Monday, May 5, 2014

Ketimpangan yang Mencemaskan


Ketimpangan kembali menjadi isu utama. Gemuruh pembangunan selama 10 tahun terakhir selain banyak menyia-siakan kesempatan, ternyata juga hanya menguntungkan segelintir pihak. Ketimpangan terjadi karena kue pertumbuhan tidak terbagi merata (untuk semua pelaku ekonomi).

Kue pertumbuhan ekonomi selama ini lebih banyak ditopang sektor modern (non-tradable) seperti sektor keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran. Pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 5,78% ditopang oleh sektor non-tradable tersebut seperti sektor komunikasi (tumbuh 10,19%). Sektor ini tumbuh di atas rata-rata nasional. Sebaliknya, sektor riil (tradable) semacam sektor pertanian (3,5%), industri (5,6%), dan pertambangan (1,34%) tumbuh rendah (BPS, 2014).

Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs non-tradable ini memiliki implikasi serius karena terkait pembagian kue dan surplus ekonomi. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya hanya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja. Karena karakteristiknya itu, penyerapan tenaga kerja sektor non-tradable jauh lebih kecil dari sektor tradable. Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah dibandingkan masa Orde Baru misalnya, tetapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh, tapi tidak (semuanya) sejahtera. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada tahun 2013 hanya 14,4%.

Ketimpangan desa-kota dan ketimpangan miskin-kaya yang seakan menjadi ketimpangan abadi tanpa ada solusi.

Padahal, sektor ini menampung 41% dari total tenaga kerja. Akibat dari itu, maka pertanian kian involutif yang ditandai dengan masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan. Lebih dari itu, pertumbuhan justru memperlebar kesenjangan: yang kaya makin kaya yang miskin kian miskin. Ini terlihat dari meroketnya Gini Rasio: dari 0,32 pada tahun 2004 menjadi 0,41 pada tahun 2011 (makin tinggi berarti makin timpang). Ini pertama kalinya Gini Rasio masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk ketimpangan rendah). Sejak gemuruh pembangunan dimulai secara sistematis pada tahun 1966 (era awal Orde Baru) belum pernah terjadi Gini Rasio menembus angka 0,4.

Artinya, pembangunan hanya dinikmati sekelompok kelas ekonomi, yakni kelas menengah ke atas. Artinya, jika kemiskinan absolut menurun dengan perlahan, namun kemiskinan relatif meningkat dengan lebih pesat. Kesenjangan ekonomi yang melebar itu menandai defisit kesejahteraan. Apa makna semua ini? Meskipun sudah 69 tahun Indonesia merdeka dari belenggu penjajahan, sistem perekonomian negeri ini tetap bersifat dualistik seperti dikenali oleh Prof Boeke dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar pada 1930 yang berjudul: “Dualistische Economie.” Boeke mengemukakan pengenalan tentang ekonomi kolonial di Hindia Belanda.

Intinya adalah tajamnya pembagian ekonomi ke dalam sektor tradisional dan sektor modern yang saat ini kira-kira sama dengan kondisi sektor tradable vs non-tradable. Dua sektor ini hidup bersamaan tanpa mempunyai kaitan yang satu dengan lainnya. Inilah dua wajah asli Indonesia. Teori trickle down effect bahwa yang besar akan mengangkat yang kecil sama sekali tidak berlaku di Indonesia. Sebaliknya, yang besar akan mengeksploitasi yang kecil, yang oleh Bung Karno diistilahkan dengan eploitation d’lhomme par l’homme. Dua wajah Indonesia juga bisa dikenali dari data kemiskinan. Sejak dulu kemiskinan terkonsentrasi di perdesaan.


Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin di perdesaan 44,2 juta orang atau 81,5% dari total penduduk miskin. Lebih 35 tahun kemudian, angka ini hanya sedikit membaik. Jumlah penduduk miskin per September 2013 mencapai 28,55 juta (11,47%). Secara agregat kemiskinan memang menurun, namun persentase jumlah orang miskin di perdesaan tetap tinggi: mencapai 62,76% (17,92 juta) dari jumlah warga miskin. Ini fakta getir karena pembangunan justru meminggirkan warga perdesaan. Data ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ekonomi ternyata kemiskinan tidak beranjak jauh dari desa.

Dua wajah Indonesia juga lebih mudah dikenali dari kesenjangan wilayah: antara wilayah barat vs timur. Pada tahun 1975 kawasan barat Indonesia (KBI) menguasai 84,6% PDB nasional dengan Jawa yang hanya 9% dari luas wilayah menguasai 46,7% PDB nasional dan menjadi tempat bermukim dari 63,2% penduduk Indonesia. Lebih dari tiga dekade kemudian, pada tahun 2013 KBI (Jawa dan Sumatera) menguasai 82% PDB nasional dengan meninggalkan kawasan timur Indonesia (KTI) yang hanya menguasai 18%.

Apa artinya kemerdekaan dan demokrasi dengan berkali-kali Pemilu, apabila kemiskinan masih membelit dan kesejahteraan tak kunjung nyata?

Supremasi Jawa atas non-Jawa terlihat jelas: pada tahun 2013 Jawa menguasai 58% PDB nasional dengan tiga provinsinya (DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat) menguasai 46% PDB nasional. Inilah dua wajah asli Indonesia. Uraian ini menunjukkan pembangunan ekonomi Indonesia telah gagal menghasilkan transformasi struktural. Secara struktural, ekonomi di Indonesia bermasalah. Sektor pertanian masih menyerap 41% dari total tenaga kerja, sementara sumbangan PDB dari sektor ini hanya 14,4%. Sektor industri yang diharapkan bisa menyerap tenaga kerja baru pun ternyata masih jauh panggang dari api.

Transformasi struktural ekonomi Indonesia hanya akan terjadi bila ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor non-tradable yang bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan ke sektor tradable yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. Tanpa kemauan membalik arah pembangunan, maka pembangunan yang dilakukan hanya akan menciptakan kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marjinalisasi ekonomi perdesaan dan marjinalisasi ekonomi pertanian. Dan inilah wajah asli kita.

Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”

KORAN SINDO, 23 April 2014

No comments: