Saturday, April 25, 2009

Perlu Paradigma Baru Ekonomi


Para pemimpin pemerintahan mendatang diharapkan berani menerapkan kebijakan ekonomi dengan meninggalkan paradigma lama yang terlalu konservatif dan bergantung kepada pihak asing. Tanpa paradigma baru, perekonomian Indonesia akan terus-menerus mengalami krisis.

Demikian diungkapkan A Prasetyantoko dari Kelompok Kajian Ekonomi Kreatif Unika Atma Jaya dan Jeffrey A Winters, pakar ekonomi politik dari Northwestern University, dalam seminar bertajuk krisis dan pemilu, Rabu (22/4) di Jakarta.

Prasetyantoko menjelaskan, krisis keuangan global yang terus berlangsung hingga saat ini tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara konservatif yang selama ini menjadi pakem kebijakan ekonomi Indonesia.

Salah satu pakem kebijakan ekonomi Indonesia adalah terlalu bergantung kepada pihak asing. Salah satu indikasinya, pemerintah dan Bank Indonesia selalu bangga jika dana jangka pendek asing (hot money) berbondong-bondong masuk ke dalam negeri.

Padahal, kondisi ini membuat pasar keuangan domestik sangat spekulatif dan tidak stabil. Implikasi dari pakem kebijakan ini, suku bunga acuan (BI Rate) sulit ditarik ke level rendah. BI Rate harus terus berada di level yang lebih tinggi dari negara lain agar investor asing tertarik masuk.

Gelembung surat utang
Kebijakan ini, kata Prasetyantoko, akan menjadi bumerang bagi Indonesia pada 2010 karena pada tahun depan diprediksi akan terjadi krisis keuangan lanjutan yang disebabkan gelembung surat utang (bubble bond).

Untuk menutup defisit yang membengkak, pemerintah negara-negara maju akan beramai-ramai menerbitkan surat utang. Akibatnya, dana-dana asing jangka pendek yang belakangan mulai masuk ke Indonesia akan keluar kembali. Dampaknya, nilai tukar bakal anjlok dan berpotensi memicu krisis.

Winters mengatakan, paradigma usang lain yang masih dianut Pemerintah Indonesia adalah tidak berani mematok pertumbuhan dua digit. ”Sejak zaman Orde Baru selalu ditanamkan bahwa pertumbuhan 7 persen sudah merupakan hal luar biasa,” ujarnya.

Padahal, dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya satu digit, Indonesia sulit menjadi negara maju. Krisis dan pemilu saat ini, kata Winters, membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang mengusung perubahan untuk mengganti status quo.

KOMPAS, 23 April 2009

No comments: