Friday, June 19, 2009

Menyentuh Kedamaian


Sejumlah wisatawan yang datang ke Bali, heran membaca peringatan berbunyi: ’pemulung dilarang masuk’ di mana-mana. Bagi yang punya empati dan memahami psiko-linguistik (ada cermin kejiwaan dalam pilihan-pilihan kata yang digunakan dalam keseharian) akan bertanya, ada apa di pulau kedamaian Bali?

Persahabatan, pengertian, kesabaran, kebaikan adalah ciri-ciri tempat penuh kedamaian. Dengan banyaknya papan ’pemulung dilarang masuk’ di Bali, adakah kedamaian sudah pergi dari tempat yang kerap disebut the last paradise ini? Maafkanlah keingintahuan. Dan kalau boleh jujur, Bali tidak sendiri. Keseharian kehidupan di mana pun ditandai oleh semakin langkanya kedamaian.

Jangankan negara miskin seperti Botswana di Afrika yang harapan hidupnya di bawah empat puluh tahun, sebagian manusia dewasanya positif terjangkit HIV. Amerika Serikat dan Jepang yang dikenal makmur harus menandai diri sebagai konsumen pil tidur per kapita terbesar di dunia, dan angka bunuh diri yang tinggi.

Mungkin langkanya kedamaian ini yang ada di balik data amat cepatnya pertumbuhan pusat meditasi di Barat. Sebagian guru dari Timur disambut oleh komunitas Barat dengan rasa amat lapar akan kedamaian.

Republik ini serupa. Setelah lebih dari enam dasa warsa merdeka, kedamaian tidak tambah dekat. Kemiskinan, bencana, bunuh diri, pengangguran hanyalah sebagian data yang memperkuat.

Semakin menjauhnya kedamaian di luar inilah yang membuat banyak sekali manusia memulai perjalanan ke dalam. Mencari cahaya penerang di dalam.

Pohon Kedamaian
Dalam perjalanan ke dalam, ada yang serupa antara pohon dengan pencinta kedamaian. Pohon bertumbuh mendekati cahaya. Pencinta kedamaian juga serupa. Dengan keseriusan latihan, suatu waktu hidupnya terang benderang. Makanya dalam bahasa Inggris puncak perjalanan ke dalam disebut enlightenment (pencerahan), ada kata light (cahaya) di tengahnya. Untuk itulah, perjalanan menyentuh kedamaian dalam tulisan ini dibuat menyerupai pohon.

Mari dimulai dengan bibit. Bibit jiwa ketika berjalan ke dalam adalah tabungan perbuatan baik sekaligus buruk. Bukan baik–buruknya yang jadi bibit, namun bagaimana ia diolah menjadi bibit. Kebaikan belum tentu menjadi bibit yang baik, terutama kalau kebaikan diikuti kesombongan dan kecongkakan. Keburukan tidak otomatis menjadi bibit buruk, secara lebih khusus kalau keburukan menjadi awal tobat mendalam serta komitmen kuat menjalani latihan keras.

Orang baik dengan bibit yang baik jumlahnya banyak. Namun orang jahat dengan bibit yang baik juga ada. Milarepa adalah sebuah contoh. Setelah melakukan santet yang berbuntut pada matinya sejumlah keluarga paman dan tante yang menipunya, Milarepa dihinggapi rasa bersalah yang mendalam. Sekaligus kesediaan untuk membayar kesalahan dengan pengorbanan berharga berapa pun. Inilah bibit Milarepa berjalan ke dalam yang membuatnya menjadi salah satu orang suci yang amat dikagumi di Tibet.


Lahan-lahan pertumbuhan lain lagi. Meminjam kalimat indah Kahlil Gibran, keseharian adalah tempat ibadah yang sebenarnya. Makanya suatu hari Guru Nanak yang memiliki murid Islam sekaligus Hindu yang sama banyaknya di India, ditanya mana yang lebih agung Islam atau Hindu. Dengan sejuk dan teduh Guru Nanak menyebutkan, baik Islam mau pun Hindu sama-sama kehilangan keagungan kalau umatnya tidak berbuat baik. Siapa saja yang mengisi hidupnya dengan kebaikan, ia sudah menyiapkan lahan subur.

Akar pohon kedamaian adalah pikiran yang bebas dari penghakiman. Sebagaimana ditulis Ajahn Munindo dalam The gift of well–being: ’until we enter this dimension, all our wise words will be mere imitation’. Sebelum kita bebas dari penghakiman, maka kata-kata kita hanya barang tiruan hambar yang tidak bergetar. Makanya mereka yang berkarya dengan kualitas kenabian (prophetic) seperti Jalaluddin Rumi, Thich Nhat Han, Michael Naimy, Rabindranath Tagore, dengan kata-kata yang menggetarkan, semuanya sudah lewat dari kesukaan melakukan penghakiman. Dan siapa saja yang telah melewati ini tahu, betapa cepatnya pertumbuhan kemudian.

Teknik yang tepat adalah batang pohonnya. Bertemu teknik yang terlalu maju, atau terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan, hanya akan membuat perjalanan hambar dan biasa. Sehingga layak disarankan untuk mencoba berbagai teknik, kemudian rasakan. Teknik mana pun yang menghadirkan rasa damai yang paling mendalam, bisa jadi itulah teknik yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan kini.

Daun rimbun kedamaian muncul ketika perjalanan ke dalam mulai menyatu dengan keseharian. Seperti mandi, ada yang kurang kalau sehari tidak melakukan perjalanan ke dalam. Lebih dari itu, setiap kejadian dalam keseharian (yang menyenangkan sekaligus yang menjengkelkan) menghadirkan bimbingan-bimbingan.

Bunga pohon kedamaian mulai bermekaran tatkala keseharian mulai menyentuh kedamaian. Hidup serupa dengan berjalan ke puncak gunung. Semakin lama semakin teduh dan sejuk. Ini baru bayangan bulan. Bila bayangannya saja demikian indah, betapa indahnya bulan kedamaian yang sebenarnya.

Siapa saja yang tekun dan terus menerus menyentuh kedamaian, persoalan waktu akan melihat munculnya buah pohon kedamaian. Kedamaian yang berlawankan kesedihan memang menghilang, ia digantikan batin tenang seimbang yang keluar dari segala dualitas.

Sejumlah sahabat Sufi yang sampai di sini berhenti memuji surga, berhenti mencaci neraka. Di Jawa disebut suwung. Di Bali diberi sebutan embang (Sunyi). Orang Zen menyebutnya attaining the non attainment. Mencapai keadaan tanpa pencapaian. Yang membuat cerita pohon kedamaian ini jadi lebih utuh, Thomas Merton pernah mengungkapkan, pekerjaan manusia yang telah tercerahkan mirip dengan pohon. Dalam hening, dalam damai pohon mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang dihirup tidak terhitung jumlah mahluk.

Peraih buah kedamaian juga serupa, ia tidak menikmati kedamaiannya sendiri. Dalam hening, dalam damai ia menghasilkan vibrasi kedamaian, yang serupa dengan oksigen kendati tidak terlihat, namun amat dibutuhkan oleh tidak terhitung jumlah mahluk. Sebagian orang-orang yang tercerahkan cara bernafasnya berbeda. Ketika menarik nafas, ia bayangkan sedang menarik masuk semua kekotoran. Tatkala menghembuskan nafas, ia bayangkan sedang membuang semua hal yang bersih dan jernih.

Gede Prama, 7 Juni 2009

No comments: