Saturday, May 17, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (5)

Prabowo: "Saya dekat kepada Habibie."

Sekarang Habibie sudah menjadi Presiden. Pukul 16.00 (4 sore) tanggal 21 Mei, Prabowo menjumpai sahabatnya itu untuk menyampaikan ucapan selamat. “Ia mencium kedua belah pipi saya,” kata Prabowo, yang minta diberi kesempatan bertemu pada malam harinya.

Larut malam, Prabowo tiba di kediaman Habibie, ditemani oleh komandan Kopassus, Muchdi. Oleh karena Wiranto mungkin akan tetap menjadi Menhan, Prabowo menganjurkan agar Kasad Subagyo dijadikan Panglima ABRI guna mencegah agar tak terlalu banyak kekuasaan di satu tangan. Langkah itu juga akan membuat Prabowo menjadi calon terbaik menggantikan Subagyo. “Ya, saya mencoba mempengaruhi Habibie,” kata Prabowo mengakui. “Saya dekat kepadanya!” Kapan pun, kata Prabowo, ia tidak pernah mengancam presiden yang baru itu. Setelah itu ia kembali ke Makostrad.

Keesokan harinya, 22 Mei, setelah shalat Jumat, telepon Prabowo berdering. Mabes Angkatan Darat meminta bendera Kostrad. Prabowo mengenang, “Mereka minta bendera saya. Itu berarti mereka mau mengganti saya.” Ia bergegas kembali ke Makostrad. “Saya ingat Habibie pernah mengatakan: ‘Prabowo, bilamana saja Anda dalam keraguan, datanglah kepada saya kapan saja dan jangan pikirkan soal protokol.’ Saya telah mengenal orang ini selama bertahun-tahun. Saya merasa, baiklah, saya akan mencari Habibie. Ia ada di Istana. Jadi, saya pergi ke sana.

"Mereka minta bendera saya. Itu berarti mereka mau mengganti saya," kata Prabowo.

Ia tiba siang menjelang sore, dengan sebuah iring-iringan terdiri dari tiga mobil Land Rover yang mengangkut staf dan pengawal. “Kami masuk,” kata Prabowo. “Keadaannya sangat tegang. Pengawal kepresidenan menengok kepada saya dengan wajah-wajah aneh. Saya kira waktu itu saya dilaporkan mau menyerang atau apa. Saya menjumpai perwira ajudan dan mengatakan: ‘Saya perlu bertemu dengan Pak Habibie. Saya hanya perlu 10 menit.’ Saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Ini sangat penting buat saya.

Sebelum memasuki kantor Habibie, kata Prabowo, ia melepaskan pistolnya; “Sebab ini adalah prosedur. Bilamana datang menjumpai perwira senior, kita harus melepas semua senjata. Saya tidak dilucuti!” Kemudian ia melangkah masuk ke kantor presiden. “Ia mencium kedua belah pipi saya,” kata Prabowo. “Saya katakan: Pak, apa Bapak tahu bahwa saya akan diganti hari ini? Ya ... ya ... ya ..., katanya. Mertuamu minta pada saya untuk menggantimu. Itu yang terbaik. Kalau mau berhenti dari Angkatan Darat, saya akan mengangkatmu sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat. Itulah yang dikatakannya,” kata Prabowo, ia terpaku. “Ya Tuhanku, apa ini?

Ia mengenang pikirannya waktu itu. “Dalam pikiran saya, Habibie pada waktu itu masih suka pada saya, tetapi rupanya ia sedang dikelabui orang. Saya pergi ke Subagyo, ketika saya masuk, saya berpapasan dengan beberapa jenderal pendukung saya. Pesan mereka: Ayo, kita bikin konfrontasi. Kata saya: Tenang saja. Saya berjumpa dengan Muchdi di sana. Kata kami: Kami rela minggir, tetapi berilah sedikit waktu, supaya pertukaran komando ini kelihatan sebagai sesuatu yang normal. Saya kira Subagyo kemudian pergi menjumpai Wiranto. Dan Wiranto berkata: Tidak, harus hari ini!

Panglima ABRI, Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto.

Sang ‘Mastermind
Sudah dihalau oleh para iparnya, dicampakkan oleh sekutunya dan dipecat oleh rivalnya, namun yang terburuk belum menimpa Prabowo. Dalam bulan-bulan berikutnya, perwira-perwira yang dianggap dekat dengan dia, kemudian dipindahkan atau dicopot dari tugas aktif. Pada tanggal 25 Juni, Wiranto melepaskan Sjafrie dari jabatannya sebagai Pangdam Jaya, yang merupakan awal dari pergantian yang mencakup luas. Berdasarkan temuan dari DKP (Dewan Kehormatan Perwira), komandan Kopassus Muchdi dan seorang kolonel dibebastugaskan.

Tambahan pula desas-desus yang tak kunjung bisa dihentikan bahwa Prabowo dan sekutu-sekutunya telah memicu kerusahan-kerusuhan pada bulan Mei. Selanjutnya pada tanggal 23 Juli, Habibie membentuk TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) yang beranggotakan 18 orang untuk menemukan “otak perencana” (mastermind) di belakang kerusuhan-kerusuhan di enam kota besar, termasuk Jakarta. Dan setelah tiga bulan bekerja, TGPF menyimpulkan bahwa penculikan-penculikan, krisis ekonomi, sidang MPR, demonstrasi-demonstrasi dan penembakan di Trisakti semuanya bertalian erat satu sama lain dengan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi.

Yang pertama dari sembilan rekomendasinya adalah agar pemerintah menyelidiki pertemuan tanggal 14 Mei di Makostrad, “untuk mengetahui peranan Letjen Prabowo dan pihak-pihak lain dalam proses yang menuju terjadinya kerusuhan.” Laporan itu tidak menyebut Prabowo sebagai dalang kerusuhan dalam ringkasan yang diumumkan kepada media. Tetapi laporan itu mengacu kepadanya, yakni mengacu kepada pertemuan 14 Mei dan penculikan-penculikan, sejumlah 11 kali acuan. Itu lebih banyak daripada kepada Sjafrie, yang mendapat 4 acuan, atau Wiranto yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Menhan dan Panglima ABRI. Nama Wiranto hanya disebut satu kali dalam konteks turut menandatangani dekrit dan melahirkan TGPF.

Reuni para jenderal: Prabowo, Subagyo, Agum Gumelar, Hendro Priyono, dan Sintong Panjaitan.

Prabowo mengecam insinuasi-insinuasi laporan itu. “Apa motivasi yang mendorong kami untuk menghasut kerusuhan-kerusuhan?” tanyanya. “Kepentingan kami adalah pemerintah selamat. Saya adalah bagian dari rezim Soeharto. Andaikata Pak Harto terus memerintah tiga tahun lagi, mungkin saya menjadi jenderal bintang empat. Mengapa saya harus membakar ibukota? Itu bertentangan dengan kepentingan pribadi saya, apalagi prinsip-prinsip saya.” Ia menyalahkan logika laporan itu. “Bagaimana saya bisa mengadakan pertemuan pada tanggal 14?” katanya. “Kerusuhan-kerusuhan dimulai pada tanggal 13. Dan mereka yang menemui saya itu adalah orang-orang yang disebut sebagai lawan-lawan Orde Baru.

Ia membantah kesan bahwa ia anti-Cina. Dikatakannya, bahwa seperti halnya banyak orang Indonesia, ia berpendapat bahwa tidaklah sehat bila suatu minoritas menguasai sebagian besar ekonomi. “Para usahawan Cina mengira saya ingin menggusur mereka. Padahal model saya adalah New Economic Policy-nya Malaysia.” Bukankah itu berarti bahwa ia tidak akan mengobarkan kerusuhan untuk memberikan pelajaran kepada etnis Cina? “Katakanlah bahwa Anda tidak percaya bahwa saya punya rasa kemanusiaan,” katanya membantah. “Kalau kami memusnahkan orang Cina, ekonomi kami pun akan turut musnah. Sama saja dengan bunuh diri sendiri …. Kalaulah saya yang mengobarkan kerusuhan-kerusuhan tersebut, mengapa saya tidak dituntut? Beban pembuktian kan ada di pihak penuduh?!

Kalaulah saya yang mengobarkan kerusuhan-kerusuhan tersebut, mengapa saya tidak dituntut? (Prabowo Subianto)

Untuk mencari bukti itu, koresponden Asiaweek di Jakarta, Jose Manuel Tessoro, kembali ke hasil kerja TGPF. Ia menelaah copy laporan lengkap yang terdiri dari enam jilid, karena hanya jilid satu, yang merupakan ringkasan eksekutif yang diberikan kepada pers. Empat dari kelima jilid selebihnya berisikan laporan korban dan kerusakan, keterangan-keterangan saksi mata mengenai kerusuhan dan perkosaan, serta usaha mendeteksi adanya pola-pola. Satu jilid lainnya berisi transkrip wawancara kepada perwira-perwira militer yang bertugas ketika terjadi kerusuhan. Sebagai tambahan, saya bicara dengan sembilan dari 18 anggota TGPF, demikian juga dengan pengamat Politik Hermawan Sulistyo yang mengepalai tim terpisah yang terdiri dari 12 orang yang melakukan banyak kerja mondar-mandir untuk mengumpulkan data.

Apakah kerusuhan-kerusuhan itu diorganisir? Banyak diantara yang melapor kepada tim berpendapat demikian, akan tetapi dalam keenam jilid laporan itu tidak ada bukti yang mendukung keterangan para saksi mata, apalagi yang menunjuk kepada seseorang yang berada di belakang kerusuhan itu. Sifat kerusuhan itu masih perlu dipertanyakan. Tinggallah sekarang pertemuan tanggal 14 Mei. Namun ketika saya bicara dengan tiga dari mereka yang hadir dalam pertemuan itu, termasuk anggota TGPF Bambang Widjojanto, semua membantah adanya hubungan antara mereka dengan kerusuhan, sebagaimana halnya juga dikatakan oleh sejumlah peserta pertemuan dalam sebuah konferensi pers sehari setelah laporan TGPF diumumkan. Gambaran yang mereka lukiskan ternyata cocok dengan keterangan Prabowo.

Kalau begitu apakah Pangkostrad membiarkan kerusuhan-kerusuhan merebak sehingga tidak dapat dikendalikan? Ini tentu sulit untuk dilakukan, karena ia sama sekali tidak punya wewenang. Berdasarkan prosedur baku, polisi ibukota-lah yang menangani keamanan. Komando akan beralih kepada Pangdam Jaya bila polisi tidak mampu menjaga hukum dan ketertiban, sebagaimana fakta yang ditunjukkan oleh Kapolda Metro Jaya, Mayjen Polisi Hamami Nata kepada TGPF pada tanggal 28 Agustus 1998 dan diperkuat oleh Sjafrie. Mantan Pangdam Jaya itu memastikan waktu peralihan komando: sekitar tengah hari tanggal 14 Mei 1998. Kaum perusuh sudah mulai menyerang pos-pos polisi, maka polisi ditarik mundur demi keselamatan mereka. Dari tanggal 14 dan seterusnya, Sjafrie memegang kendali: dan menjelang tanggal 15, sebagian besar kerusuhan sudah dipadamkan. Sjafrie membantah keras bahwa Prabowo punya kendali atas dirinya. “Prabowo tidak pernah mempengaruhi saya,” kata Sjafrie. “Dia adalah sahabat saya, tetapi saya punya prinsip-prinsip tugas saya.” Pada waktu itu, sesungguhnya, perwira atasan Sjafrie adalah Wiranto.


Pengumuman laporan TGPF diundurkan ke tanggal 3 November karena adanya pertikaian mendalam di kalangan tim. “Situasinya sangat politis,” kata anggota TGPF Nursyahbani Katjasungkana mengakui. “Pendapat-pendapat (opini) sudah lebih dulu terbentuk. Maka dalam proses pengumpulan fakta, sulit membedakan dengan tajam antara fakta dan pendapat.” Debat-debat jadi macet dalam perpecahan antara anggota sipil dan militer, antara mereka yang ingin membatasi temuan-temuan pada bukti-bukti yang dapat diterima berdasarkan hukum dan mereka yang ingin melukiskan apa yang mereka sebut “fakta sosial”. Suatu hal yang menjadi pertentangan yang eksplosif adalah: jumlah korban perkosaan.

Hermawan Sulistyo mengatakan dari 109 kasus yang dilaporkan, timnya hanya mampu mengecek kebenaran dari 14 kasus. Tetapi beberapa orang yang duduk dalam tim gabungan itu –yang telah menjumpai sendiri perkosaan yang dilaporkan– merasa bahwa angka itu harusnya lebih tinggi. Angka hitungan yang muncul dalam laporan terakhir adalah 66 perkosaan yang sudah dicek kebenarannya, plus 19 korban pelecehan seksual dan kekerasan.

Hermawan Sulistyo, Munir (Alm.), Nursyahbani Katjasungkana, dan Bambang Widjojanto.

Transkrip kesaksian yang disampaikan oleh Prabowo dan Sjafrie ke TGPF mengenai kegiatan-kegiatan mereka antara tanggal 12 dan 14 Mei tidak berisi informasi yang berbeda dari apa yang mereka katakan kepada saya hampir 20 bulan kemudian. Hampir semua anggota TGPF yang saya temui menyangkal adanya usaha pihak luar untuk mempengaruhi penyelidikan itu. Beberapa di antara mereka mengatakan tidak dipengaruhi prasangka mereka sendiri atau rumor yang menghubungkan Prabowo dengan kerusuhan-kerusuhan itu.

Kendati demikian pada tanggal 12 Oktober 1998, TGPF memanggil Kasad Subagyo semata-mata dalam kapasitas sebagai ketua DKP yang menyelidiki Prabowo. Dalam transkrip, para anggota yang menanyai Subagyo pada waktu itu mencari hubungan antara hilangnya empat pemuda dalam puncak kerusuhan dan penculikan para aktivis yang terjadi sebelumnya. Tetapi Subagyo, setidak-tidaknya dalam catatan itu, tidak dapat memberikan hubungan itu. Dalam laporan terakhir, masih saja ditarik garis pemisah antara penculikan-penculikan pra bulan Mei yang dilakukan Prabowo dan terjadinya kerusuhan.

Bahkan Munir dari Kontras tidak melihat hubungan itu. “Di bulan Mei, saya melihat gerakan di kalangan elite untuk mendorong situasi politik ke arah perubahan,” katanya. “Ini beda dengan penculikan, yang merupakan suatu konspirasi mempertahankan sistem yang ada.” Seorang anggota TGPF, I Made Gelgel, sekarang mengakui adanya masalah penafsiran ini. “Tidak masuk akal,” katanya, “bahwa di satu pihak Prabowo akan membentengi kekuasaan mertuanya, dan di pihak lain menggerakkan kerusuhan-kerusuhan.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek, No. 8/Vol. 26, 3 Maret 2000

No comments: