Wednesday, April 8, 2009

Dilema Demokrasi Angka


Apakah representasi bobot demokrasi diukur dalam angka? Itulah pertanyaan kaum relativis terhadap pemeluk logika Cartesian dalam politik, yang selalu percaya pada rumus matematika dalam mengukur perubahan sosial-politik.

Kaum relativis meragukan obyektivitas pengukuran pada domain humaniora dengan memakai metode ilmu pasti. Mereka berpandangan, obyek tak pernah lepas dari kesadaran subyek (Husserl, 1859-1938; Heidegger, 1889-1976; Gadamer, 1900-2002) sehingga kebenaran tak dapat dimutlakkan.

Tak hanya pada ranah epistemologis, dalam politik pun logika Cartesian mengundang perdebatan. Ketika Inkeles (1991) berupaya memastikan kemajuan demokrasi dalam angka, Lindberg (2002) justru menemukan hal yang bertentangan di Afrika, bahwa demokrasi tak dapat diangkakan. Setiap negara punya konteks dan kompleksnya tersendiri.

Tulisan ini pun tak berpretensi memperlihatkan keberpihakan.

Masalah kemiskinan
Dua hal perlu dipertimbangkan, terutama setelah demokrasi liberal abad ke-20 lebih sering bekerja dengan metode kuantitatif ketimbang kualitatif.

Pertama, metode Cartesian diperlukan untuk kegunaan praktis. Setidaknya untuk memberikan gambaran tentang realitas sosial-politik yang kompleks seperti studi Louise Brown (2000) tentang penjualan perempuan di Asia. Ia mengakui, kemiskinan, prostitusi, dan penjualan perempuan adalah mata rantai yang rumit. Meski demikian, pada pertengahan 1990-an, keuntungan annual dari industri seks di Jepang sekitar 4,2 juta triliun yen, di Indonesia 0,8 dan 2,4 persen dari produk domestik bruto, lalu di Calcutta sekitar 720 juta rupee (Sulistyowati Irianto, 2005).

Data kuantitatif ini memberikan gambaran tentang persoalan sosial yang rumit, seperti halnya angka kemiskinan di Indonesia yang masih pada kisaran 15,42 persen tahun 2009. Ini artinya, ada 34,96 juta orang Indonesia hidup melarat. Dengan data ini, kita bisa tahu bahwa target penurunan 8,2 persen tahun 2009 dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005 ternyata gagal. Ditambah lagi dengan Indeks Kemelaratan yang melonjak dari 16 persen tahun 2004, ke 23 persen di tahun 2009 (studi Iman Sugema dan kawan-kawan).

Di sini kita perlu sepakat, bangsa kita masih memerlukan penanganan serius oleh suatu kepemimpinan politik yang kuat. Di sini terlihat poin penting dari diskusi Haluan Baru Menghadapi Pemilu Legislatif 2009 yang diselenggarakan harian Kompas dan Lingkar Muda Indonesia (23/3/2009).

Kedua, metode Cartesian bukan penentu hegemoni kebenaran. Dengan kata lain, metode Cartesian belum cukup untuk kegunaan substansial. Persis ini masalah kita. Ketika pemerintah disindir banyak kritikus politik terkait kegagalan memberantas kemiskinan dan mengatasi problem pengangguran, pemerintah berlindung di balik angka kemiskinan dan pengangguran yang memperlihatkan trend menurun. Seolah angka statistik adalah fakta sebenarnya. Jika sekadar angka, pemerintah tak keliru, tetapi yang menjadi masalah, apakah angka kemiskinan yang menurun benar-benar mencerminkan berkurangnya jumlah orang miskin?

Paradoks
Ada paradoks fatal di sini. Daya beli masyarakat masih rendah, indeks kemelaratan tinggi, dan pada saat yang sama angka kemiskinan menurun. Secara kritis, fenomena ini membenarkan keraguan kaum relativis, bahwa subyektivitas selalu terlibat sehingga parameter dalam metode ilmiah pun bisa dimainkan agar hasilnya selaras dengan kehendak subyek (kekuasaan).
Begitu juga dengan data pemilih yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum. Boleh jadi, dari total 171.265.442 pemilih, terdapat 30-40 persen data salah karena memasukkan pemilih yang telah meninggal, anak kecil, atau pemilih ganda.

Dalam pemilu yang curang, invaliditas data macam ini direncanakan sebagai bagian strategi untuk memenangkan calon atau partai tertentu. Terlepas dari kecurigaan apa pun, hal yang mau dikatakan, data belum tentu mencerminkan fakta.

Maka, pertanyaan reflektif kita, apakah dengan melihat angka statistik kita bisa menilai suatu pemerintahan berhasil atau gagal? Pada titik paling akhir, dan pada kondisi paling jujur, kita hanya bisa menarik kesimpulan berdasarkan apa yang kita lihat, kita rasakan, kita hadapi, bahwa kemiskinan bukan perkara angka, tetapi masalah bagaimana orang bisa hidup wajar sebagai pribadi bermartabat. Pengangguran bukan perkara statistik, tetapi bagaimana pahitnya orang berupaya survive di tengah darwinisme sosial yang tidak sehat.

Maka, kebenaran tak dapat digeneralisasi seketika dan secara arogan, apalagi oleh kekuasaan meski memakai metode ilmiah. Kebenaran adalah apa yang dilihat dan dirasakan. Di sini, kita harus kritis menentukan siapa yang pantas dan tidak pantas dipilih dalam pemilu.

Boni Hargens Mengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia.
KOMPAS, 6 April 2009

No comments: