Monday, February 23, 2009

AS Belum Tentu Berubah


KONTRAS sekali menyaksikan sambutan ketika Condoleezza Rice dan Hillary Rodham Clinton berkunjung ke negeri ini. Sambutan publik dan media massa berbeda 180 derajat atas kehadiran Menteri Luar Negeri AS itu. Ketika Condy -panggilan Condoleeza- datang ke Jakarta dua tahun lalu, demo mengutuk berbagai kebijakan politik luar negeri AS marak. Tak hanya di Jakarta, demo juga meluas ke berbagai penjuru tanah air. Media pun menulis dengan sangat kritis dan sinis kehadiran Condoleezza. Misalnya, bagaimana pengamanan Condy oleh Marinir AS yang ekstraketat, seakan-akan Indonesia ini seperti medan perang di Iraq. Demo serta kritik keras dan tajam ini mencapai puncak saat Presiden AS (saat itu) George W. Bush berkunjung ke Indonesia. Tak ada masyarakat yang menyambut ramah, yang ada hanya amarah.

Berbeda dengan Hillary yang merupakan menteri luar negeri (Menlu) wanita ketiga di AS. Kedatangan Hillary disambut hangat dan ramah oleh masyarakat. Bahkan, Hillary juga menyediakan waktu untuk wawancara di salah satu stasiun TV dengan audiens sejumlah artis. Memang, ada demo menentang kehadiran istri mantan Presiden AS Bill Clinton ini, tapi eskalasinya tidak besar. Juga tidak sampai membuat aparat keamanan kerepotan mengamankan tamu negara ini. Media pun menulis cukup positif, sentimentil, dan memberi harapan besar bahwa wajah AS telah berubah.

Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Barack Obama mencoba menggeser pendulum yang telah digerakkan selama delapan tahun oleh pendahulunya, George W. Bush. Apalagi -bagi warga Indonesia- ada romantisme karena Obama pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar di Jakarta. Amerika yang selama hampir satu dekade ini dalam kacamata publik dianggap musuh, kini seakan-akan menjadi sahabat yang sangat dekat. Publik sepertinya merindukan, tak hanya kehadiran Hillary, tetapi juga Obama. Meskipun mungkin Obama tidak pernah berpikir sejauh dan seromantis itu tentang Indonesia.

Benarkah AS di bawah Obama akan berubah? Jangan berharap berlebihan. Memang beberapa langkah strategis telah diambil Obama, seperti penutupan kamp tahanan di Guantanamo, rencana penarikan pasukan AS dari Iraq, hingga upaya dialog untuk mengakhiri kebekuan diplomatik dengan Iran. Namun di sisi lain, Obama akan menambah pasukan di Afghanistan untuk menghancurkan basis Taliban. Juga belum tampak rencana kebijakan strategis dan konkret terkait konflik Israel-Palestina. Solusi dua negara memang menjadi rujukan kebijakan Obama dalam konflik Israel-Palestina ini. Namun, sikap keras menolak dialog dan tidak mengakui eksistensi Hamas (pun Hizbullah) hanya akan membuat harapan atas solusi damai Israel-Palestina menjadi angan-angan belaka.

Bagaimana posisi geopolitik Indonesia dalam platform kebijakan luar negeri AS? Sekali lagi, publik dan media di Indonesia -juga pemerintah- menaruh harapan yang terlalu berlebihan. Saat Hillary Clinton berpidato dalam salah satu forum, bagaimana media dan sejumlah pejabat pemerintah tampak sangat bergembira karena Hillary menyebut Indonesia sebagai mitra strategis untuk kepentingan politik luar negeri AS di Asia dan Pasifik. Namun, tak ada media dan pejabat yang memberikan komentar, mencoba menyimak pidato Hillary itu secara lengkap. Padahal, dalam pidato itu Hillary tidak mengulas Indonesia secara detail. Hanya menyebut arti penting dan strategis negara-negara di Asia seperti Jepang, China, Korea, Indonesia, dan beberapa negara lain. Jadi, Indonesia hanya disebut satu kata dalam deretan tengah di antara negara-negara lain yang juga disebut Hillary. Kita mungkin bertanya, apakah publik di Jepang atau China juga se-ge er ini mendengarkan pidato Hillary tadi.

Pemerintah Indonesia, sejak Orde Baru lahir, telah menjadi anak manis bagi AS. Bahkan, anak yang sangat manis. Kompensasinya jelas, bantuan ekonomi mengalir deras. Namun, di sisi lain, Amerika Serikat juga punya banyak kepentingan ekonomi yang nilainya jauh lebih besar dibanding bantuan dan pinjaman yang diberikan kepada pemerintah. Sayang pemerintah tidak mau memaparkan analisis cost and benefit dalam konteks hubungan ekonomi dengan AS ini.

Kepemimpinan Obama mungkin lebih baik daripada George W. Bush. Namun, Amerika tetaplah Amerika. Sebagai negeri adidaya, tata kelola ekonomi dan politik dunia harus tetap di bawah kendali mereka. Perdamaian memang menjadi tujuan, namun ingat ungkapan yang menyebutkan, "Jika ingin damai, berperanglah." Memang tidak lagi di Iraq, tetapi mungkin di Afghanistan, Iran, atau Korea Utara.

Jawa Pos, Jum'at, 20 Februari 2009

No comments: