Wednesday, April 8, 2009

Indonesia Mencari Pemimpin


Pemimpin dan kepemimpinan menjadi isu sentral dalam dinamika politik di tingkat nasional maupun lokal. Dinamika politik Indonesia lintas periode menunjukkan adanya pencarian panjang terhadap figur pemimpin dan hakikat kepemimpinan, yang tampaknya belum juga berhasil menemukan format idealnya. Pergantian rejim yang melahirkan pemimpin-pemimpin baru berbagai tingkatan, belum mampu membawa bangsa ini keluar dari persoalan yang semakin kompleks. Salah satu sumber kegagalan ini ditimpakan pada lemahnya kepemimpinan bangsa, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Dalam siklus pemerintahan, proses paling awal yang akan menentukan masa depan bangsa dan negara ini salah satunya sangat ditentukan oleh proses rekrutmen pemimpin. Berkaca dari fakta belum lahirnya pemimpin yang ideal, agaknya kita patut mempertanyakan sistem rekrutmen pemimpin yang selama ini berjalan. Bagaimanakah sebenarnya proses kemunculan seorang pemimpin, apakah dilahirkan atau dibentuk oleh situasi?

Dilahirkan atau Dibentuk?
Dalam studi politik pemerintahan dikenal dua tipe dasar kepemimpinan, yaitu teori genetie dan teori sosial. Teori pertama meyakini bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang sifatnya terkait dengan bakat bawaan yang dimiliki oleh seseorang sejak lahir, leaders are born not made.

Berbeda dengan keyakinan tersebut, penganut teori sosial meyakini sebaliknya, bahwa seseorang menjadi pemimpin karena dipersiapkan baik melalui pendidikan atapun kaderisasi, dan diberi kesempatan; leaders are made not born. Dalam bahasa lain, leadership can be thought, kepemimpinan adalah hal yang bisa dipelajari (Jeanette Plauch Parker & Lucy Gremillion Begnaud, 2004).

Agaknya kedua teori ini memiliki argumen masing-masing yang sama kuat. Contoh yang menggambarkan keberadaan keduanya pun sama-sama nyata. Kita tentu mengenal HOS Tjokroaminoto, Tjoet Nya’ Dien, Soekarno, M. Natsir, Hatta, dan nama-nama besar lain yang dikenal sebagai pemimpin yang sangat kuat pada jamannya. Talenta kepemimpinan mereka sudah sangat menonjol sejak mereka masih muda belia. Seolah-olah mereka memang terlahir sebagai pemimpin.

Kita juga mengenal pemimpin-pemimpin di tingkat lokal yang mendapatkan gelar kepemimpinan bukan karena kapasitas pribadi semata. Mereka menjadi pemimpin karena status sosial dari orangtua ataupun keluarganya. Raja-raja di berbagai kerajaan Nusantara maupun para kyai atau pemimpin organisasi keagamaan tertentu sebagian besar adalah pemimpin yang telah menyandang statusnya (atau paling tidak telah dapat dipastikan akan menyandang status pemimpin) sejak mereka dilahirkan.

Sebaliknya, meskipun bertolak belakang dengan keyakinan teori genetie di atas, teori sosial juga memiliki justifikasi tidak kalah kuatnya. Salah satu tokoh yang bisa dikatakan berhasil menjadi pemimpin yang dibentuk oleh situasi adalah Soeharto. Pada awalnya Soeharto adalah seorang tentara biasa, namun situasi pada saat itu membuka sebuah kesempatan bagi Soeharto untuk muncul menjadi pemimpin.

Dalam konteks kepemimpinan nasional, para presiden Indonesia yang tampil setelah lengsernya Soeharto memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dengan proses tampilnya the smiling general tersebut di posisi paling berkuasa di negeri kita. Habibie tampil secara tidak dinyana-nyana sebagai dampak kekisruhan 1998 setelah Soeharto menyatakan madeg pandhito.

Lemahnya kepemimpinan Habibie menjadi penjelasan sederhana pendeknya periode kepresidenan yang diembannya. Di waktu-waktu berikutnya, tampilnya Abdurrahman Wahid, Megawati, dan bahkan Susilo Bambang Yudhoyono juga lebih banyak disebabkan karena situasi yang mengangkat mereka ke kursi presiden. Menjadi presiden bukan karena kualitas kepemimpinan yang dimilikinya, tetapi lebih karena dorongan situasi yang menguntungkan mereka. Lemahnya kinerja mereka dalam masa kepemimpinan sebagai presiden RI sesuai periode masing-masing menunjukkan dengan jelas bahwa mereka sebagai pemimpin memiliki banyak kelemahan.

Esensi Kepemimpinan
Perdebatan tentang eksistensi pemimpin tidaklah sesederhana memperdebatkan tentang proses kemunculannya belaka. Seorang pemimpin harus membuktikan eksistensinya beyond recruitment process. Jika kepercayaan yang kuat tentang kebenaran teori sosial telah melahirkan rekrutmen dalam bentuk pemilihan demokratis, maka kepercayaan ini tidak boleh berakhir pada ritual pemilu.

Eksistensi seorang pemimpin harus dibuktikan secara lebih substantif dalam melaksanakan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Good leadership is said to be the result of good fit between leaders and followers and between leaders and the task at hands (Barbara Kellerman, 1986). Kepemimpinan yang baik adalah hasil dari interaksi yang baik antara para pemimpin dengan mereka yang dipimpin, dan antara para pemimpin dengan tugas-tugas yang harus mereka tangani.

Pemilu maupun proses rekruitmen barulah merupakan instrumen untuk menciptakan keserasian antara pemimpin dengan pengikutnya, yaitu sebagai proses politik untuk membangun kepemimpinan yang legitimate secara politik maupun secara hukum. Legitimasi yang terbangun dari proses elektoral atau proses rekrutmen secara umum harus diikuti dengan pembuktian kapasitas kemampuan menjalankan fungsi-fungsi dari jabatan yang bersangkutan.

Sayangnya, kepemimpinan di Indonesia agaknya masih jauh panggang dari arang. Proses elektoral untuk menciptakan kesesuaian antara pemimpin dengan pemilihnya, belum diikuti dengan pembuktian bahwa pemimpin terpilih memiliki kapasitas yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas dan kewenangannya. Hal ini terlihat dengan jelas terutama pada periode paska Orde Baru yang sampai kini kita belum memiliki model kepemimpinan yang jelas. Jika menilik pada dua tipe kepemimpinan di atas, terlihat belum ada pemimpin yang benar-benar kuat baik karena faktor kelahiran maupun kuat karena terbentuk oleh situasi sosial politik.

Tampilnya elite-elite baru dengan latar belakang pendidikan maupun basis politik modern atau mereka mendapatkan kepemimpinan secara ascribed status ternyata juga tidak menunjukkan tanda-tanda membaiknya kinerja pemerintah. Pertanyaan mendasar yang akhirnya muncul adalah, sebenarnya pemimpin bangsa seperti apakah yang dibutuhkan Indonesia untuk keluar dari kompleksitas persoalan yang dihadapi saat ini? Kepemimpinan model seperti apakah yang sebenarnya diharapkan ketika kepemimpinan tradisional dipandang tidak demokratis, namun kepemimpinan modern juga diragukan legitimasi dan kapasitasnya?

Mengulang prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan di atas, kepemimpinan yang baik terdiri dari sinergi tiga unsur: pemimpin, pengikut, dan kapasitas. Dukungan nominal pemilih tanpa diikuti dengan pembuktian kapasitas, tidak akan pernah cukup untuk membangun legitimasi bagi seorang pemimpin. Legitimasi nominal harus diikuti dengan legitimasi substansial. Namun agaknya legitimasi substansial adalah yang paling sulit untuk didapatkan dari figur-figur pemimpin kita. Jika legitimasi nominal bisa diperoleh sebagai konsekuensi dari penawaran diri melalui iklan politik, metode dealership, hingga money politics, maka agaknya hal yang sama tidak berlaku untuk legitimasi substantif.

Kemampuan, kapabilitas, dan kedewasaan bukanlah sesuatu yang didapatkan melalui iklan atau kampanye politik. Banyak pemimpin yang terpilih secara nominal ternyata tidak memiliki kapasitas substantif sebagai prasyarat mutlak bagi kepemimpinannya. Kapasitas substantif tersebut meliputi kompetensi, aksesabilitas, availabilitas, dan moralitas. Banyak tokoh populer yang terpilih menjadi pemimpin secara formal, padahal mereka tidak memiliki kapasitas manajerial maupun kapasitas leadership minimal. Banyak pula pemimpin yang memiliki kompetensi tetapi sulit diakses oleh publik yang dipimpinnya. Atau ada juga yang memiliki kompetensi, mudah diakses dan memiliki availabilitas yang tinggi, tetapi buruk perilaku dan moralitasnya.

Legitimasi substantif inilah yang dalam teori kepemimpinan dinamakan kualitas pemimpin. Terdapat beberapa pendapat tentang kriteria kualitas pemimpin ini. Di samping adanya kapasitas, aksesabilitas, avaibilitas dan moralitas, pemimpin juga dituntut memiliki kriteria-kriteria lain, misalnya adanya visi, sikap mau belajar, disiplin diri, kemapanan, tanggung jawab, dan kemauan untuk melayani (John Maxwell, 2007). Senada, Lanham (2005) juga menekankan pentingnya kombinasi antara legitimasi nominal dengan legitimasi substansial dengan menyebutkan tiga karakter dasar pemimpin; Acceptance, Concept, dan Competence.

Melihat format-format ideal kepemimpinan di atas, tampaklah bahwa bangsa ini masih belum menemukan figur pemimpin yang memenuhi prasyarat dasar bagi kedudukannya. Dari sisi legitimasi nominal misalnya, banyaknya cara-cara tidak sehat yang dilakukan untuk mendapatkan dukungan suara menunjukkan rendahnya basis legitimasi nominal seorang pemimpin. Dari sisi substansial, kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh Indonesia jelas-jelas membutuhkan figur dengan standar kualifikasi sangat tinggi. Sayang kualitas tersebut terlihat masih sangat minim dimiliki oleh figur-figur yang sedang atau akan berkuasa saat ini. Tingginya manipulasi kebijakan yang dilakukan para pemimpin, tingginya angka korupsi dan buruknya moralitas sebagian besar pemimpin menunjukkan bahwa kualitas kepemimpinan di Indonesia secara umum masih sangat bermasalah.

Tantangan bagi Pemimpin Baru
Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, kiranya tipe pemimpin seperti apakah yang mampu membawa kita keluar dari kungkungan kompleksitas persoalan ini?

Tentu jawabannya bukan pemimpin yang dilahirkan secara instan menggunakan cara-cara yang tidak matang. Kita membutuhkan revitalisasi esensi kepemimpinan. Hal ini dapat diwujudkan dengan melakukan penguatan pada tiga aspek mendasar dari kepemimpinan itu sendiri. Ketiga aspek tersebut meliputi; penguatan pada aspek individu, penguatan organisasi dan kelembagaan, serta penguatan sistem.

Aspek pertama terkait dengan kapasitas pemimpin sebagai seorang individu. Terdapat banyak versi yang menggambarkan kapasitas individu yang dibutuhkan bagi seorang pemimpin.

Gunawan Sumodiningrat (2001) meringkasnya menjadi empat kunci keunggulan pemimpin. 1) Karakter kosmopolitan yang digambarkan dengan adanya ‘triple c’ alias concept, competence, connectedness. 2) Kredibilitas kepemimpinan yang terbangun karena komitmen, profesionalisme, ketenangan batin, kejujuran, dan kemampuan yang bertanggung jawab. 3) Kemampuan menjadi teladan, serta 4) Memberikan nilai bagi organisasi yang dipimpinnya.

Kapasitas individual seorang pemimpin harus didukung oleh mesin organisasi yang cukup kuat untuk mendukung dan menjalankan kebijakannya. Untuk itu dibutuhkan agenda-agenda penguatan kapasitas organisasi dan kelembagaan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Juga dibutuhkan penguatan kapasitas sistem. Secara sistemik, revitalisasi esensi kepemimpinan dapat dibangun melalui partisipasi efektif dari segenap warga negara. Meskipun telah ada lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi check and balances, namun partisipasi dan kepedulian warga menjadi sebuah instrumen kontrol yang efektif. Partisipasi masyarakat ini juga penting untuk menumbuhkan rasa memiliki dan dukungan terhadap berbagai kebijakan yang diambil oleh pemimpin. Penguatan regulasi dalam bentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang diikuti dengan komitmen dalam pelaksanaan dan penegakannya adalah hal mutlak yang harus dilakukan.

Mengharapkan lahirnya pemimpin yang kuat yang bisa mengawal bangsa kita keluar dari keterpurukan berkelanjutan masih harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Dengan perjuangan ini, kita semua berharap akan memiliki ‘tangga kepemimpinan’ sebagaimana dicetuskan oleh Ary Ginanjar Agustian (2001). Menurut pendiri ESQ Leadership Centre ini, tampilnya seorang pemimpin seharusnya dimulai dari tangga yang terbawah yaitu adanya kecintaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Pemimpin haruslah figur yang dicintai. Pemimpin harus dicintai oleh rakyat atau mereka yang dipimpinnya. Dengan dicintai maka pemimpin akan dipercaya dan diikuti, sehingga bisa menjadi pembimbing alias teladan bagi mereka yang dipimpinnya.

Agar mampu menjaga tangga kepemimpinan yang sudah dilewatinya, kepribadian yang kuat dan matang menjadi syarat yang harus dimiliki oleh pemimpin. Tidak boleh ada keragu-raguan dalam sikapnya, tetapi juga tidak grusa-grusu. Pemimpin berkepribadian baik adalah pemimpin yang bijaksana, yang tidak semata-mata mendahulukan penampilan fisik yang dibuat-buat, tetapi mengedepankan ketajaman olah batin untuk memahami keinginan dan cita-cita masyarakat yang dipimpinnya.

Pemimpin berkepribadian adalah juga pemimpin yang ikhlas. Tidak mudah memerah telinganya ketika dikritik. Tidak pula mudah menyakiti misalnya membalas kritik dengan kritik yang lebih pedas. Akhirnya, jika semua tangga tersebut berhasil dilewati, seorang pemimpin akan mencapai puncak tangga, yaitu posisi sebagai pemimpin abadi. Pengaruh kepemimpinannya akan tetap terasa bahkan ketika ia tidak lagi dalam posisi formal kepemimpinan itu.

Penutup
Bagaimanakah upaya kita mewujudkan tampilnya pemimpin yang kuat tersebut? Diperlukan reformasi menyeluruh terhadap perilaku kita sebagai individu. Juga diperlukan reformasi terhadap aspek-aspek organisasional maupun kelembagaan pemerintahan, serta reformasi terhadap sistem dan tata nilai yang kita anut. Pendeknya, diperlukan revitalisasi setiap aspek kehidupan yang terkait dengan kepemimpinan pada semua tingkatan.

Keberanian untuk merevitalisas aspek-aspek yang mendasari esensi kepemimpinan tersebut merupakan simpul penentu membaik atau memburuknya persoalan kepemimpinan bangsa saat ini. Pertanyaan yang harus dijawab bersama-sama adalah, beranikah kita melakukannya? Beranikah kita mengubah kemapanan yang sebenarnya sangat tidak sehat saat ini? Jawabanya terserah keputusan Anda!

Bambang Purwoko, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan. Kepala Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama, Fisipol UGM.
Kedaulatan Rakyat, 2 April 2009

No comments: