Friday, March 13, 2009

Lagi, Politik Uang


DALAM usaha mempengaruhi pilihan pemilih, salah satu persoalan yang ajeg dalam pemilu kita adalah penggunaan politik uang. Dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya, praktik politik uang dalam pemilu kali ini diperkirakan berlangsung lebih masif. Penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak adalah pemicunya. Kontestasi pemilu berlangsung sangat kompetitif tidak hanya inter-partai tetapi juga intra-partai. Sistem itu menjadikan masing-masing kontestan saling berlomba mendapatkan simpati pemilih dengan segala cara.

Politik uang dalam desain demokrasi adalah persoalan besar karena menyangkut kualitas proses dan outcome pemilu. Bagi kandidat yang bersaing, politik uang mengakibatkan kompetisi di antara mereka menjadi tidak seimbang. Caleg yang bermodal tebal dipastikan akan mendominasi kompetisi. Secara bersamaan, kandidat dengan modal pas-pasan dapat tersingkir padahal boleh jadi memiliki kualitas dan moralitas yang baik.

Dari segi pemilih, adanya politik uang menjadikan preferensi pemilih menjadi tidak otentik. Preferensi yang tidak otentik sama dengan memilih wakil rakyat yang juga tidak otentik. Alih-alih akan memperjuangkan kepentingan rakyat, wakil rakyat terpilih justru rentan memperdagangkan mandat yang disandangnya.

Dalam jangka panjang, politik uang akan menjadi ancaman dalam membangun pemerintahan yang bersih. Praktik politik uang menjadi tempat persemaian benih korupsi. Mereka yang terpilih dengan menggunakan politik uang akan berusaha mengembalikan biaya produksi melalui korupsi.

Politikus yang melakukan politik uang dapat dipilah menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah politikus yang tidak membumi, berjarak dengan rakyat, atau politikus dengan track record yang buruk. Politikus seperti itu menggunakan politik uang untuk menutupi ‘wajah buruk’ mereka.

Tipe kedua adalah politikus karbitan, instan, dadakan atau ‘salah’ penempatan. Politikus jenis ini melakukan politik uang karena politikus itu menjadi ‘makhluk asing’ di belantara pemilih. Politikus seperti itu tidak memahami medan politik. Politikus itu menganggap politik uang adalah cara paling mungkin untuk menerabas ketidaktahuan mereka di rimba raya dimana mereka dicalonkan.

Tipe ketiga atau terakhir dari politikus yang menggunakan politik uang adalah politisi yang memiliki perasaan saling tidak percaya (distrust). Mereka saling tidak percaya bahwa kompetitor mereka akan bertindak jujur dalam kampanye. Cara berfikir ini menjadi semacam stimulus bagi kandidat lain yang semula tidak ingin memakai politik uang menjadi terpengaruh untuk melakukannya. Mereka khawatir apabila tidak melakukan hal yang sama akan kalah dalam kompetisi.

Cara pandang di atas, yaitu menempatkan caleg sebagai pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya politik uang biasanya ditolak oleh para politikus. Politikus umumnya berpendapat bahwa pemilih adalah pihak yang menyebabkan terjadinya politik uang. Politikus menjadi korban dari pragmatisme pemilih. Dalam situasi seperti itu, kandidat terpaksa membeli suara pemilih agar mendapatkan dukungan. Pemilih menjual suara dan politikus sekadar membelinya.

Bila dicermati secara mendalam, pandangan umum para politikus tersebut jelas tidak dapat dipertahankan. Kesediaan pemilih menerima politik uang atau ‘memaksa’ politikus untuk melakukan politik uang tidak lain sebenarnya adalah akibat dari kesalahan politikus sendiri yang kemudian direspon secara negatif oleh pemilih.

Kalaupun pemilih terkesan memaksa supaya politikus memberi sesuatu kepada pemilih, itu sesungguhnya tidak lain bentuk dari suara protes (protest voter). Posisinya sama halnya dengan suara protes lainnya seperti golput dan pemilih yang berpindah (swing voter). Bedanya, pada penerima politik uang mendapatkan manfaat langsung berupa materi atau fasilitas tertentu yang bersifat individual maupun kolektif.

Sebagai ekspresi protes, penerima politik uang menganggap ‘pemaksaan’ mereka adalah mekanisme untuk menghukum politikus yang cenderung mengabaikan pemilih ketika pemilu telah berakhir. Mereka tidak percaya bahwa orang-orang yang akan mereka pilih kelak akan peduli dengan nasibnya. Terjadinya berbagai kasus korupsi yang melibatkan para politikus semakin memperkuat keyakinan pemilih bahwa politikus hanya peduli ketika ada maunya saja.

Dalam logika pemilih, daripada tidak mendapatkan apa-apa, lebih baik mereka memperoleh sesuatu. Bagi penerima politik uang yang sebagian besar adalah masyarakat kelas bawah, pemilu adalah satu-satunya momentum politikus dapat dipaksa untuk peduli dengan mereka. Daripada menunggu janji-janji yang tidak ditepati, masyarakat meminta pembayaran tunai di awal.

Dengan demikian, fenomena politik uang seperti siklus yang tidak berkesudahan. Meskipun demikian, kedua pihak harus berani mengawali untuk memutusnya. Kerugian sistemik atas praktik politik uang akan terus melanda negeri ini apabila proses ini tidak dihentikan.

Siapa yang berani memutus siklus itu? Saya kira, politikus yang berani mengambil langkah tidak populer dalam memutus siklus ini adalah pahlawan demokrasi.

Sigid Pamungkas Msi, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM
Kedaulatan Rakyat, 12 Maret 2009

1 comment:

KULYUBI ISMANGUN said...

Selasa, 10 Maret 2009
Tolak Politisi Busuk dan Politik Uang
Kategori: Berita (17 kali dibaca)

Hari Perempuan

Tolak Politisi Busuk dan Politik Uang

Selasa, 10 Maret 2009 | 04:15 WIB

Jakarta, Kompas - Hari Perempuan, yang jatuh pada 8 Maret, diperingati aktivis perempuan di sejumlah daerah dengan berbagai aksi dan agenda, sejak Sabtu (7/3).

Di Medan, ratusan aktivis perempuan dan puluhan caleg perempuan dari daerah pemilihan Sumatera Utara mengimbau masyarakat menolak politisi busuk dan politik uang. Mereka menggelar demonstrasi damai di jalanan Kota Medan setelah berdiskusi dalam rangkaian perayaan Hari Perempuan Sedunia yang jatuh hari Minggu ini di pendapa Lapangan Merdeka Medan.

Mereka berjalan kaki dari Lapangan Merdeka menuju Bundaran Mayestik, Medan. Sepanjang jalan mereka membagikan stiker ”Apa pun Partainya, Pilih dan Menangkan Perempuan”.

Dalam diskusi di pendapa Lapangan Merdeka terungkap bahwa caleg perempuan tidak mempunyai banyak dana. Adapun para pemilih mereka yang biasanya juga perempuan banyak yang buta huruf dan sudah tua. Hal itu menyebabkan caleg perempuan sulit mendapatkan suara.

Di Yogyakarta, sekitar 200 orang yang tergabung dalam Jaringan untuk Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Legislatif, Sabtu, berpawai damai dalam rangka menyambut Hari Perempuan Sedunia.

Mereka menyuarakan berbagai persoalan bangsa, termasuk persoalan perempuan di Indonesia. Peran perempuan dalam Pemilu 2009 perlu diperhitungkan dan harus diperhatikan.

Sementara itu, di Malang, sekitar 80 calon anggota legislatif partai politik se-Malang Raya, Jawa Timur, Minggu, mendeklarasikan penolakan terhadap politik uang. Caleg perempuan mengharapkan proses demokrasi harus berlangsung benar tanpa politik uang untuk bisa menghasilkan pemilu legislatif yang benar pula.

Apabila caleg tersangkut politik uang, maka jika terpilih pasti mementingkan untuk mengembalikan uang daripada melaksanakan tugas legislatifnya.

Deklarasi antipolitik uang berlangsung di pendapa Kantor Pemerintah Kabupaten Malang itu dilakukan para caleg perempuan yang tergabung dalam Forum Bersama untuk Peningkatan Keterwakilan Perempuan (FBKP).

Ketua Komisi Pemilihan Umum Malang Nahrowi menyatakan, antusiasme perempuan atas pencalonan dalam pemilu legislatif di Kabupaten Malang cukup besar karena caleg perempuan meliputi 44 persen dari jumlah caleg.