Wednesday, March 11, 2009

Soekarno Tentang Supersemar


“Surat Perintah Sebelas Maret itu mula-mula dan memang sejurus waktu, membuat mereka bertempik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya SP Sebelas Maret adalah satu penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu satu Transfer of Authentic, of Authority.
Padahal T i d a k !!!.

SP Sebelas Maret adalah satu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Pengamanan jalannya
any pemerintahan. Demikian kataku pada waktu melantik kabinet.

Kecuali itu, juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden, perintah pengamanan wibawa Presiden, perintah pengamanan ajaran Presiden, perintah pengamanan beberapa hal.

Dan Jenderal Soeharto telah mengerjakan perintah itu dengan baik. Saya bener mengucap terima kasih kepada Jenderal Soeharto akan hal ini.

Sudah terang Gestok kita kutuk !,
...ugh… (batuk). Dan saya, saya mengkutuk pula!

Dan seperti sudah kukatakan berulang kali dengan jelas dan tandas, yang bersalah harus dihukum. Untuk itu aku bangunkan Mahmilub.

Tetapi kenapa kita sesudah terjadinya Gestok itu harus robah haluan ???”


Bung Karno pada pidato Peringatan Kemerdekaan RI 17 Agustus 1966.

3 comments:

KULYUBI ISMANGUN said...

MATINYA “PERADABAN” POLITIK

Rezim orde baru tidaklah terwujud tanpa bantuan partai Golkar. Selama 32 tahun -terhitung sejak Suharto memimpin pemerintahan dari tahun 1966- golkar memenangkan perolehan suara terbanyak di pemilu sebanyak 6 kali berturut-turut.. Berkuasanya Soeharto di puncak kekuasaan RI selama lebih dari tiga dasawarsa itu memunculkan issue kontroversi tentang kudeta yang dilakukan oleh Suharto terhadap pemerintahan Soekarno. Namun demikian, Soeharto berdalih bahwa kekuasaan yang dimiliikinya mempunyai landasan yang syah yaitu surat perintah sebelas maret (Super Semar). Padahal substansi Supersemar yang ditandatangani oleh Soekarno untuk mengatasi kekacauan pada saat itu dan memulihkannya serta menjaga kewibawaan pemerintahan Soekarno.

Ironisnya, Suharto dengan berbekal Supersemar kemudian membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan bahkan menyudutkan Sukarno dengan tuduhan sebagai antek PKI. Tujuannya adalah membatasi aktivitas politik Sukarno beserta keluarganya jikalau kekuatan-kekuatan nasionalis seperti kaum marhaen kembali hadir merebut kekuasaan pemerintahan. Tapi sayangnya, partai-partai berhaluan nasionalis seperti PNI (Partai Nasional Indonesia) pada saat itu dijadikan satu partai dibawah bendera PDI. Masalah siapa-siapa saja yang duduk didalamnya tentu saja atas restu Suharto. Padahal hal ini jelas-jelas melanggar azas demokrasi. Namun, kebekuan demokrasi tersebut pada akhirnya telah dihancurkan sejak Suharto lengser tahun 1998.

Bila kita simak sejarah penyatuan partai-partai berhaluan nasionalis diatas seharusnya partai Golkar secara obyektif juga ikut dibubarkan ketika gerakan reformasi digulirkan para mahasiswa pada tahun 1998. Sebab, kejatuhan pemerintahan Soekarno sendiri kemudian diiringi oleh kebijakan politik yang intinya bermakna pembubaran secara halus oleh Suharto melalui penyatuan partai-partai nasionalis dibawah PDI yang telah diungkapkan diatas. Akan tetapi, tidak demikian halnya pada waktu Suharto turun. Partai golkar nyata-nyata masih ikut menjadi anggota pemilu sampai detik ini. Perkembangan yang menarik, banyak partai-partai lain bermunculan yang pendirinya adalah mantan pejabat golkar. Misalnya PKPB (Rudi Hartono), PKP (Try Sutrisno) dan lain-lain.

Mencermati kondisi tersebut terlihat jelas bila pada pemilihan umum bulan April mendatang pilihan suara masyarakat sengaja dipecah belah agar kekuatan neo-orba bangkit kembali, skenario politik mungkin saja terjadi seperti ini. Andaikan suara-suara tuntutan pembubaran golkar diteriakkan kembali secara bulat oleh seluruh lapisan masyarakat dan ternyata tuntutan tersebut dikabulkan oleh Makhamah Konstitusi sehingga akhirnya golkar dapat dibubarkan. Hal ini belum tentu menjanjikan terjadinya perubahan peta politik nasional. Sebab, partai-partai hasil kreasi orba masih bercokol dan jika partai-partai ini kemudian dituntut untuk dibubarkan juga pasti akan berkelit dengan berbagai dalih-dalih politik yang sudah menjadi keahlian para petinggi Golkar.

Alasanya atau dalih yang paling pas: toh mereka bukan lagi golkarian lagi seperti dahulu. Artinya mereka telah keluar dari keanggotaan partai golkar. Bahkan mereka bersembunyi dibalik wajah demokrasi dengan menyatakan siapapun berhak mengeluarkan pendapat, dan beserikat sesuai yang termaktub dalam UUD’45.

Sejatinya, kekuatan orde baru takut bahwa “karma” pembubaran total PKI dan partai-partai nasionalis jaman Soekarno akan menimpanya. Melalui persiapan politik yang matang, kekuatan orde baru mulai berancang-ancang bila sewaktu-waktu partai golkar akan dibubarkan di kemudian hari. Mereka mencoba membangun kekuatan-kekuatan kecil melalui pembentukan partai-partai lain yang berhaluan Pancasilais agar dapat merangkul simpati kekuatan-kekuatan nasionalis demi memenangkan pemilu. Setelah partai kreasi orba ini menang, partai-partai nasionalis akan dicampakkan kembali. Kesimpulannya, neo orde baru akan “mengkudeta” untuk kedua kalinya dengan permainan-permainan politik yang cantik.

Bila demikian, sudah saatnya kita mengucapkan selamat tinggal kepada iklim demokrasi yang sudah kita bangun sejak turunnya Suharto. Sayangnya masyarakat kita tidak menyadari bila kekuatan neo-orba mulai menyusun kekuatannya kembali. Bahkan sebagian masyarakat terlalu pasrah membiarkan hal ini.

Oleh karena itu yang menjadi pertanyaan bagi kita siapkah kita dipimpin kembali oleh orde baru untuk kedua kali? Apakah kita lupa, jika kebenaran sejarah selalu dimanipulasi oleh Suharto seperti kontroversi pembubaran PKI dan supersemar? Dikhawatirkan, bila kekuatan orde baru datang kembali, sejarah pergerakan reformasi mengenai penurunan Suharto oleh masyarakat di tahun 1998 akan diubahnya menjadi “revolusi kudeta” oleh musuh-musuh lama Suharto misalnya, PNI dan PKI. Dengan demikian kendali sejarah akan terus dipegang oleh orde baru tanpa ada penguakkan kebenarannya. Kita lihat saja apa yang akan tejadi dalam dunia politik nasional setelah pelaksanaan Pemilu April mendatang. Semoga keadaan menjadi lebih baik bukan malah menjadi semakin terpuruk!!!

KULYUBI ISMANGUN said...

KYAI HAJI ABDURRAHMAN WAHID :
"SAYA TETAP INGIN CABUT TAP PKI"


Meski sudah dikemukakan beberapa kali dalam berbagai kesempatan, kini Gus Dur mengungkapkan keinginannya kembali untuk mencabut Tap XXV/MPRS/1966 tentang komunisme. Kengototan Gus Dur itu, karena dia mengaku sudah memikirkannya sejak lama.

Hal tersebut dikemukakan Presiden Gus Dur dalam Acara Pembukaan Mukernas PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia) yang berlangsung di Asrama Haji Pangkalan Masyhur, Jl Karya Jasa, Medan, Minggu (2/7/2000).

Kedatangan Gus Dur di Mukernas PPMI itu atas undangan khusus Ketua Umum PPMI, Eggy Sudjana. "Saya datang ke acara PPMI khusus untuk menjelaskan mengapa saya ingin mencabut Tap itu,"kata Gus Dur sehari sebelumnya di acara Forum Rembug Nasional di Kuta, Bali.

"Saya tetap berkeinginan mencabut Tap MPRS XXV/1966. Itu sudah saya pikirkan sejak lama. Kenapa kita takut kepada komunisme? Kita tak perlu takut, karena kita berpegang kepada kebenaran," jelas Gus Dur.

Gus Dur juga menyatakan, larangan faham komunisme yang terdapat dalam Tap tersebut sama halnya dengan pelarangan faham Islam. "Soal faham komunisme, biarkan saja masyarakat yang melarang. Bukan negara yang memeranginya," kata dia.

Bagi Gus Dur, alasan untuk mencabut Tap MPRS ini sudah sangat kuat. "Soal PKI mau dilarang, terserah MPR. Silakan saja, lembaganya dilarang. MPR kan bisa melarang institusi," ujarnya.

Pada kesempatan itu, Gus Dur juga menyinggung PTPN (PT Perkebunan Nusantara), yang baru-baru ini bermasalah di Medan. Sebagaimana diketahui PTPN Medan, mempunyai masalah dengan masyarakat dalam pembebasan tanah milik warga. Sampai saat ini, antara PTPN dan masyarakat masih berseteru.

Menurut Gus Dur, selama ini PTPN tidak mempunyai kontribusi apa-apa buat daerah. Oleh karena itu, dia berharap, mudah-mudahan masalah PTPN bisa cepat selesai. "Buat apa negara mengurusi masalah-masalah kecil seperti PTPN. Negara itu mengurusi masalah yang gede-gede," tegas Gus Dur.

KULYUBI ISMANGUN said...

SETELAH 6 JENDERAL DI BUANG DI LUBANG BUAYA

Peristiwa penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat, 30 September 1965, merupakan babak akhir kehidupan paham komunis di Indonesia yang diwadahi Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah itu, praktis PKI tidak bisa bergerak. Setidaknya di permukaan. Sebab, tidak saja PKI -- sebagai organisasi -- yang dibabat, sejumlah orang-orang yang terlibat, diduga terlibat, atau pun dituduh terlibat juga sebagian besar dihabiskan. Dan sebagian lainnya terpaksa mendekam dalam penjara puluhan tahun. Umumnya, mereka menjalani eksekusi atau hukuman tanpa melalui sebuah proses pengadilan.

Karena itu, kita kembali tersentak ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengulangi permintaan maafnya terhadap perlakuan yang diterima oleh orang-orang yang diduga atau dituduh komunis pada masa lalu. "Saya minta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan komunis itu," katanya pada acara Secangkir Kopi Bersama Gus Dur yang disiarkan langsung TVRI. Ia juga menyambut baik kalau masalah G-30-S/PKI itu dibuka kembali. Alasannya, selama ini orang menganggap bahwa PKI itu bersalah. Tetapi ada pula yang menganggap mereka tidak bersalah. "Karena itu, kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar," ujar Gus Dur.

Gus Dur agaknya tidak berlebihan. Karena memang demikianlah seharusnya: untuk mewujudkan keadilan harus melalui sebuah proses hukum. Bukan lewat klaim atau prasangka. Tetapi itu hanya satu pendapat. Beberapa kilometer dari Istana, tepatnya di Gedung DPR, ada yang tidak setuju dengan sikap minta maaf Gus Dur itu. Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Slamet Effendi Yusuf misalnya, berpendapat bahwa permintaan maaf bisa diterima dalam hubungan kemanusiaan terhadap orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan PKI tetapi mengalami siksaaan, pemenjaraan, bahkan pembunuhan. Termasuk anak-anak dan keluarga pelaku G-30-S yang selama ini kehilangan hak-hak sipilnya. Tetapi, sambungnya, pemerintah tidak perlu terburu-buru minta maaf kepada para pelaku G-30-S/PKI. Sebab, ini berkaitan dengan persoalan prinsip.

Tentangan terhadap Gus Dur dalam konteks ini makin hebat, ketika ia melontarkan persetujuannya kalau TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan penetapannya sebagai partai terlarang di Indonesia. Mereka -- termasuk Ketua Umum PBBNU KH Hasyim Muzadi -- tidak sepakat dengan Gus Dur. Tetapi, kiai ini tidak perduli. "Orang protes boleh-boleh saja. Saya kan bukan Ketua NU lagi. Ya, biar saja PBNU protes ya protes saja. Saya punya pendirian, ya punya pendirian. Lalu nanti kita bicarakan di pemerintahan," kata Gus Dur saat ditanya wartawan pada sebuah kesempatan di Malang, akhir Maret lalu.

Melihat maksud Gus Dur yang menyetujui penghapusan Ketatapan MPRS itu kelihatannya masuk akal juga. "Alasannnya, ya karena terlalu banyak orang-orang yang sebenarnya tidak komunis, lalu masuk dalam daftar itu. Jadi memilihnya susah. Selain itu, alasan kedua, ya hak asasi manusia toh. Mereka tidak bisa diperlakukan sebagai orang yang tidak punya hak sama sekali," tuturnya. Sikap orang terhadap alternatif pemikiran yang dilempar Gus Dur, kebanyakan menolak, termasuk kalangan MPR/DPR, maupun sejumlah tokoh partai. Gus Dur sendiri tidak ambil pusing dengan penolakan itu.

Kesalahan terbesar yang dilakukan oleh PKI adalah penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal. Sebenarnya, menurut beberapa pengamat, itu tak lain terjadi karena ada perpecahan dalam Angkatan Darat sendiri. Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dalam sebuah tulisannya di Majalah TEMPO, mengutip Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia (1978), mengatakan bahwa menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat pecah menjadi dua faksi, yang kedua-duanya sama-sama anti-PKI. Tetapi mereka berbeda sikap terhadap Sukarno.

Faksi pertama, yang disebut "faksi tengah", loyal terhadap Presiden Sukarno dipimpin oleh Menpangad Letjen A. Yani. Faksi ini hanya menentang Sukarno tentang persatuan nasional, di mana PKI termasuk di dalamnya. Sementara faksi kedua, "faksi kanan", menentang kebijakan Yani yang bernafaskan Sukarnois. Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto termasuk dalam faksi ini. Menjelang 1965, Sukarno mencium adanya faksi-faksi itu dan mulai memecah belah kedua kubu tersebut.

Sebenarnya, lanjut Asvi, Sukarno dan Soeharto sama-sama mengetahui gerakan tersebut, termasuk adanya isyu Dewan Jenderal. Namun, Sukarno adalah orang yang paling dicelakakan oleh peristiwa tersebut. "Ia dikesankan terlibat karena tidak mau mengutuk PKI. Sedangkan Soeharto adalah orang yang sangat diuntungkan oleh gerakan tersebut. Para saingannya sesama jenderal tersingkir dan ia melenggang ke kursi kepresidenan," tulis Asvi.

Apa yang dikatakan Asvi agaknya tidak terlalu meleset. Memang, Sukarno tampak ogah-ogahan untuk membubarkan PKI pascaperistiwa G-30-S itu. Presiden pertama ini berusaha untuk mempertahankan PKI sebagai bagian dari konsep Nasakom. Tetapi, dalam sebuah dokumen pemeriksaan Sukarno yang dilakukan oleh Doermawel Achmat, perwira tinggi militer yang tergabung dalam Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), Sukarno menyatakan bahwa ia mengutuk G-30-S dan yang terlibat harus diadili.

Sebaliknya, ia menuding seorang perwira bernama Mayjen S yang telah diberi sinyal oleh pimpinan PKI tentang gerakan itu, tetapi tidak memberitahukan kepada dirinya, karena Mayjen S tersebut sudah dijamin keselamatannya. Dalam laporan itu, Sukarno juga menyebut bahwa Gerakan Satu Oktober (Gestok) yang dilakukan Angkatan Darat untuk menumpas pelaku G-30-S, sekaligus PKI, sebagai tindakan pengkhianatan terhadap dirinya. Tetapi, Doermawel yang disebut-sebut sebagai pemeriksa dari Teperpu membantah adanya pemeriksaan itu. Mana yang benar?

Yang jelas, kemudian Sukarno tidak bisa berbuat banyak. PKI dibubarkan. Supersemar menjadi senjata bagi Soeharto untuk memulihkan keamanan dan membubarkan PKI. Kemudian, 5 Juli 1966, keluar Ketapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang, termasuk larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.

Ketetapan itulah yang kini mengundang kontroversi. Bagaimanakah endingnya? Kita lihat saja nanti.