Monday, September 28, 2009

Skandal Bank Century


Kasus skandal Bank Century semakin meruncing. Terlebih polemik setelah digelontornya Bank Century lewat Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), sebesar Rp 6,672 triliun dan perkiraan nilai saham pada saat bank harus didivestasi pada tahun 2011.

Pemerintah dan BI harus ditempatkan dalam posisi yang paling bertangung jawab karena mereka dulu yang memutuskan melakukan penyelamatan Bank Century. Dalam konteks yang demikian itu, potensi kerugian Negara yang ditimbulkan berkisar Rp 4,72 triliun.

Polemik skandal Bank Century ini mengingatkan kembali pada mega skandal BLBI yang merusak dan merongrong perekonomian Indonesia. Betapa tidak, total BLBI yang dikucurkan sedikitnya Rp 320 triliun. Terdiri dari Rp 144,5 triliun yang diterima 48 bank umum swasta nasional dan Rp 175 triliun yang diterima bank BUMN.

Dampak bagi seluruh rakyat amat besar. Karena dari kewajiban untuk melunasi obligasi BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, ternyata nilai asset yang diserahkan pemegang saham mayoritas bank penerima BLBI hanya sekitar Rp 12 triliun atau 8,5 persen saja.

Memang skandal Bank Century tidak sefantastik skandal BLBI, akan tetapi yang harus mendapat perhatian dari kalangan masyarakat adalah perlunya dipertanyakan soal legalitas penyelamatan. Kenapa? Hal ini sangatlah penting karena menyangkut persoalan kriteria bank gagal yang terjadi secara sistemik, belum lagi dihadapkan pada payung hukum yang akan digunakan untuk melindunginya.

Layak untuk dikaji secara mendalam terutama yang menyangkut tidak saja pada betapa negara harus bertanggung jawab di tengah krisis global, tapi barangkali yang menyedihkan justru pada kenapa rakyat yang akhirnya dipilih dan harus menanggung beban skandal tersebut.

Bahkan tidak tanggung-tangung Wakil Presiden Jusuf Kalla secara terus terang mengatakan masalah yang terjadi di Bank Century merupakan tindakan kriminal murni. Yaitu berupa perampokan bank oleh pemiliknya sendiri akibat lemahnya pengawasan oleh Bank Indonesia. Terhadap persoalan riil inilah akhirnya duit rakyat melalui pemerintah dikemas dengan bahasa penyelamatan dan upaya pengesahan perbankan yang sebenarnya sudah mau ambruk.


Sungguh bisa dipastikan skandal Bank Century menghasilkan polemik saling tuding. Yang nampak kasat mata adalah bagaimana perbedaan pandangan keras antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden. Justru yang menarik tidak sekadar polemiknya yang tajam, tetapi adalah semakin membukanya tabir skandal hingga lebih jelas dan transparan.

Maka ranah hukum sebagai pilihan untuk menyelesaikan masalah tidak boleh berhenti. Apalagi hukum nantinya tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan politik.

Tentu, kesigapan tidak hanya tertumpu pada lembaga penegak hukum baik polisi, jaksa dan lembaga peradilan, akan tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi semestinya langsung sigap dengan melakukan penyidikan. Untuk itu KPK harus melakukan kerja sama dengan aparat Kepolisian Republik Indonesia, karena kasus ini sudah terlebih dahulu ditangani oleh pihak Kepolisian, (Duta Masyarakat, Selasa, 1/9/2009).

Bahkan tidak kalah pentingnya pihak BPK harus kerja keras melakukan audit terhadap kasus Bank Century. Hal ini lantaran Komisi IX DPR sejak awal mempersoalkan suntikan dana Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yang sudah dikucurkan.

Peranan BI sebagai lembaga yang melakukan Pembinaan dan Pengawasan adalah sangat dominan. Secara normatif dalam rumusan Undang-Undang Perbankan No 7 tahun 1992 dan UU No 10 tahun 1998, dalam pasal 29 disebutkan ”Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Termasuk juga bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas asset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan bank.


Dalam ranah normatif tesebut peran BI menjadi sangat sentral dari sebuah perusahaan keuangan bidang perbankan. Karena otoritas BI inilah maka sebuah perbankan dapat menjadi sehat ataukah gagal secara sistemik. Lantaran peran dan fungsi BI tidak sekadar menunggu dan bersifat pasif tapi juga harus pro aktif.

Inilah kemudian BI dituntut untuk dapat mengetahui tentang kesehatan perbankan yang dapat ditentukan dari pertama, persoalan permodalan. Yang menyangkut modal adalah bagian terpenting untuk mengetahui lebih jauh tentang seberapa besar modal yang dimiliki oleh lembaga keuangan tersebut, tentu ini untuk lebih melindungi nasabah.

Kedua, kualitas asset dan kualitas manajemen. Dalam kontek inilah peranan aset menjadi tolok ukur yang menjadi jaminan kelangsungan usaha perbankan, termasuk juga yang menyangkut manajemen yang dikelola secara profesional serta memperhatikan nilai-nilai fundamental perbankan.

Ketiga, rentabitas, yaitu untuk lebih mengetahui tentang seberapa besar tingkat rentanya sebuah bank dalam menjalankan operasionalnya, karena hanya ukuran secarik buku tabungan seorang nasabah bank dapat percaya. Kadang tidak jarang belum mengerti seberapa besar rentabilitas sebuah bank. Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank yaitu atas dasar kepercayaan maka setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.

Keempat, likuiditas dan solvabilitas, dua hal yang tidak bisa diabaikan dalam rangka untuk mengerti dan sekaligus menganalisis lukuiditas serta seberapa besar kemampuan untuk solvabilitasnya.

Terhadap peranan BI yang begitu besar mestinya tidak akan terjadi persoalan skandal di Bank Century bilamana BI dapat menjalankan fungsi dan peranannya. Karena itulah perlunya pemikiran gugatan atas peran BI guna keberlangsungan kemajuan ekonomi di bidang perbankan.

Tidak sekedar menjadi alat pelengkap dari sebuah kegiatan industri perbankan tetapi juga perlunya kerja-kerja profesional dengan landasan mengutamakan kepentingan umum.

http://kabarnet.wordpress.com/2009/09/03/skandal-bank-century/

No comments: