Wednesday, April 8, 2009

Pesta Tanpa Visi?


Banyak orang risau, ingar-bingar kampanye pemilu -berdasarkan perhitungan KPU- menghabiskan Rp 47,9 triliun dari APBN dan APBD.

Meski demikian, ”pesta” ini nyaris tidak menampilkan parpol dengan program utuh yang membeberkan visi tentang masa depan bangsa dalam tahapan-tahapan realistis yang termonitor dan bisa ditagih janjinya kelak.

Amien Rais, misalnya, menilai, baru satu calon presiden dan partai pendukungnya yang menawarkan program yang relatif lebih jelas dan menarik. Itu pun, menurut dia, baru slogan, belum tertuang dalam program yang berangkat dari kertas kerja, buku cetak biru, atau tulisan-tulisan pemikiran yang tertata rapi.

Tanpa program yang utuh dari parpol sebagai platform masa depan, pemilu kali ini pun bisa menjadi pesta demokrasi tanpa visi. Betapa tidak. Dalam kehidupan bernegara, kualitas hidup masyarakat dan kualitas implementasi demokrasi amat banyak ditentukan oleh kiprah parpol peserta pemilu yang (nantinya) membentuk sebuah pemerintahan.

Pada Pemilu 2004, sebuah studi tentang manifesto, agenda, dan program tujuh parpol besar di Indonesia (Ridep, 2003) terkait 12 kategori isu besar, yaitu demokratisasi, kesejahteraan sosial, kesehatan, lingkungan hidup, otonomi daerah, pembangunan ekonomi, pemberdayaan perempuan, pendidikan, penegakan hukum, pengangguran, politik luar negeri, dan hankam, menyimpulkan, kebanyakan parpol hanya memiliki sikap dan program yang sangat umum.

Tak satu parpol pun memiliki program secara utuh yang mencakup sikap (paradigma, ideologi), program rinci, dan rencana aksi secara konkret. Kini kondisi itu berlanjut.

Abstrak
Seharusnya, selain program umum yang berisikan pernyataan sikap dasar terkait berbagai isu utama, parpol juga dituntut memublikasikan program pemilu terkait apa yang akan dilakukan bila terpilih atau memenangi suara mayoritas. Selain itu, layaknya ada pula program jangka menengah sehingga dari segi ”masa berlaku”, program parpol yang utuh mencakup tiga jenis program.

Pertama, program jangka pendek yang berlaku hingga masa legislator berikutnya. Yang masuk jenis ini adalah program aksi dan program pemilu.

Kedua, program jangka menengah yang dicanangkan untuk 5-15 tahun ke depan. Program parpol, apa pun jenis dan ideologinya, selalu mengacu pada gambaran masa depan yang didambakan. Namun, pada saat yang sama, program parpol harus mengakar pada kenyataan sosial politik mutakhir sambil bersandar pada pengalaman masa lalu.

Dari paparan itu, bisa disimpulkan, paling tidak ada tiga komponen utama dari program parpol, yaitu analisis keadaan, formula untuk memperbaiki keadaan, dan nilai-nilai dasar sebagai acuan orientasi bagi langkah politik yang harus diambil.

Yang perlu dicermati adalah rumusan nilai yang dikembangkan. Sering rumusan menggunakan bahasa umum dan abstrak, seperti ”kebebasan”, ”demokrasi”, ”perdamaian”, dan ”keadilan”. Tanpa keterangan lebih rinci tentang apa yang dimaksud, kata-kata itu menjadi sekadar retorika atau formula kosong.

Program parpol, terutama parpol besar, cenderung dirumuskan secara amat umum sehingga nyaris tak bermakna. Hal ini, boleh jadi, disengaja untuk memuaskan kelompok-kelompok pemilihnya yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Dalam analisis tentang realitas, rumusan yang dikemukakan menjadi sama sekali tidak precise sehingga tidak mungkin menarik kesimpulan pasti atau (nantinya) dimintakan pertanggungjawabannya.

Formula kosong
Dalam hal tuntutan, formula kosong dimunculkan terkait masa depan yang tidak pasti. Ketika pemilu menjadi ajang ”penghakiman” atas janji-janji parpol yang tidak ditepati, formula kosong menjadi sesuatu yang membebaskan.

Sementara itu, terkait nilai-nilai, formula kosong bisa dikenali dalam rumusan abstrak, seperti ”kebebasan”, ”kemakmuran”, dan sejenisnya. Padahal, dalam demokrasi, parpol dituntut untuk menjabarkan nilai-nilai dasar dengan rinci sebagai ciri khasnya. Hal ini penting sebagai performance criteria dalam menilai kinerja parpol.

Formula kosong sering digunakan parpol dengan aneka fungsi. Hal itu memberikan ruang gerak besar bagi parpol dan mempersulit kontrol atas perilaku politiknya. Hal itu juga berfungsi melegitimasi kekuasaan kelompok tertentu dalam negara dan parpol terkait keadaan sosial yang diberlakukan atau diharapkan berlaku. Bagi parpol besar, formula umum digunakan untuk menutupi konflik dan perbedaan pandangan faksi-faksinya. Satu hal yang, mungkin positif adalah saat berfungsi sebagai nilai simbolik parpol bersangkutan.

Bagi konsumsi eksternal, formula umum yang dijadikan sebagai brand mark bisa memiliki nilai amat tinggi. Di Jerman, keberhasilan kelompok konservatif yang tergabung dalam CDU/CSU mempertahankan kekuasaan selama beberapa dekade, misalnya, karena dikaitkan dengan kompetensinya di bidang ”ekonomi pasar sosial” dan ”persatuan Eropa”. Sementara kelompok Sosial Demokrat (SPD) sejak 1969 berhasil mengambil alih inisiatif dengan rumusan baru, seperti ”reformasi kebijakan”, ”demokratisasi”, ”politik perdamaian”, dan ”kualitas hidup”. Tentu saja, akhirnya, semua formula dan program parpol harus dibuktikan keseriusan, konsistensi, dan kemujarabannya saat berkuasa.

Di Indonesia, pada Pemilu 1999, keberhasilan PDI mengombinasikan kata ”Perjuangan” sebagai brand mark parpol oposisi tampaknya telah ikut memperbesar jumlah pendukungnya. Namun, ketika menambah moto ”Perjuangan Tak Pernah Henti” dalam kampanye 2004, slogan itu tidak efektif. Boleh jadi karena sewaktu menjadi parpol berkuasa, partai ini telah banyak mengecewakan wong cilik sebagai pendukung tradisionalnya.

Kini Partai Demokrat dan Partai Golkar, dua parpol berpengaruh dalam menentukan kebijakan periode terakhir, mengklaim keberhasilan dalam beberapa aspek, seperti pemberantasan korupsi dan swasembada beras. Apakah hal itu menjadi daya tarik meski tingkat kemiskinan masih tetap tinggi? Akan terlihat dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden nanti.

Ivan A Hadar, Wakil Pemred Jurnal SosDem
KOMPAS, 6 April 2009

No comments: