Wednesday, February 25, 2009

Potensi Ancaman pada Pemilu


Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menegaskan, momen Pemilihan Umum 2009 adalah salah satu episode paling krusial dalam proses perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Meski begitu, Pemilu 2009 diyakini berpotensi menghadirkan kerawanan dan ancaman.

Potensi tersebut akan muncul terutama jika semua pihak yang terlibat lebih menonjolkan logika ”kepentingan politik” demi mencapai kepentingan kelompok dan politik pragmatis dari aspirasi politik sendiri-sendiri.

Hal itu disampaikan Djoko, Selasa (24/2), dalam pidato di depan 1.257 komandan kompi di lingkungan Komando Garnisun Tetap 1/Jakarta di Balai Samudra, Jakarta Utara.

Dalam kesempatan itu, ia juga melansir delapan poin indikator potensi ancaman.

”Diyakini, dalam prosesnya, sejumlah gesekan antarkepentingan politik bakal muncul dan terus meningkatkan suhu politik ke depan. Bukan tidak mungkin hal itu dapat mengganggu kondisi stabilitas nasional yang harusnya senantiasa dijaga agar kondusif, mantap, dan terkendali,” ujar Djoko.

Acara bertajuk ”Commander’s Call” itu dihadiri ketiga kepala staf angkatan dan sejumlah panglima komando utama.

Seusai pengarahan, acara dilanjutkan dengan proses tanya jawab yang dilakukan secara tertutup.

Djoko menyatakan, ia hadir memberi pengarahan atas undangan Komandan Gartap I/Jakarta sekaligus Panglima Kodam Jaya Mayjen Darpito.

Menurut Djoko, kedelapan poin indikator yang berpotensi sebagai ancaman itu secara umum diyakini dapat memicu gesekan, benturan, dan konflik kepentingan terbuka. Beberapa poin indikator itu adalah banyaknya jumlah partai politik peserta Pemilu 2009, masa kampanye yang panjang, serta banyaknya jumlah tokoh calon presiden-wakil presiden yang akan maju.

Selain itu, faktor lain yang berpotensi memicu konflik juga terjadi akibat kuatnya nuansa ketidakpuasan parpol dan masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Belum lagi soal makin terakumulasinya endapan persoalan, terutama akibat sengketa pemilihan kepala daerah dan pemekaran daerah.

Endapan dan penumpukan persoalan seperti itu terjadi karena masalah yang muncul tidak segera diselesaikan. Masalah-masalah itu malah tertimpa isu baru lain yang jauh lebih besar. Kondisi seperti itu diibaratkan ”api dalam sekam” yang tinggal menunggu ”sumbu ledak” pemicu konflik komunal.

”Dalam alam demokrasi, kritik adalah hal wajar. Namun, ada kecenderungan kritik menjadi tidak konstruktif dan solutif serta hanya bersifat waton suloyo atau asal berbeda. Semangatnya bukan lagi untuk perbaikan dan kebaikan bersama,” papar Djoko.

Manuver politik yang terjadi juga cenderung saling fitnah provokatif dan saling serang secara pribadi dalam bentuk kampanye hitam. Tak hanya itu, Djoko juga melihat masih ada kecenderungan untuk menarik TNI kembali dalam kancah politik, yang diwarnai pula dengan nuansa kecurigaan terhadap netralitas TNI.

Wajar
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, menganggap wajar pemaparan Djoko terkait potensi ancaman pada Pemilu 2009.

Namun, Ikrar meminta TNI tidak perlu bersikap khawatir berlebihan terhadap proses demokrasi di Indonesia yang, menurut dia, terus berproses mencari keseimbangan baru.

Sementara itu, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andi Widjojanto, menganggap apa yang dipaparkan Panglima TNI itu konsisten dengan naluri organisasi militer. Militer memang akan selalu melihat segala sesuatunya dengan kerangka skenario terburuk.

”Apa yang disampaikan Panglima TNI mungkin hanya untuk kalangan internal, yang mengingatkan agar jajarannya selalu bersiap-siap mengantisipasi. Akan tetapi, penanganan masalah-masalah seperti itu sebenarnya sudah bukan lagi urusan TNI, tetapi institusi-institusi lain, seperti Polri, Mahkamah Konstitusi, dan KPU. Semua ada aturan mainnya,” ujarnya.

Ikrar juga menilai, cara pandang TNI seperti itu masih menganut cara pandang lama yang melihat demokrasi sebagai sesuatu yang menakutkan. Padahal, dalam beberapa kali pemilu, terbukti maraknya parpol dan kandidat peserta pemilu adalah hal yang biasa-biasa saja dan malah menjadi hiburan tersendiri, seperti terkait ramainya aktivitas kampanye.

Menurut Ikrar, justru pada masa Orde Baru, dengan jumlah parpol yang hanya tiga partai, pemilu malah lebih menyeramkan. Pada pemilu masa Orde Baru justru terjadi yang namanya insiden semacam peristiwa ”Lapangan Banteng”, yang bertujuan mendiskreditkan parpol-parpol lawan penguasa ketika itu.

Sementara itu, Andi menambahkan, apa pun hasil Pemilu 2009, baik prosesnya berlangsung damai maupun memicu konflik, netralitas TNI tetap harus dijaga dalam arti TNI tidak berpolitik praktis.

KOMPAS, 25 Februari 2009

No comments: