Tuesday, April 21, 2009

Herman


Potret itu dipajang berderet-deret, hampir di tiap pohon. Tapi di manakah Herman? Tiba-tiba saya ingat dia. Ia tak pernah kembali. Sepuluh tahun lebih, sejak ia hilang pada 12 Maret 1998. Orang banyak sudah lupa akan kejadian itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang yang diculik, terutama karena Herman tak dikenal luas. Saya juga tak mengenalnya betul—dan memang tak harus mengenalnya betul.

Baru kemudian saya ketahui aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu, bernama lengkap Herman Hendrawan, lahir pada 29 Mei 1971 di Pangkal Pinang, Bangka. Selebihnya tak banyak lagi informasi. Wilson, aktivis PRD yang juga sejarawan, menulis kenangan tentang kawannya ini dan mengakui: ”Menulis… tentang Herman Hendrawan bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali aktivitas politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi….”

Rahasia dan tersembunyi: saya dan Herman bertemu dalam beberapa rapat seperti itu. Itu tahun 1998, pada hari-hari ketika tentara Soeharto menangkap dan memburu para anggota PRD, setelah rezim itu memenjarakan anggota-anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen), setelah orang-orangnya menduduki dengan kekerasan Kantor PDI-P…. Beberapa orang sudah dilenyapkan. Dan Herman salah satu buron, seperti halnya Andi Arif, Nezar Patria, Bimo Petrus, dan lain-lain….

Dari bangunan di Jalan Utan Kayu 68-H, saya dan teman-teman aktivis lain tahu kami dimata-matai. Di tempat yang kini dikenal sebagai ”Komunitas Utan Kayu”, kami belajar bagaimana mengamankan diri, setelah markas AJI, organisasi kami, digerebek polisi dan tiga anggota ditangkap. Satu tim dari kami—Irawan Saptono, Ging Ginanjar, Stanley Adi Prasetya, Tedjobayu—mengatur cara pengamanan itu, yang kadang membingungkan karena tiap kali diubah.

Itu tak bertambah gampang ketika kami harus berhubungan dengan lingkaran yang lebih luas. Tapi waktu itu kalangan pergerakan perlu membentuk jaringan, bahkan front bersama, secara pelan-pelan. Soeharto terlampau kuat, dan kami hanya sekelompok aktivis dengan jangkauan terbatas. Di luar pelbagai gerakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan kami saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perlawanan.

Selebihnya gagu. Soeharto berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang efisien: menyebarkan ketakutan. Rezim itu punya modal teror yang amat cukup, setelah pada 1965-66 puluhan ribu orang dibunuh, dibui, dan dibuang. Dalam keadaan itu, membentuk kerja sama dengan kalangan lain dalam pergerakan pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan teror itu. Dengan menjajal keberanian.

PRD ada di garis depan keberanian itu. Saya mulai bekerja sama dengan mereka secara lebih dekat sejak saya mengetuai Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)—sebuah langkah ke arah pembentukan front bersama dan sekaligus sebuah siasat untuk mendelegitimasi pemilihan umum Soeharto (”kami pura-pura memantau pemilu, karena rezim ini juga pura-pura mengadakan pemilu”). Harus saya katakan sekarang: para anggota PRD—mereka umumnya sadar arti gerakan politik, bersemangat, dan tak gentar—adalah sayap yang paling saya andalkan dalam KIPP.

Tapi sebelum KIPP bekerja penuh, PRD digerebek. Pimpinan mereka, antara lain Budiman Sudjatmiko, kemudian tertangkap. Kami terpukul, tentu: seluruh daya harus dibagi. Sebagian untuk meningkatkan perlawanan —”la lutta continua!”— dan sebagian menggagalkan usaha tentara Soeharto mematahkan bagian gerakan yang tersisa. Langkah baru harus diatur.

Sejak itu hubungan kami berlangsung makin berahasia, termasuk membangun kontak ke tempat tahanan. Dari Utan Kayu 68-H, operasi seperti ini, termasuk operasi penyebaran informasi dan disinformasi, dikerjakan oleh yang kami sebut ”Tim Blok M”. Lewat jaringan yang dibentuk Irawan kami secara periodik bertemu dengan link PRD”: Andi Arif dan Bambang Ekalaya. Kemudian Herman—meskipun saya tak mengenalnya betul sebagaimana ia tak akan mengenal saya betul. Ada yang harus dijaga, karena bisa saja suatu hari kami tertangkap dan dipaksa buka mulut.

Dan benar: pada Maret itu Herman tertangkap. Atau lebih tepat, diculik. Tak hanya dia; Andi Arief, Faisol Reza, Waluyo Jati, Mugianto, Nezar Patria, Aan Rusdianto—semua aktivis PRD yang diangkut dengan paksa, dalam mobil yang tertutup rapat, dengan mata yang diikat dan kepala yang diselubungi seibo, dan dimasukkan ke dalam yang oleh Nezar Patria disebut, dalam testimoninya kemudian, sebagai ”kuil penyiksaan Orde Baru”.

Sebagian mereka kemudian dilepas. Tapi Herman tidak. Ia hilang. Juga dua nama lain Bimo Petrus dan Suyat. Wiji Thukul, yang untuk beberapa lama dapat disembunyikan satu tim teman-teman, juga kemudian lenyap.

Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Setidaknya mati dalam penyiksaan. Nezar pernah menggambarkan bagaimana tentara Soeharto menganiaya mereka: pada satu bagian dari interogasi, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. ”Allahu akbar!” ia berteriak. Tapi mulutnya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napasnya putus. Tersengal-sengal.

Saya bayangkan Herman di ruang itu. Mungkin ia lelap selamanya setelah tersengal-sengal. Mungkin ia langsung dibunuh. Yang pasti, ia tak pernah pulang. Para pejuang dalam sajak Hr. Bandaharo berkata ”tak berniat pulang, walau mati menanti”. Dan Herman pernah menulis surat ke orang tuanya: ”Herman sudah memilih untuk hidup di gerakan”, sebab Indonesia, tanah airnya, membutuhkan itu. Tapi haruskah kekejian itu?

Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orang-orang keji yang saya kenal. Tak ada Herman.

Catatan:
Herman Hendrawan, mahasiswa jurusan Ilmu Politik 1990, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga. Aktif sebagai organisator di Partai Rakyat Demokratik (PRD). Terlihat terakhir di tahun 1998. Anak muda yang pintar, pernah menjadi pelajar teladan se Indonesia dan rendah hati. Masih hilang hingga kini.

Goenawan Mohamad, Majalah Tempo, 6 April 2009

No comments: