Tuesday, February 3, 2009

Saya tak Betah di Sini


Baiklah, saya mengaku tak betah tinggal di sini.

Pekan lalu, lewat facebook, seorang sahabat bertanya kabar. Saya jawab saja, masih terkungkung di kota ini. Sahabat lain menimpali. Nikmati saja kota ini, katanya, dan jangan merasa terkungkung.Kata terkungkung boleh jadi kurang tepat. Sebenarnya saya lebih merasa tidak cocok. Mungkin saya tinggal di wilayah yang tak kompatibel dengan saya, atau sayalah yang tidak kompatibel dengannya.

Suatu pagi, misalnya, saya menegur dua petugas Transjakarta di kawasan Mampang yang meloloskan mobil-mobil pribadi masuk jalur busway. Dengan wajah prihatin, keduanya melirik polisi dekat mereka. ''Kami tidak bisa apa-apa, polisi yang menyuruh mobil pribadi masuk,'' kata salah satu petugas itu.Malamnya, di kawasan yang sama, seorang polisi menilang mobil yang memasuki jalur busway.

Saya tidak bicara tentang benar-salah atau baik-buruknya tindakan para polisi itu. Saya hanya merasa tidak cocok dengan kelakuan mereka.Di kantor pos, pada hari lain, saya mencoba antre untuk membayar sebuah tagihan. Saya pikir itu cara paling efisien dan adil untuk mendapatkan kesempatan pelayanan di antara begitu banyak manusia. Tapi, orang-orang di sekeliling tak sependapat rupanya. Mereka membentuk kerumunan, berlomba mendapatkan pelayanan paling cepat. Saya yang di belakang tak tahu lagi kapan akan mendapatkan pelayanan.

Saya merasa tidak cocok dengan situasi itu. Saya putuskan keluar saja dari kerumunan dan membatalkan pembayaran.Di jalan raya pantura, saya mencoba menyetir dengan tertib. Truk-truk mengambil jalur kanan dan berjalan amat perlahan. ''Salip dari kiri saja,'' kata teman seperjalanan yang terbiasa melalui jalan itu. Begitulah, kata dia, cara berkendaraan di sana. Saya, pada menit berikutnya, mematuhi saran itu. Tapi, hati sesungguhnya berontak. Bukankah seharusnya lajur untuk mendahului adalah yang kanan.

Saya lakukan juga tindakan menyimpang itu. Tapi, saya sesungguhnya merasa tak cocok dengan perbuatan itu.Di sebuah kantor pemerintahan, saya mengurus surat-surat. ''Empat hari beres,'' kata seorang pegawai. Pada waktunya, saya ambillah surat-surat itu. Pegawainya tetap sama, dan ia mengajak berbincang. ''Pak, biaya administrasinya?'' katanya. Waktu saya jawab bahwa semua biaya sudah saya bayar, ia bingung dan akhirnya meminta saya bertemu Pak Kepala.''Begini... kami harus mengeluarkan biaya ekstra untuk Iprinter, kertas, tinta, jadi kami harapkan Bapak mau bantu. Terserah, seikhlasnya saja,'' kata Pak Kepala. Saya tidak ikhlas, tapi keluar jugalah beberapa lembar. Lagi, saya tak cocok dengan situasi seperti itu.

Langit akhlak rubuh,
di atas negeri berserak-serak
Hukum tak tegak,
doyong berderak-derak


Penyair Taufiq Ismail menuliskan syair itu dengan tertunduk. Dulu ia bangga, teman-teman sekolahnya di Amerika memuji-muji bangsanya. Dulu dadaku tegap bila aku berdiri.Tapi, itu dulu. Mengapa sering benar aku merunduk kini Dalam perjalanan di antara bangsa-bangsa dunia, Taufiq membenamkan topi baret di kepala. Malu aku jadi orang Indonesia.

Dulu pun saya tak terlalu kerap sebal dengan lingkungan sekeliling. Saya penah mengalami masa-masa indah. Di Bandung, dulu, saya bisa menyeberang jalan dengan tenang karena kendaraan berhenti sebelum garis zebra cross. Para penyeberang bahkan menikmati alunan musik seiring lampu hijau bagi mereka. Sopir-sopir angkutan kota, juga dulu, menolak berhenti di tempat-tempat terlarang. Mereka pun menutup pintu saat kendaraan berjalan. Penumpang merasa aman. Dan, jumlah mereka tak berkurang.

Saya berjalan dari satu negeri ke negeri lainnya. Berjumpa banyak jenis manusia dan belajar dari mereka. Suatu ketika, di Hamburg, saya setengah berlari saat menyeberang jalan. Lalu, sadar diri, orang-orang lain berjalan dengan tenang. Malulah saya karena sebenarnya kendaraan-kendaraan di sana akan menanti dengan sabar sampai penyeberang terakhir selamat melintasi mereka.

Di Ottawa, orang-orang berderet rapi, antre di restoran dan toko. Tak perlu ada garis antre karena pembatas ada dalam hati mereka. Senyum selalu mengembang walaupun kota ini dingin dan merupakan ibu kota negara yang paling dekat ke kutub utara. Saya datang dari negeri hangat dan ramah, malu karena mereka lebih cepat menyapa saat bersua di lift atau koridor hotel.

Di Goteborg, saya tak melihat banyak mobil melintas. Padahal, ini adalah pusatnya Volvo. Orang-orang keluar rumah dengan sepeda, naik bus, atau trem. Mobil hanyalah untuk keperluan jarak jauh. Jalan-jalan raya amat ramah terhadap pejalan kaki. Trotoar lebar. Jalur sepeda tersedia di semua ruas. Tapi, bukan sekadar prasarana, hati para warganya memang menaruh hormat pada orang lain. Jangan harap ada sepeda motor menjarah trotoar seperti di Jakarta.

Saya mencari sebuah alamat di Hong Kong. Seseorang berbaik hati memberi tahu. Saat saya tanya bagaimana cara mencapai alamat itu, ia menjawab, ''Jalan kaki saja.'' Ketika saya tanya seberapa jauh, ia tersenyum meledek. ''Untuk orang Jakarta [yang malas jalan kaki sih jauh.''

Saya berpikir perilaku koruplah yang membedakan diri kita dengan mereka. Ini bukan soal duit semata. Banyak sekali korupsi kita. Korupsi penunggang sepeda motor terhadap hak pejalan kaki. Korupsi terhadap hak pelayanan lebih awal bagi orang yang mau antre. Korupsi terhadap waktu petugas kebersihan karena warga membuang sampah sembarangan. Korupsi fasilitas kota karena warga tak mau menyeberang di tempat yang telah disediakan. Korupsi waktu karena metromini berhenti sembarangan dan memacetkan jalan. Korupsi kesehatan karena perokok mengembuskan asap di tempat-tempat umum. Semua itu membuat saya tidak betah.

Arys Hilman, REPUBLIKA, 01 Februari 2009
http://ng.republika.co.id/koran/120/28963/Saya_tak_Betah_di_Sini

1 comment:

KULYUBI ISMANGUN said...

Presiden Soeharto :
......................Jang penting adalah sikap kita. Kita harus makin matang dalam menilai segala pengalaman itu. Kita tidak* akan lupa diri dalam sukses-sukses; kita djuga tidak akan putus asa dalam kegagalan. Kita terus berusaha dalam menghadapi kesulitan; dan kita lebih giat berusaha dalam mentjapai hasil. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan jang sama; tetapi kita harus mentjapai sukses-sukses baru, mengumpulkan hasil demi hasil, mentjapai kemadjuan demi kemadjuan".