Monday, May 4, 2009

Epistemologi Buruh


“Ideology is indispensable in any society if men are to be formed, transformed and equipped to respond to the demands of their conditions of existence.”
— Louis Althusser

Kita bekerja tidak sekadar mencari nafkah. Tentu kita senang mendapat uang dari hasil kerja. Tapi ada bentuk lain, yakni memperjuangkan nilai-nilai yang lebih baik bagi diri kita dan orang lain. Tujuannya menciptakan kebahagiaan di dunia kerja. Kita menyebut setiap gagasan, harapan dan perbuatan menuju kondisi yang dinginkan sebagai ideologi.

Menurut sebagian orang, ideologi berkenaan dengan kumpulan ide atau gagasan. Kata Mazhab Frankfurt, ideologi adalah struktur pengetahuan yang punya solusi terhadap problem konkret yang dihadapinya. Menurut Jorge Larrain dalam The Concept of Ideology, ideologi merujuk pada sistem pendapat, nilai, dan pengetahuan yang berhubungan dengan kepentingan kelas tertentu yang cara berpikirnya mungkin berbeda-beda.

Ideologi dipahami pula sebagai visi yang komprehensif tentang segala sesuatu secara umum dan filosofis. Konsep ini ditransformasikan oleh kelas yang dominan kepada publik agar menjadi inti gerakan politik. Tujuan utama ideologi adalah tawaran perubahan melalui proses pemikiran normatif.

Dalam ringkasan lain, ideologi adalah struktur pengetahuan yang melahirkan sikap dan tindakan dalam menyikapi realitasnya. Problem tidak mesti terlihat secara kasat mata. Ia bisa berada di luar lingkungan sosial kita, melampaui dunia material kita, atau bahkan melingkari konsep kita sendiri.

Problem karyawan tidak mesti disebabkan oleh manajemen perusahaan. Bisa jadi oleh krisis ekonomi yang berada di luar kendali perusahaan. Bahkan mungkin saja ada suatu sistem yang membuat perusahaan dan karyawan tertindas bersama-sama.

Sebuah problem tidak mesti dirasakan dulu untuk disebut sebagai problem. Setiap orang yang hidup dalam realitas sosial pasti punya problem. Bahkan orang yang tidak punya problem pun punya problem. Problemnya adalah ’tidak punya problem’. Karyawan yang kesehariannya riang gembira bukan tidak punya problem. Ia punya problem, hanya saja ia tidak peka.

Fungsi ideologi mengkonstruksi semua problem manusia dan memecahkannya dalam praktik.

Memilih Ideologi
Ideologi bertumpu pada pengetahuan. Setiap manusia punya pengetahuan. Setidaknya pengetahuan tentang dirinya sendiri: dirinya adalah dirinya dan dirinya pasti bukan selain dirinya. Dalam filsafat Aristoteles, pengetahuan primordial ini disebut prinsip identitas. Kita bisa juga menyebutnya: kesadaran.

Setiap manusia punya ideologi. Apa pun profesinya. Supir, presiden, pelacur, pemulung, menteri, pengemis, polisi, pencopet, semua punya ideologi. Meskipun orang-orang itu tidak menyadarinya.

Ada kalangan yang menyanggah, “Saya sudah muak dengan ideologi. Itu masa lalu. Kita bicara yang konkret saja.” Alih-alih menetralisir ideologi, pernyataan tersebut mempertegas keniscayaan ideologi. Sang pemrotes sudah berideologi. Ideologinya: ’tanpa-ideologi’.

Mirip dengan ungkapan lain, “Saya bosan dengan aliran, golongan, atau mazhab. Saya tidak mau ikut-ikutan. Saya netral saja.” Ia memang tidak ikut aliran mainstream. Namun ia menyatakan alirannya ’netral’ atau ’tidak-bermazhab’. Bila ada dua aliran yang ia tolak, ia memilih membentuk atau berposisi di aliran ketiga.

Kesimpulannya, tidak ada orang yang bebas dari ideologi. Tidak ada pula orang yang bebas untuk tidak memilih. Bahkan, ’tidak memilih’ pun adalah sebuah pilihan. ’Memilih’, atau berkehendak, adalah sesuatu yang melekat pada diri setiap orang.

Pengetahuan, Pondasi Ideologi
Ideologi mempunyai tiga pondasi: gagasan, sikap, dan aksi. Konsep atau gagasan (knowledge) adalah tersingkapnya realitas tanpa keraguan. Konsep diperoleh dari interaksi subjek dengan objek melalui panca indera yang terverifikasi melalui akal rasional kita. Konsep-konsep yang terakumulasi sejenis dan terstruktur kita namakan ilmu pengetahuan.

Sikap adalah konsekuensi lanjut atau penilaian spontan atas pengetahuan yang kita terima. Jika kita tidak punya sikap, bisa dipastikan kita tidak punya pengetahuan. Sikap kita menentukan penilaian kita atas realitas yang kita tangkap. Dan penilaian kita menentukan kualitas diri kita.
Sedangkan perbuatan manusia sangat bergantung pada kesadarannya atas realitas. Karena kita makhluk sosial, maka tindakan kita harus mengarah pada pembaruan kehidupan sosial pula.

Misalnya, kita melihat sebuah buku. Otomatis kita punya konsep tentang buku. Pengetahuan tentang buku ini punya nilai kuat dan lemah, tergantung pada sejauh mana ’buku’ itu teruji keberadaannya. Informasi tentang buku lebih lemah nilainya daripada melihat buku, lebih lemah nilainya daripada memegang buku, lebih lemah nilainya daripada menggunakan buku, lebih lemah nilainya daripada mengetahui secara detil bagaimana sebuah buku itu dibuat.

Seperti halnya sebatang sumpit yang nampak bengkok saat dicelupkan ke segelas air. Setelah diraba, sumpit itu tidak benar-benar bengkok. Kita tahu, ada pembiasan cahaya atau penjelasan fisika lain. Sumpit bengkok hanya sebatas pemahaman saja. Dan pengetahuan yang kuat adalah sumpit tidak bengkok. Begitu seterusnya.

Kita hidup untuk mencari pengetahuan yang sebenar-benarnya, yang akan kita bela sampai mati. Kita tidak mau menerima pengetahuan yang belum teruji. Pengetahuan yang lemah hanya berfungsi sebagai informasi dalam benak kita. Tidak akan berpengaruh sedikitpun bagi diri kita. Sedangkan pengetahuan yang kuat akan mengoreksi pengetahuan sejenis yang lebih lemah. Pengetahuan itu akan memperkokoh pengetahuan sejenis yang sudah ada.

Buruh yang punya pengetahuan perburuhan yang utuh akan mengetahui segala konsekuensi perbuatannya. Ia akan lebih peka terhadap nasib buruh-buruh lain, terutama yang tertindas. Ia juga menyadari sistem perburuhan punya hubungan dengan sistem lain. Sebaliknya, buruh yang tidak punya pengetahuan perburuhan yang utuh tidak akan berani bertindak. Meskipun ia dizalimi. Ia lebih berpikir personal dan tidak peduli dunia lain.

Pengetahuan dan Keyakinan
Pengetahuan yang bernilai kuat akan menjadi keyakinan kita. Puncak keyakinan adalah keimanan. Misalnya, buku yang kita lihat, rasakan, gunakan, ketahui cara produksinya, akan menjadi iman kita setelah kita yakini betul keberadaannya.

Setiap manusia pada dasarnya telah beriman pada sesuatu, yakni pada objek pengetahuannya tersebut. Karena objek-objek di alam semesta ini tak terbatas –dari yang terindera hingga tidak terindera, dari yang kasat mata hingga batin— maka pengetahuan dan iman kita pun tidak terbatas. Perjalanan pengetahuan manusia beranjak dari sesuatu yang terbatas menuju objek pengetahuan yang tidak terbatas.


Kesadaran
Pengetahuan, keyakinan, keimanan adalah pondasi utama kesadaran (consciousness). Awal kesadaran berkenaan dengan pengetahuan primordial kita. Kita sadar: diri kita = diri kita; diri kita = bukan selain diri kita. Bila kita tidak menyadari kedirian kita, mustahil kita menyadari keberadaan yang lain. Kesadaran terkait erat dengan kontrol atau kewaspadaan.

Saat kita sadar berkendaraan, kita waspada terhadap kendaraan lain di sekeliling kita, lubang, rambu lalu lintas dan penyeberang jalan. Tapi bila kita tidak sadar, tertidur atau melamun, besar kemungkinan kita mendapatkan kecelakaan.

Misalnya, kita melihat sebuah buku di etalase. Tapi karena pikiran kita melayang entah ke mana, maka buku yang kita lihat tidak akan hadir di benak kesadaran. Mata kita bekerja normal, tapi tidak berfungsi sebagai indera penglihatan (baca; indera kesadaran).

Begitupun dengan posisi kita sebagai karyawan. Karyawan yang sadar adalah ia yang selalu awas dalam setiap berhubungan dengan perusahaan. Mulai saat perjanjian kerja dibuat, spesifikasi yang diberikan hingga beban pekerjaan tersebut. Ia tahu perusahaan selalu mencari celah untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari karyawannya. Sebaliknya, karyawan yang tidak sadar adalah karyawan yang menekankan standar abstrak terhadap perusahaannya. ”Ah, saya tidak masalah lembur tidak dibayar. Toh cuma beberapa jam saja.” Padahal perusahaan selalu menekankan standar konkret.

Dengan demikian, sungguh mengherankan ada orang-orang yang lebih suka menghilangkan kesadarannya dengan minum minuman keras atau memakai obat-obat terlarang. Alasan umumnya adalah melarikan diri dari problem hidup. Padahal masalah hidup tidak akan pernah hilang kecuali dihadapi dan diselesaikan hingga tuntas. Mabuk cuma menunda masalah. Setelah ia bangun tidur dan siuman kembali, problem itu pun datang kembali.

Batas Kesadaran
Semakin besar konsep yang kita miliki, semakin luas kemungkinan kesadaran kita. Setiap makna yang kita peroleh selalu kita kaitkan dengan realitas lain yang lebih besar, atau spesifik. Misalnya, rambut adalah medan kesadaran pencukur rambut. Bagi loper koran, rambut orang bukan wilayah kesadarannya. Ia hanya butuh pembeli koran.

Tidak heran, sebagian pemikir mengatakan bahwa diri kita terkait dengan pekerjaan kita. Apa yang kita kerjakan terkait erat dengan struktur pengetahuan yang melekat dalam diri kita. Ia dibentuk berdasar pengalaman dan pengetahuan yang terus menerus. Di alam ini selalu muncul dua kelas yang berlawanan. Satu sama lain bertarung memperebutkan hegemoni. Di luar itu semuanya adalah nonsens.

Sampai kapan pun perusahaan mengeksploitasi karyawan. Orang kaya pasti mencuri harta orang miskin. Negara pasti menindas warganya. Tidak ada dua kelas sosial yang berbeda bisa bekerja sama, kecuali salah satunya berhasil ditundukkan.

Tapi ada pandangan lain. Dikatakan, mereka yang menguasai dan memperluas kesadarannya tidak hanya pada kelas dan pekerjaannya semata, maka ia akan mempunyai penyikapan yang lebih utuh dan komprehensif. Semakin besar medan kesadaran kita, semakin luas makna kita tentang sebuah pekerjaan. Kita tidak dikungkung pada sejenis pekerjaan tertentu saja.

Bagi kalangan ini, pekerjaan hanyalah alat, bisa berganti atau berubah. Yang utama tetaplah ideologi atau tokoh di belakang pekerjaan tersebut. Tidak setiap perusahaan itu penjahat, tidak setiap orang kaya itu pencuri, dan tidak setiap negara itu penindas.

Tindakan
“Thinking is easy, acting is difficult, and to put one’s thoughts into action is the most difficult thing in the world.” (Berpikir itu mudah, berbuat itu sulit, dan yang paling sulit adalah menerapkan pikiran orang lain ke dalam tindakan di dunia ini)
–Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832).

Tiap orang punya motif. Meskipun jenis pekerjaan yang dilakukan sama, kualitas pekerjaan berbeda pada tiap-tiap orang. Dan titik tertinggi pekerjaan manusia adalah pada pengorbanannya untuk sesuatu di luar dirinya yang menurutnya lebih sempurna.

Ada orang yang bertindak sebagai reaksi atas apa yang dihadapinya. Ia lapar, karena itu ia bekerja.
Ada orang yang bertindak berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Ia mulai rajin menabung karena pernah menderita kesulitan keuangan.
Ada orang yang bertindak karena pengalaman orang lain. Ia rajin menabung karena meyakini hemat pangkal kaya.
Ada pula orang yang bertindak sebagai konsekuensi ideologinya. Ia hidup sederhana bukan karena tidak mampu membeli barang mewah. Tapi ia sisihkan sebagian pendapatannya untuk membantu orang-orang yang tidak mampu.

Ada lagi orang yang bertindak sebagai bentuk perlawanan. Ia bekerja bukan sekadar agar mampu membantu orang-orang yang kekurangan. Ia juga berupaya menyadarkan kelas mereka. Ia menyadari, kesusahan mereka dalam memperoleh pekerjaan, pendidikan dan kesehatan, dikarenakan sistem ekonomi pasar liberal.

Kita sebut contoh lain. Misalnya, mengapa kita bersusah payah demonstrasi perburuhan? Jawabannya bisa bermacam-macam, mulai dari yang praktis hingga yang normatif dan idealis.
Seorang demonstran buruh bisa berucap, ia turun ke jalan karena sudah capek hidup miskin. Bila demonstrasi tersebut berhasil dan upah buruh meningkat, ia berencana mengganti ponselnya dengan model terbaru, yang ada fitur kamera megapiksel, suara stereo, dan game menarik.

Buruh yang lain nyeletuk santai, lebih baik turun ke jalan daripada bengong di pabrik. Sesekali refreshing. Siapa tahu bisa disorot televisi.

Ada lagi yang bergerak sebagai bentuk solidaritas. Tidak enak bila ada demonstrasi buruh yang tidak kita ikuti karena status kita pun buruh.

Ada pula buruh yang beralasan, membiarkan sistem yang zalim adalah sama saja dengan menciptakan generasi budak. Dulu, katanya, kedua orangtuanya bukan buruh. Sekarang ia, anaknya, jadi buruh. Bagaimana jadinya bila sistem ini tidak diubah? Tentu nasib anak cucunya lebih mengenaskan lagi. Karena itulah ia melawan.

Tindakan bisa sama, tapi intensitas kepedulian dan pemahaman pada sumber masalah berbeda-beda.

Tanda Kepedulian
Lihatlah tayangan fauna di televisi. Demi sumber kehidupan baru, banyak kambing mati diterkam buaya saat menyeberang sungai. Adakah simpati dan keprihatinan dari sesama kambing yang masih hidup? Adakah kambing yatim piatu yang diurus kambing dewasa? Tidak ada. Mereka berjuang untuk tujuan masing-masing. Mereka bergabung dengan komunitas kambing lain bukan karena ada sebuah tujuan luhur, melainkan hanya ingin mencari keselamatan masing-masing.

Buruh yang melakukan demonstrasi demi menghindar dari kemiskinannya sendiri tidak bernilai apa-apa. Ia tidak ubahnya kambing yang mencari rumput hijau. Tindakan manusia tidak bernilai apa-apa bila tidak mempunyai struktur dan sistematika ideologi yang jelas dan argumentatif. Dan kualitas sebuah tindakan ditentukan pada sejauh mana kita berani menanggung risiko atas segala perjuangan kita.

Demonstrasi menentang PHK yang sewenang-wenang bisa bernilai rendah apabila hanya didasarkan pada sekadar ikut-ikutan. Ia bernilai tinggi ketika dilandaskan pada kesadaran nilai bahwa kesewenang-wenangan harus dilawan, tidak boleh dibiarkan begitu saja.

Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah melakukan tindakan nyata? Apakah tujuan tindakan kita?

Ringkasan:
1. Konsepsi melahirkan kesadaran.
2. Kesadaran mengantarkan sikap.
3. Sikap menghasilkan tindakan.
4. Konsepsi tanpa kesadaran adalah khayalan.
5. Kesadaran tanpa penyikapan adalah wacana kosong.
6. Penyikapan tanpa tindakan tanda kepengecutan.
7. Tindakan tanpa kesadaran, kesia-siaan.
8. Tindakan yang benar pasti punya tujuan.

anditoaja.wordpress.com

No comments: