Wednesday, June 17, 2009

Barack Obama: Satu Pidato Tak Menyelesaikan Masalah


SUARANYA lantang, tapi ramah. "Halo, halo, halo," katanya seraya memasuki ruangan. Tujuh wartawan berbagai negeri yang telah menunggu di sekeliling meja bundar di sebelah aula Universitas Kairo, Mesir, itu pun berdiri menyambut, Kamis pekan lalu.

Barack Obama baru saja selesai berpidato di aula universitas. Di depan sekitar 3.000 hadirin -sebagian besar mahasiswa- Presiden Amerika Serikat itu berbicara tentang negerinya, dunia Islam, dan mustahaknya perdamaian. Ia mengutip Al-Quran dan Taurat. Sepanjang 55 menit itu hadirin memberikan lebih dari 25 aplaus, dan dua kali teriakan "I love you!"

Ia tak tampak lelah ketika memasuki ruangan wawancara. Sambil bersalaman, para wartawan mulai bertanya. "Masih bisa berbahasa Indonesia?" wartawan Shahanaaz Habib dari koran The Star, Malaysia, menyapa. Obama menjawab dalam bahasa Indonesia yang fasih, "Sudah banyak lupa."

Wartawan Tempo, Bambang Harymurti, mengajukan empat pertanyaan, termasuk tentang rencana Obama menjenguk rumahnya di Menteng Dalam, Jakarta. Juga tentang sikapnya mengenai hubungan politik dan keyakinan agama.

Obama memang bukan penganut sekularisme murni, seperti umumnya kaum liberal di Partai Demokrat. Pengalamannya bergaul di kalangan aktivis gereja membuatnya melihat peran para pastor gereja kalangan berkulit hitam (black churches), yang biasanya juga aktivis sosial, bahkan politik.

Mengenakan setelan jas hitam dan dasi biru, Presiden Obama duduk di kursi dan memulai acara dengan santai, tapi serius. "Kita kabarnya hanya punya waktu 30 menit, dan saya baru berpidato," katanya. "Jadi, sebaiknya kita mulai saja acara ini secara bergiliran." Ia segera menunjuk Wafa Amr, wartawan perempuan koran Al Quds di Palestina.

Pertanyaan demi pertanyaan meluncur, dan Presiden Obama menjawabnya dengan penuh percaya diri. Agaknya, pengalamannya sebagai pengajar membuatnya campin menjelaskan masalah pelik dengan segar, karena selalu dilampiri senda gurau.

Tak terasa 50 menit berlalu, dan wawancara harus dihentikan. "Saya sekarang ingin melihat piramida," katanya. Namun para wartawan rupanya tak ingin melepaskan Obama begitu saja. Acara foto bersama dan minta tanda tangan pun sempat berlangsung sebelum presiden yang ramah itu meninggalkan ruangan.

Berikut ini wawancara Presiden Obama dengan Tempo dan enam wartawan dari Palestina, Mesir, Israel, Malaysia, Libanon, dan Arab Saudi.


Kapan Anda berkunjung ke Indonesia?
O... saya perlu berkunjung ke Indonesia segera. Saya perkirakan pada tahun depan. Saya akan surprised kalau dalam perjalanan ke Asia nanti saya mampir ke kampung halaman lama saya, Jakarta. Pergi ke Menteng Dalam, makan bakso dan nasi goreng... (tertawa).

Saya tinggal hanya 300-an meter dari rumah Anda di Menteng Dalam....
Is that right? Tapi saya dengar sekarang jalannya sudah diaspal, ya? Dulu, sewaktu saya tinggal di sana, jalannya masih tanah, sehingga kalau turun hujan jadi lumpur dan mobil-mobil terjebak.

Apakah Anda akan datang November nanti, ketika ada pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC)?
Jangan tanya saya soal detail... (tertawa).

Dalam buku The Audacity of Hope, Anda menulis soal pengalaman Anda terlibat dalam kegiatan gereja kaum kulit hitam. Apakah Anda merasa banyak kesamaan pandangan di kalangan aktivis gereja kulit hitam itu tentang hubungan agama dan politik dengan pandangan para aktivis politik Islam?
Sebagai seorang penganut Nasrani yang juga pendukung kuat demokrasi dan hak asasi manusia, dan dosen ilmu konstitusi, saya punya pandangan tentang bagaimana masyarakat pluralistik hidup bersama. Ini adalah soal yang telah banyak saya pikirkan. Apa yang saya coba komunikasikan dalam pidato saya adalah apa yang amat saya yakini, bahwa di dunia yang interdependen seperti sekarang ini, tempat berbagai keyakinan yang berbeda harus hidup bersama, kita membutuhkan keyakinan yang dewasa, yaitu yang mengatakan: saya sangat meyakini keyakinan saya, tapi saya menghormati kenyataan bahwa orang lain juga dapat amat meyakini keyakinannya yang berbeda. Jadi, jalan satu-satunya kita dapat hidup bersama adalah jika kita menyepakati satu sistem politik yang menghasilkan aturan tentang bagaimana hubungan bersama dilakukan, yaitu saya tak bisa memaksakan ketentuan agama saya berlaku pada orang lain, bahwa saya tak bisa memobilisasi pihak mayoritas untuk mendiskriminasi kalangan minoritas. Saya tak bisa mengambil aturan dalam agama saya dan menerapkannya kepada penganut agama lain.

Itu bukan berarti saya tak dapat melontarkan argumen berdasarkan keyakinan saya. Misalnya, sebagai penganut Nasrani, saya percaya perintah Tuhan tentang tak boleh membunuh, dan sebagai politikus saya mengupayakan undang-undang yang melarang orang membunuh. Ini bukan berarti saya memaksakan keyakinan agama saya, melainkan memperjuangkan nilai moral yang mungkin diterima juga oleh pihak-pihak lain karena bersifat universal. Saya kira amat penting bagi umat Islam untuk merenungkan soal ini. Misalnya tentang syariah. Saya sadar tak semua agama punya pandangan yang sama tentang perannya dalam politik, tentang bagian mana dalam ajarannya yang layak diterapkan pada hukum sekuler. Tapi, kalau ada yang memaksakan ajarannya harus dijalankan oleh penganut agama atau kelompok lain, ini jelas bertentangan dengan semangat demokrasi dan lama-lama akan menyebabkan terjadinya instabilitas, bahkan perilaku destruktif di masyarakat. Ini adalah hal penting yang perlu diperdebatkan secara internal di kalangan penganut Islam.


Satu hal yang saya yakini, bila ada yang merasa dibenarkan oleh agamanya untuk membunuh orang lain, pasti ia telah keliru memahami ajaran agamanya. Saya kira ini adalah persoalan yang perdebatannya sudah selesai bagi kebanyakan orang, tapi masih ada kelompok amat kecil yang berpotensi destruktif.

Mengapa memilih Kairo untuk melontarkan pidato ini?
Saya pikir penting melakukannya di Kairo, karena sumber masalah utama hubungan Islam dan Amerika Serikat belakangan ini berada di kawasan Timur Tengah. Ini memang nyaris terkesan mencederai Indonesia, karena bukan hanya saya pribadi yang mengenal dekat budayanya. Adik tiri saya kelahiran Indonesia. Tapi, terus terang, hubungan Amerika Serikat dan Indonesia umumnya baik. Memang sempat melemah beberapa saat setelah perang Irak, tapi boleh dikatakan secara umum komunikasi kami baik. Kecenderungan saya adalah menghadapi masalah di sumbernya, bukan dengan menghindar. Dan dalam situasi sekarang ini, saya kira, sumber masalah dengan Amerika Serikat adalah dengan negara-negara di Timur Tengah.

Sebenarnya pidato Anda ditujukan kepada siapa? Kelompok ekstrem tampaknya tak menggubris.
Terutama kalangan muda dunia Islam. Kalau ada anak muda Islam, mungkin berusia 20 tahun, yang tersentuh ajakan saya, lalu memulai sebuah percakapan dengan teman sebaya atau orang tuanya, itu berarti pidato saya tak sia-sia. Mudah-mudahan perbincangan itu membuat mereka tak mudah direkrut kelompok ekstrem. Kelompok ekstrem memang bukan khalayak sasaran pidato saya.

Tidakkah ekspektasi terhadap Anda terlalu tinggi?
Saya sudah berusaha menjelaskan bahwa hanya satu pidato tak akan menyelesaikan masalah. Yang hendak saya lakukan adalah memulai sebuah perbincangan, bukan hanya antara saya dan masyarakat Islam, tapi di antara komunitas Islam sendiri, di antara masyarakat Amerika, juga di antara masyarakat Barat, yaitu bagaimana membicarakan masalah ini dengan jujur. Apa diagnosis terhadap problem yang ada? Mungkin perlu waktu lama untuk melakukan diagnosis, tapi tak mungkin melakukan penyembuhan tanpa diagnosis yang tepat. Saya tak berpikir beberapa masalah ini akan dapat diselesaikan dalam waktu singkat.

Apa perbedaan pendekatan pemerintahan Anda dibanding sebelumnya dalam upaya menyelesaikan masalah Palestina?
Saya kira terlalu prematur menjawabnya sekarang. Saya baru menyampaikan satu pidato tentang hal-hal prinsip saja, belum masuk ke pelaksanaannya. Perdana Menteri Netanyahu baru menjabat dua bulan, dan Presiden Mahmud Abbas, yang saya temui dua pekan lalu, sedang melakukan konsultasi dengan para pemimpin Arab. Masih harus didiskusikan sejauh mana kesediaan masing-masing pihak mencari penyelesaian. Ini adalah masalah sulit, dan tak boleh dianggap remeh. Apalagi masing-masing pihak memiliki persoalan politik yang juga pelik. Konflik ini sudah berjalan 60 tahun, tak mungkin diselesaikan dalam waktu singkat.


Adakah kerangka waktu dalam menyelesaikan kasus ini?
Saya tak mau memaksakan jadwal. Saya kira dapat dirasakan kapan perundingan mengalami kebuntuan dan kapan bergerak. Saat ini kebuntuan sudah terjadi untuk waktu cukup lama, maka perlu digerakkan kembali.

Bagaimana sikap Anda terhadap Hamas?
Telah saya sebutkan dalam pidato saya tadi bahwa tak dapat dimungkiri Hamas mempunyai dukungan di sebagian warga Palestina. Juga saya katakan, Hamas harus mulai memikul tanggung jawab jika ingin menjalankan pemerintahan. Hamas harus sadar, tak mungkin menjalankan pemerintahan tanpa mengakui eksistensi negara tetangganya, Israel. Menghilangkan Israel adalah sebuah ilusi. Kini Hamas harus memutuskan apakah hanya tertarik berbicara atau menghasilkan karya nyata. Jika memang serius, Hamas harus keluar dari jalan kekerasan dan mengakui hak hidup Israel. Jika ini dilakukan, masih banyak hal lain yang dapat dinegosiasikan. Maka pilihan sebenarnya berada di tangan Hamas.

Mungkinkah pemerintahan Anda menekan Perdana Menteri Netanyahu, mengingat kuatnya lobi Israel di Kongres Amerika Serikat?
Pertama, saya telah menjelaskan bahwa hubungan Amerika Serikat dan Israel amat kuat, tak mungkin putus, partai apa pun yang berkuasa di Kongres. Hubungan ini amat dalam, karena faktor budaya dan sejarah. Jadi jangan harap hubungan ini akan putus. Tentang Perdana Menteri Netanyahu, dia baru saja menyusun pemerintahan koalisi yang tak mudah, dan baru dua bulan menjabat. Saat ini, banyak warga Israel kehilangan kepercayaan terhadap proses negosiasi. Saya percaya Perdana Menteri Netanyahu akan menghidupkan kembali kepercayaan ini. Ingat kunjungan Nixon yang terkenal ke Cina? Karena Nixon dari Partai Republik yang dikenal antikomunis, ia dapat melakukannya. Hal ini susah dilakukan seorang presiden dari Partai Demokrat. Saya percaya Netanyahu dapat memainkan peran seperti yang dilakukan Nixon dulu. Paling tidak, berilah kesempatan beberapa bulan lagi sebelum menyatakan penyelesaian kasus Palestina pasti gagal.

Bagaimana sebenarnya sikap Anda tentang Iran?
Saya sudah menjelaskan soal ini di masa lalu, dan tetap konsisten. Adalah kepentingan Iran juga untuk mencegah terjadinya perlombaan memiliki nuklir di kawasan ini. Pendekatan saya adalah, mari membicarakan hal ini dan mencari solusi bersama. Tapi saya juga sadar tentang batasan waktu, tentang pentingnya masalah ini diselesaikan segera. Saya cenderung melakukan pendekatan diplomasi dalam menyelesaikan masalah, tapi tentu saya tak akan melakukan pembicaraan sekadar untuk bicara saja. Jika saya tak melihat ada kemajuan, tentu opsi lain dipertimbangkan demi menjaga kepentingan kami.

TEMPO Interaktif, 8 Juni 2009

No comments: