan.

Rakyat ”komoditas”
Pemilu sebenarnya merupakan momentum bagi suatu bangsa untuk merefleksikan kembali pencapaiannya selama lima tahun terakhir. Pemilu juga memberi kesempatan bagi rakyat untuk menilai kembali prestasi para pejabat publik hasil pemilu sebelumnya. Namun, rakyat acap tak bisa merebut kesempatan itu karena hegemoni elite politik atas ruang publik menjelang pemilu melalui berbagai ritual yang tak terkait langsung dengan nasib rakyat. Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, nasib rakyat masih sebagai ”komoditas” untuk memperbesar suara caleg, parpol, atau capres.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kini antusiasme rakyat terhadap pemilu cenderung menurun. Masalahnya, meningkatnya perkembangan demokrasi ternyata berbanding terbalik dengan tegaknya pemerintahan yang bersih. Deklarasi antikorupsi yang kian intens juga berbanding terbalik dengan maraknya kasus suap dan korupsi yang dilakukan anggota parlemen di pusat dan daerah serta para pejabat publik lainnya.

Di sisi lain, membengkaknya jumlah partai, caleg, dan capres justru berbanding lurus dengan kian miskin dan dangkalnya ide-ide tentang perubahan. Akibatnya, janji-janji perubahan yang ditawarkan para elite cenderung artifisial, tak lebih dari gincu politik yang akhirnya luntur bersamaan dengan usainya pemilu.

Mengapa demikian? Secara kultural, penjelasannya mungkin bisa dicari dalam tradisi berbagai masyarakat Nusantara yang sarat rangkaian ritual dan upacara. Akan tetapi, upacara seharusnya berhenti sebagai aktivitas privat dan komunal yang tak berhubungan dengan urusan publik.

Ketika ritual komunal ditransformasikan sebagai standar perilaku dalam relasi politik yang bersifat publik, yang berlangsung adalah praktik demokrasi yang primitif. Artinya, praktik demokrasi memang marak, tetapi sering sekadar bingkai untuk mengemas syahwat politik liar yang absen dari komitmen etis terhadap kemaslahatan kolektif.

Tidak inspiratif
Oleh karena itu, yang sebenarnya diperlukan bangsa ini bukan parpol atau caleg yang sekadar pintar membuat deklarasi. Juga bukan para capres yang hanya sibuk wira-wiri mencari pasangan atau menunggu pinangan. Kita membutuhkan parpol, caleg, dan capres yang bisa berbagi ide tentang persoalan kolektif bangsa dalam ruang publik yang memperlakukan pemilih sebagai ”warga negara”, bukan ”massa” yang mudah dikelabui, dibodohi, dan diprovokasi melalui janji-janji kosong pemilu.

Sudah terlalu banyak pidato dikumandangkan, visi dan misi dipaparkan, serta komitmen diucapkan dan dideklarasikan. Akan tetapi, hampir tidak ada inspirasi baru yang bisa membesarkan harapan serta membangkitkan optimisme publik akan masa depan yang lebih baik.

Para elite politik fasih bicara tentang kemiskinan, penderitaan rakyat, dan keterpurukan bangsa kita, tetapi pada umumnya sebatas jargon untuk meraih simpati dan dukungan ketimbang suatu terobosan gagasan genuine dan jernih untuk mengatasinya. Pada saat yang sama, ironisnya, media cetak dan elektronik, yang seharusnya mengawal hati publik, pun acap kali turut terperangkap kecenderungan parsial yang sama.

Kondisi ini diperburuk oleh kinerja Komisi Pemilihan Umum yang jauh dari menggembirakan. Komisi yang seharusnya bisa meyakinkan publik akan keberhasilan pemilu justru terperangkap pada produksi wacana yang tak perlu, prioritas kerja yang tak jelas dan jauh dari fokus, serta sosialisasi pemilu ke luar negeri yang urgensinya rendah.

Lalu, ke mana bangsa ini akan menuju jika karut-marut pemilu seperti ini terus berulang? Mengapa kita harus bangga dengan predikat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia -sesudah India dan Amerika Serikat- jika semua itu semu belaka?

Dari hari ke hari, rakyat merajut harapan akan hidup lebih layak dan sejahtera. Namun, dari pemilu ke pemilu pula harapan itu hanya menggantung di bibir para wakil dan pejabat publik terpilih. Barangkali, inilah utang politik terbesar dan tak ternilai para elite politik menjelang dan usai pemilu yang digarisbawahi artikel pendek ini.

Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
KOMPAS, 11 Maret 2009

No comments: