Thursday, July 16, 2009

PT Freeport sebagai Sebuah Kompensasi atas Papua


Tak jarang kita disontakan oleh gelombang unjuk rasa yang menuntut penutupan kegiatan eksplorasi PT. Freeport Indonesia di Timika, Papua. Gelombang unjuk rasa yang telah memakan korban dan materi agaknya akan berlalu begitu saja tanpa ada respon yang berarti dari pemerintah atas tuntutan tersebut.

Meski tuntutan penutupan PT. Freeport Indonesia ini telah meluas layaknya sebagai tuntutan sebagian besar bangsa Indonesia, pemerintah nyatanya tak bergeming sedikit pun. Dalam reaksinya pemerintah hanya mengatakan bahwa penutupan Freeport adalah sebuah keputusan yang sangat tidak mungkin untuk dilakukan karena akan berdampak pada iklim investasi di Indonesia secara keseluruhan.

Namun apakah hanya itu semata yang memberatkan pemerintah untuk menutup PT. Freeport Indonesia? Ataukah ada hal lain yang lebih krusial di mata pemerintah? Dalih apapun yang disampaikan oleh pemerintah agaknya tidak akan mengubah stigma masyarakat bahwa pemerintah kita tak lebih sebagai komparador kapitalisme asing.

Reaksi pemerintah tersebut jelas sangat mengecewakan bangsa Indonesia terlebih lagi buat rakyat Papua sebagai komunitas yang akan semakin larut dalam keprihatinan akan nasibnya. Sebagai penghuni tanah yang diberkati dengan kekayaan yang melimpah, senyatanya tidak menjamin bagi mereka untuk hidup dalam sebuah kemapanan dan kesejateraan hidup. Hingga akhirnya, kemiskinan dan kebodohan adalah potret dari keberadaan rakyat Papua selama tiga dasawarsa terakhir.


Sebuah ironi memang, ketika melihat kebesaran PT. Freeport Indonesia dengan keuntungan yang bermilyar-milyar dollar berdiri dengan gagahnya sebagai lambang kemapanan sebuah industri di tengah kemiskinan dan kemelaratan penduduk asli di sekitarnya.

PT. Freeport sejak awal berdirinya sudah menuai kontroversi. Eksplorasinya dimulai pada bulan Desember 1967 setelah sebelumya ditandatangani kontrak karya pertama oleh pihak Freeport McMoran dan pemerintah Indonesia. Penandatanganan ini dilakukan tiga bulan setelah ditetapkannya UU No 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing, padahal ketika itu sebenarnya Papua (Irian Barat) sendiri masih dalam status perwalian PBB (UNTEA) dimana referendum penentuan pendapat rakyat (PEPERA) baru dilakukan pada tahun 1969. Sebuah kolusi tingkat tinggi yang melibatkan Amerika Serikat, PBB dan Pemerintah Indonesia sendiri.

Aroma yang menjadikan Papua menjadi komoditas politik-ekonomi sebenarnya sudah tercium saat New York Agreement tahun 1962. Amerika Serikat yang ketika itu sudah menjalin konspirasi dengan petinggi Angkatan Darat melakukan deal terselubung. Deal tersebut berisi tentang kesediaan pemerintah Amerika Serikat melalui PBB untuk mendorong Papua menjadi bagian dari wilayah NKRI, asalkan pemerintah Indonesia memberikan hak penuh kepada pihak Barat atas pengelolaan sumberdaya alam di Papua dan wilayah lain di tanah air.

Transaksi yang akhirnya menemui kata sepakat itu semakin disempurnakan dengan konspirasi menjungkalkan Soekarno yang dikenal sebagai penentang keras kapitalisme asing. Jadi tidak mengherankan apabila dikatakan bahwa harga dari keberanian pemerintah untuk menutup PT. Freeport Indonesia adalah kemerdekaan Papua.


Menilik historical-nya, maka jelas sudah gambaran betapa kuatnya “bargaining position” PT. Freeport dengan aktivitas pertambangannya. Dengan kuatnya posisi tawar tersebut, maka PT. Freeport tidak terlalu khawatir sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya baik terhadap lingkungan, terhadap penduduk asli maupun kepada pemerintah Indonesia sendiri sebagai pemegang otoritas investasi di Indonesia.

Kuatnya raksasa pertambangan Amerika ini, secara teknis bertolak pada klausul kontrak karya pertama dari perusahaan yang menginvestasikan 70 milyar US dollar pada tanggal 7 April 1967. Dalam kontrak karya yang disaksikan oleh Presiden Soeharto dan petinggi Freeport McMoran tersebut mengkomposisikan sahamnya sebesar 81,28 untuk Freeport McMoran Cooper & Gold Inc, kemudian 9,36% bagi pemerintah Indonesia dan yang 9,36% bagi Indocooper Investama, sebuah anak perusahaan milik Bob Hasan.

Lebih lanjut dalam klausul kontraknya itu dikatakan bahwa PT. Freeport Indonesia dalam eksplorasinya tidak akan tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia namun perusahaan ini hanya akan tunduk pada hukum yang berlaku di Amerika Serikat dan tepatnya lagi di wilayah hukum negara bagian Delaware, Amerika Serikat. Lebih tragisnya, klausul kontrak tersebut juga tidak mencantumkan kewajiban bagi PT. Freeport untuk melaksanakan beberapa hal penting seperti pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan hidup yang sesuai standard internasional; tidak ada kewajiban untuk menghitung dan mengenakan nilai harga atas mineral yang seharusnya menjadi asset penduduk lokal; tidak ada kewajiban membayar royalti; tidak ada kewajiban untuk membayar pajak lingkungan; tidak ada ketentuan mine closure; dan tidak ada kewajiban untuk bekerja sama dengan penduduk lokal.

Kontrak tersebut baru mengalami sedikit perbaikan pada tahun 1991 atau pada saat kontrak karya kedua diteken. Yaitu berkaitan dengan kewajiban PT. Freeport untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dan sejak tahun 1996 diatur pula kewajiban PT. Freeport untuk memberikan dana pengembangan masyarakat (Community Development) bagi tujuh suku sekitar (penduduk lokal) sebesar 1% dari total penghasilan Freeport selama satu tahun atau yang jumlahnya sekitar 62 juta US dollar dan ditambah lagi dengan dana perwalian bagi dua suku asli setempat (Kamoro dan Amungme) yang pada tahun 2006 lalu memperoleh dana sebesar 1 juta US dollar. Sebuah perimbangan yang mungkin jauh dari kata adil, namun jika ditilik kembali dari sejarahnya, itulah cerminan posisi tawar yang sedari awal sudah menempatkan kita dalam posisi yang amat lemah dan tak bertaji.


Kegalauan akan sebuah ketertindasan ekonomi kita oleh elemen asing sebenarnya bukanlah hal yang mengejutkan. Para ”Founding Fathers” sesungguhnya sudah mengingatkan kita akan sebuah metamorfosa imperialisme menjadi nekolim (neo-kolonialisme dan neo-imperialisme). Dua dasawarsa sebelum kemerdekaan beliau telah memprediksi bahwa kelak kapitalisme dan imperialisme yang ada saat itu tidak akan sirna, namun justru semakin berkembang dengan wajah yang lebih modern. Kapitalisme dan imperialisme tersebut bermetamorfosa secara institusi sebagaimana yang ditunjukkan kini dengan keberadaan lembaga-lembaga dunia seperti PBB, IMF, Bank Dunia maupun perusahaan-perusahaan Multi National Coorporation (MNC) dan Transnational Coorporation (TNC). Menurut Bung Karno neo-imperialsme ini bergerak bukan lagi pada tataran memerintah (overheersen) sebagaimana yang ditunjukan pada zaman kolonial, melainkan kini semakin lebih meng-hegemonik lagi dengan menguasai (beheersen) seluruh aspek kehidupan. Dalam upaya hegemoninya, lembaga-lembaga tersebut menginfiltrasi pengaruhnya secara halus dengan kemasan arif dan menawan seperti rekomendasi kebijakan (kerangka pikir governance), pinjaman modal dan bahkan hibah yang siap membasah-kuyupi segala bidang.

Kokohnya PT. Freeport Indonesia di ufuk timur Indonesia ini sekaligus menandai akan kekokohan dari sebuah parade neo-imperialisme pertambangan di Indonesia. Lihatlah bagaimana perusahaan-perusahaan pertambangan asing merajai industri pertambangan di Indonesia, berikut dengan geliat aktivitas ‘pengerukan kekayaan alam’ kita yang tanpa mampu dikontrol secara efektif oleh pemerintah kita. Emas-emas kita, minyak-minyak kita, gas-gas bumi kita, namun kita hanya bisa menerima dan menadahkan tangan atas kerelaan hati mereka untuk memberi persenan royalti dari hasil ekploitasi sumber daya alam kita oleh mereka.


Fakta sudah berkata, kegalauan Bung Karno pada beberapa dekade yang lalu atas imperialisme modern ini senyatanya sudah melanda, merangsek dan menjadi bagian dari dinamika kehidupan yang memiskinkan bangsa kita. Suatu kondisi yang benar-benar memprihatinkan, kondisi yang dapat diibaratkan seperti ayam mati di lumbung padi.

Sebuah potret kemiskinan yang merajalela di negeri yang kaya raya. Sungguh ironi yang tak terperi !!!

John Fajar Kambon (diedit seperlunya oleh Adib Susila Siraj)
http://kambon.wordpress.com/2008/07/25/pt-freeport-sebagai-sebuah-kompensasi/

No comments: