Sunday, May 18, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (6)


Pada tanggal 30 Juni 1998, dalam suatu pertemuan dengan pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Habibie bercerita bagaimana Prabowo telah mengancamnya. Menurut anggota DDII, Hartono Mardjono, Habibie mengatakan telah mendapat laporan dari asisten militernya, Sintong Panjaitan bahwa kediaman Habibie telah dikepung oleh pasukan-pasukan Kostrad dan Kopassus. Sintong, kata presiden telah menyelamatkan keluarga presiden dengan menerbangkan mereka ke Istana. Kata Hartono Mardjono, pada saat itu juga ia membantah cerita Habibie. Katanya, tak mungkin Prabowo mengancam Habibie, sebab, pada hari menjelang mundurnya Soeharto, Prabowo mendesak semua orang yang dikenalnya supaya mendukung Habibie. Tetapi pendapatnya itu, kata Hartono, “dilewatkan begitu saja oleh Habibie.

Habibie mengisahkan cerita yang sama kepada Sunday Times London.Rumah saya dikepung oleh dua kelompok pasukan,” katanya dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada tanggal 8 November 1998. “Satu kelompok adalah pasukan biasa, yang bertanggung jawab kepada Wiranto, yang memerintahkan diadakannya lingkaran penjagaan untuk melindungi saya, dan kelompok yang satu lagi adalah pasukan Kostrad, yang bertanggung jawab kepada Prabowo.” Pada tanggal 15 Februari 1999, Habibie mengatakan di depan suatu pertemuan wartawan-wartawan Asia dan Jerman di Jakarta. “Pasukan-pasukan di bawah komando seseorang yang namanya tidak akan saya sembunyikan, Jenderal Prabowo, dipusatkan di berbagai tempat, termasuk tempat saya.” Pada waktu itu, katanya Wiranto telah melaporkan situasi kepadanya dan telah melindunginya.


Masalah utama dari semua versi cerita Habibie tersebut ialah bahwa sebenarnya, pasukan-pasukan yang mengawal rumahnya adalah atas perintah Wiranto, bukan Prabowo. Pada briefing komando tanggal 14 Mei, panglima ABRI itu, telah mengarahkan Kopassus mengawal rumah-rumah presiden dan wakil presiden. Perintah-perintah ini diperkuat secara tertulis pada tanggal 17 Mei kepada komandan-komandan senior, termasuk Sjafrie, Pangdam Jaya pada waktu itu.

Dalam kesaksiannya di depan DPR pada tanggal 23 Februari 1999, Wiranto dengan terus terang mengatakan: “Tidak ada percobaan kudeta.” Ketika minta tanggapan Habibie terhadap pernyataan-pernyataan Prabowo, asistennya, Dewi Fortuna Anwar menjawab untuk Habibie, “bahwa, Pak Habibie tidak perlu membuat bantahan langsung terhadap tuntutan-tuntutan Prabowo.” Dewi Fortuna Anwar menganjurkan agar saya bicara kepada beberapa orang, termasuk Sintong Panjaitan, yang kesemuanya hadir di istana pada tanggal 22 Mei.

Prabowo yakin ia bisa saja melancarkan kudeta pada hari-hari kerusuhan di bulan Mei itu. Tetapi yang penting baginya ia tidak melakukannya. “Keputusan memecat saya adalah sah,” katanya. “Saya tahu, banyak di antara prajurit saya akan melakukan apa yang saya perintahkan. Tetapi saya tidak mau mereka mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas posisi saya sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara, setia kepada republik.

Letjen Prabowo Subianto dengan salah seorang karibnya, Mayjen Muchdi Purwoprandjono.

Penculikan-penculikan
ABRI selalu menganggap bahwa Prabowo telah menyalahtafsirkan perintah mengenai penculikan para aktivis di bulan-bulan awal reformasi tahun 1998. Di depan DKP (Dewan Kehormatan Perwira), Prabowo mengakui “kesalahannya”, tetapi sekarang ia juga bersikeras bahwa ia mengikuti perintah-perintah yang juga diketahui rekan-rekannya. Namun atasan-atasan Prabowo, mantan Pangab Feisal Tanjung dan penggantinya Wiranto, terus-menerus menyangkal bahwa perintah itu berasal dari mereka atau dari panglima tertinggi, Soeharto.

Berkata Prabowo, bahwa ia tidak pernah diberitahu secara langsung keputusan DKP. “Saya mendengarnya lewat radio,” katanya. “Orang-orang ini tidak punya nyali menghadapi saya.” Ia masih tetap keberatan. “Saya ingin mengatakan begini,” kata Prabowo tegas. “Semua yang saya lakukan, saya melakukannya atas sepengetahuan atasan-atasan saya, dengan persetujuan mereka dan berdasarkan perintah mereka. Mungkin saja tidak semua perintah itu menurut garis rantai komando, sebab atasan-atasan saya suka bekerja melompat melalui beberapa tingkat. Tetapi saya mengatakan ini tanpa ragu-ragu.

Tujuan operasi itu, katanya, adalah untuk menghentikan pengeboman. “Kami ingin mencegah kampanye teror,” katanya. Sebagian besar yang ditahan, katanya, sudah ada namanya dalam daftar orang-orang yang dicari polisi (DPO). Tetapi, katanya “melihat ke belakang, saya memang berlaku kurang hati-hati.” Ia tidak pernah mengunjungi sel-sel para aktivis yang diculik itu, dan percaya saja pada laporan-laporan dari orang-orang yang ditugaskan untuk operasi itu. Namun dikatakannya, ia tidak pernah memerintahkan penyiksaan.

Mahasiswa dan massa rakyat yang turun ke jalan-jalan sepanjang bulan Mei 1998, nampak sangat akrab dengan para anggota militer (ABRI).

Aktivis Pius Lustrilanang mengatakan, bahwa ketika berada dalam kurungan, dua orang tahanan lain mengatakan kepadanya bahwa mereka memang berencana memasang bom. Anggota PRD, Feisol Reza, salah seorang yang diculik, membantah keterlibatan partainya. “Isu bom itu dibuat-buat oleh militer,” katanya. “Kami hanya korban.” Akan tetapi, Pius Lustrilanang mengemukakan bahwa tujuan penculikan bukan hanya pencegahan bom. Menurutnya, ia dan yang lain-lain ditahan untuk mencegah demonstrasi-demonstrasi yang dikhawatirkan dapat melumpuhkan sidang MPR pada bulan Maret 1998.

Prabowo mengatakan, bahwa operasi itu adalah operasi tunggal. “Saya punya kecurigaan,” katanya, “tetapi pada akhirnya itu tetap tanggung jawab saya.” Menurut Kontras, setidak-tidaknya masih ada 12 orang aktivis yang hilang. Kata Pius Lustrilanang, setidak-tidaknya ada tiga orang yang ditahan bersamanya. Prabowo menunjukkan keterkejutannya atas pengungkapan itu dan mengatakan ia tidak tahu mengenai nasib mereka yang masih hilang. Dan hingga kini, ia tetap tidak mau membukakan identitas sumber perintah yang diterimanya.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek, No. 8/Vol. 26, 3 Maret 2000

No comments: