Monday, May 19, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (7)

Prabowo, terjepit di antara Soeharto dan Habibie.

Keterlibatan Prabowo dalam penculikan dan dukungannya yang terang-terangan kepada Habibie boleh jadi menghukumnya di mata publik dan Soeharto. Tetapi loyalitasnya, baik kepada presiden maupun wakil presiden merupakan bukti terkuat untuk menentang tuduhan bahwa ia melancarkan kerusuhan atau kudeta, yang akan membahayakan kedua orang itu. Pertanyaannya barangkali bukanlah mengapa Prabowo berbalik menentang mertuanya dan sahabatnya, melainkan mengapa kedua mereka (Soeharto dan Habibie) berbalik arah menentang dia?

Sebagian sebabnya adalah posisi Prabowo itu sendiri. “Ia mengira dirinya orang dalam, padahal ia adalah seorang outsider sejati,” kata Daniel Lev, ahli sejarah asal Amerika. Pendidikannya di luar negeri memberinya pandangan Barat, yang menyebabkan masalah baginya dalam politik Angkatan Darat dan keluarga Soeharto. Bahkan kredensial Islamnya dianggap kurang oleh para radikalis yang digabunginya. Untuk memuaskan pihak konservatif, ia menginginkan terlalu banyak perubahan, padahal ia sendiri adalah bagian kental dari rezim lama untuk bisa diterima sebagai seorang reformis. Andaikata ia benar-benar merebut kekuasaan, ia mengakui, sebagai menantu Soeharto, ia akan terlibat sebagai pendukung kepentingan-kepentingan suatu rezim. Pendeknya, ia dianggap sangat di luar tempatnya, dan pada akhirnya, tidak sesuai dengan masanya.

Setelah Mei 1998, Wiranto adalah jenderal "pro-reformasi" dan seorang yang "profesional" yang akan "melindungi negerinya dalam melangkah menuju demokrasi."

Faktor lainnya tidak bisa tidak adalah reputasinya, antara yang sebenarnya, yang dibayangkan, atau yang diciptakan orang. Reputasi itu boleh jadi telah membuat beberapa anggota TGPF percaya pada teori tertentu tentang kerusuhan-kerusuhan itu. Reputasi itu bisa jadi telah mengekalkan suatu salah pengertian yang mungkin terjadi di seputar keamanan yang mengelilingi Habibie. Reputasi itu pula yang membuat ia masih dihubungkan dengan kekerasan yang terjadi di Indonesia, seperti misalnya kerusuhan yang terjadi di Maluku.

Ini semua adalah penjelasan-penjelasan yang gampang. Pertanyaan-pertanyaan lain tentu saja lebih sulit lagi dicari penjelasannya. Setelah bulan Mei, Wiranto diberi label “pro-reformasi”, “profesional”, seorang yang akan “melindungi negerinya dalam melangkah menuju demokrasi.” Pada suatu waktu ia bahkan lebih populer daripada Habibie, dan masih ada harapan untuk dipilih menjadi presiden, meskipun masih mempertunjukkan loyalitasnya kepada Soeharto. Bagaimana mungkin ia bisa menyatukan kedua pertentangan itu?

Pertanyaan-pertanyaan lain: Mengapa Wiranto bersikeras membawa perwira-perwira senior ke Jawa Timur pada tanggal 14 Mei? Siapa yang bertanggung jawab atas “pernyataan” mengenai lengsernya Soeharto? Mengapa ia mengizinkan mahasiswa memasuki gedung MPR/DPR dan membiarkan mereka tinggal di sana sampai Soeharto mengundurkan diri?

Wiranto, Megawati, dan Prabowo.

Prabowo mengakui bahwa versinya tiada lain adalah versinya sendiri. Peristiwa-peristiwa yang sama mungkin saja dilihat berbeda oleh orang lain: Soeharto, Habibie, anak-anak Soeharto, Wiranto. “Saya harus fair,” kata Prabowo mengenai Wiranto. “Ia ingin mengadakan reformasi tetapi ia juga punya ambisi-ambisi politik.” Di matanya sendiri, Prabowo menganggap dirinya adalah orang yang loyal. Namun bagi orang lain, tindakan-tindakannya bisa saja kelihatan sebagai tindakan-tindakan seorang rival yang berbahaya, seorang pengkhianat, dan seorang konspirator.

Saling curiga, kebingungan dan salah pengertian pasti punya peran dalam drama bulan Mei. Masing-masing pemain kunci boleh jadi berpikir bahwa pihak-pihak lain bermaksud mencelakakan dirinya. Jika politik di Indonesia adalah permainan wayang, maka mungkin pemain-pemain itu takut pada bayangannya satu sama lain.

Orang masih bisa mencari alur dan kontra-alur cerita. Tetapi melihat bahwa yang berperan di sini lebih daripada suatu konspirasi, itu sama dengan melepaskan kebenaran yang rumit dari sangkar fiksi yang cocok. Apa pun kenyataan di belakang kerusuhan-kerusuhan itu, cerita-cerita yang muncul terbukti sangat berguna.

Jaksa Agung Marzuki Darusman: "Seharusnya jangan hanya dia seorang (Prabowo) yang disalahkan atas semuanya."

Setelah TGPF,” kata Munir dari Kontras, menjelaskan, “siapa yang muncul adalah Wiranto. Bahwa Wiranto adalah seseorang yang tak bisa dinyatakan bertanggung jawab.” Inilah kemenangan politik Wiranto: memperoleh tiket memasuki suatu rezim baru padahal sebenarnya ia adalah bagian dari rezim lama yang digulingkan. Namun, apakah konsolidasi militer dan keberhasilan politik Wiranto mungkin terjadi tanpa mengakhiri karier Prabowo (sebagai tumbal)?

Bayang-bayang Prabowo telah digambarkan seperti sehelai selimut yang meliputi kerusuhan-kerusuhan, penculikan, perlakuan kejam di berbagai daerah. Orang tidak perlu repot-repot lagi mencari penjelasan-penjelasan. “Seharusnya jangan hanya dia seorang (Prabowo) yang disalahkan atas semuanya,” kata Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada Asiaweek. “Itu jalan keluar yang gampang.

Tetapi itulah rute yang telah diambil. Dengan adanya kambing hitam, tidak ada orang yang perlu menjelaskan mengapa seseorang dianiaya, dan bagaimana karier seseorang menjadi terhambat. Tidak ada orang yang perlu mengungkapkan nasib dari orang-orang yang masih hilang. Tidak ada orang yang perlu mengaku bertanggung jawab. Selama cukup banyak orang yang percaya bahwa kesusahan semua orang ini akan sirna jika ada orang lain –seseorang, atau suatu komunitas– yang dapat disalahkan dan kemudian dilenyapkan.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek, No. 8/Vol. 26, 3 Maret 2000

No comments: