Wednesday, February 4, 2009

Presiden "Peralat" TNI


Menyakitkan, Panglima Tertinggi Ragukan Anak Buah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai ”memperalat” Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan melempar isu ”Asal Bukan Calon Presiden berinisial S”, baik dalam Rapat Pimpinan TNI maupun Rapat Koordinasi Polri.

Anggota Komisi I (Bidang Pertahanan) DPR Effendy Choirie, yang juga Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB), menegaskan hal itu kepada wartawan di Jakarta, Minggu (1/2). ”Ini bisa dimaknai, Susilo Bambang Yudhoyono minta dukungan atau akan memperalat TNI dan Polri untuk kepentingan politik,” ujarnya.

Pernyataan Presiden Yudhoyono, kata Effendy, juga jelas menggoda dan merangsang TNI/ Polri berpolitik. Apa yang dilakukan itu melanggar cita hukum.

Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan, prajurit dilarang terlibat kegiatan politik praktis, selain kegiatan bisnis dan menduduki jabatan politis. Pasal 28 UU No 2/2002 tentang Polri juga menegaskan, Polri harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Effendy mengingatkan Presiden Yudhoyono, TNI/Polri bukan alat kekuasaan, alat politik, dan alat bisnis, seperti pada era Orde Baru, tetapi alat negara untuk pertahanan dan keamanan. Dengan demikian, kalau bertemu TNI/Polri, Presiden seharusnya berbicara profesionalisme pertahanan dan keamanan dalam menghadapi ancaman.

Kerisauan atau keresahan itu salah alamat bila diungkapkan di depan TNI/Polri. ”Jika curhat politik seharusnya ke Partai Demokrat atau kepada partai pendukungnya saja,” ujarnya.

Tak percaya anak buah
Secara terpisah, Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi menilai, lontaran isu gerakan ”asal bukan capres berinisial S” oleh Presiden Yudhoyono, terutama di kalangan petinggi TNI-Angkatan Darat, boleh jadi bertujuan menciptakan kesan Yudhoyono tengah dizalimi secara beramai-ramai.

Cara pencitraan serupa dinilai efektif menaikkan simpati bagi Yudhoyono sehingga terpilih pada Pemilu 2004. Namun sayangnya, kata Kristiadi, dalam konteks sekarang yang justru dianggap dizalimi bukan Yudhoyono, melainkan TNI/Polri.

”Bagi TNI, kalau sampai Panglima Tertinggi meragukan anak buahnya sendiri, hal itu sangat menyakitkan,” ujar Kristiadi.

Berbicara di SMA Kanisius, Jakarta, Minggu, Kristiadi menyayangkan Presiden Yudhoyono menyampaikan sesuatu hal yang dia sendiri tidak yakin kebenarannya. Padahal, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, ia bisa saja langsung memanggil siapa pun yang dicurigai untuk kemudian diproses lebih lanjut.

Manuver politik Presiden Yudhoyono seperti itu dapat membuat TNI merasa tidak dipercaya atau malah merasa ”dijual” untuk mencari popularitas menjelang Pemilu 2009. Jika benar, Yudhoyono sebetulnya malah dirugikan karena pernyataannya berdampak memecah belah anak buahnya sendiri.

”Rasa kekhawatiran itu terlalu berlebihan sehingga bisa diterjemahkan macam-macam, seperti Presiden Yudhoyono mau menyatakan dirinya akan dizalimi. Apa pun perdebatan, ia diuntungkan sebab orang setidaknya ingat lagi apa yang terjadi dan dialami Yudhoyono pada masa lalu,” kata Kristiadi lagi.

KOMPAS, 2 Februari 2009

1 comment:

KULYUBI ISMANGUN said...

Jatuh Bangunnya Calon-Calon Militer dalam Pemilu
Indonesia


Pemilu adalah indikasi beberapa hal: popularitas atau terpuruknya pemerintah dan
kecenderungan politik lainnya. Dalam negara yang kompleks seperti Indonesia, pemilu juga
melibatkan usaha kelompok dalam elit yang berkuasa untuk mempertahankan kemenangannya
atau upaya mereka yang telah tenggelam untuk tampil kembali. Sejak jatuhnya Suharto tahun
1998, elit militer telah banyak kehilangan kekuatan politiknya dan sekarang mereka secara
resmi disingkirkan dari arena politik. Karena itu bukan suatu kebetulan kalau banyak
pensiunan perwira, terutama mantan jenderal angkatan darat, yang ingin kembali ke panggung
politik. Banyak yang sudah menjadi calon legislatif dalam pemilu 2009 sementara beberapa
kaliber berat telah melangkah menuju pemilihan presiden yang akan diadakan kemudian pada
tahun depan.


Ini dapat diinterpretasikan dalam beberapa
cara. Selama lebih dari tiga dekade, Suharto
memimpin kediktatoran militer dengan
dwifungsi sebagai doktrin utamanya. Dwifungsi
memberi militer hak untuk bermain dalam
politik, yang kemudian dieksploitasi dalam
skala besar. Meskipun anggota angkatan
bersenjata tak diperbolehkan memilih, mereka
diberi jatah 100 kursi dalam DPR dan DPRD.
Tetapi, setelah jatuhnya Suharto, dwifungsi
dilempar masuk ke tong sampah sejarah.
Sepanjang sejarahnya, Indonesia telah
memiliki beberapa pengalaman mengenai
keterlibatan militer dalam politik. Selama apa
yang disebut sebagai jaman liberal (1952-
1959), militer tak puas disingkirkan dari
panggung politik dan membentuk partai politik
mereka sendiri, IPKI (Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia) yang tampil dengan
menyedihkan dalam pemilu1955. Aspirasi
politik mereka kembali muncul setelah
beberapa organisasi militer mendirikan
platform baru bernama Golkar (Golongan
Karya) pada tahun 1964. Maksudnya adalah
agar Golkar dapat menghadapi pengaruh PKI
(Partai Komunis Indonesia) yang kian besar.
Golkar menjadi mesin politik yang ampuh bagi
Suharto dan jenderal-jenderalnya setelah
mereka merebut kekuasaan pada bulan
Oktober 1965 dan menyingkirkan gerakan
sayap kiri.
Selama lebih dari 30 tahun Golkar tetap
menjadi satu-satunya kendaraan politik militer
tetapi partai ini secara konstan direcoki oleh
pergulatan kekuasaan internal. Pada tahun
1990-an, Suharto kian terisolasi dan
memutuskan untuk “menyipilkan” pucuk
pimpinan Golkar. Tahun 1993 ia menunjuk
Harmoko, seorang sipil, sebagai ketua, dan
lima tahun kemudian, Akbar Tandjung
mengambil alih. Tahun lalu, Jusuf Kalla, wakil
presiden Indonesia, terpilih sebagai ketua
partai.
Perkembangan ini mengantarkan keterlibatan
militer dalam politik menuju fase ketiga:
dengan peran yang kini melemah, beberapa
jenderal utama mulai mendirikan organisasi
politik di luar Golkar.
Ada politisi senior yang berkilah bahwa
memasang jenderal dalam pemilu merupakan
hal positif karena kalangan sipil kurang
memiliki wewenang dan lemah dalam
pengambilan keputusan. Tetapi ada jauh lebih
banyak hal dari itu. Banyak perwira yang
dengan tegas meyakini bahwa militer adalah
satu-satunya kekuatan yang dapat melindungi
integritas negara dan politisi selalu membuat
hal menjadi kacau. Ini tak diragukan lagi
merupakan kerangka kerja ideologis dan
pemikiran pensiunan jenderal seperti Wiranto,
Prabowo dan banyak lagi.
Sudah pasti benar bahwa militer tetap
merupakan institusi terkuat di Indonesia dan
bahwa penyelenggara pemerintahan yang
memiliki kemauan kuat, otoriter dan tangguh
sering kali muncul dari jajaran ini. Selama Orde
Baru di bawah Suharto yang berlangsung
sedemikian lama, suatu kasta penyelenggara
pemerintahan militer telah tercipta. Di
2
Indonesia sekarang ini, banyak penyelenggara
pemerintahan baru yang merupakan warga
sipil, yang terpilih melalui proses demokrasi,
tetapi mereka sering kali dipandang tak dapat
memutuskan dan lemah dibandingkan dengan
penguasa yang otoriter di masa lalu.
Dua partai baru: Hanura dan Gerindra
Dari sekian banyak pensiunan perwira yang
ingin memperoleh posisi politik, yang paling
ambisius adalah jenderal Wiranto, Prabowo
dan Sutyoso yang akan memperebutkan kursi
presiden. Banyak pensiunan perwira lain yang
mencoba meraih posisi tertinggi dalam salah
satu dari 38 partai politik yang bakal bertarung
dalam pemilihan tingkat nasional dan daerah,
atau berusaha menjadi gubernur atau bupati.
Yang lain berharap untuk memperoleh posisi
strategis dalam birokrasi daerah.
Ketiga jenderal itu dikenal memiliki catatan
pelanggaran HAM berat dan keunggulan politik
mereka mencerminkan kegagalan akuntabilitas
kriminal di masa pasca-Suharto dalam
menyeret mereka ke meja hijau untuk
mempertanggung-jawabkan perbuatan
mereka. Ketiganya senantiasa tampil di muka
umum dan telah mendapatkan kedudukan
sebagai pemimpin partai politik baru yang ingin
menantang presiden yang berkuasa sekarang
ini, pensiunan jenderal Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY).
Jenderal bintang empat Wiranto adalah senior
SBY di angkatan darat. Selama hari-hari penuh
huru hara tahun 1998-1999 sebelum dan
setelah jatuhnya Suharto, ketika terjadi
penganiayaan di banyak kota dan pengambilan
suara bagi kemerdekaan Timor Timur yang
mengakibatkan kehancuran militer yang
disengaja di muka negara, Wiranto menduduki
tingkat tertinggi dalam angkatan bersenjata
Indonesia. Letjen (purn) Prabowo mempunyai
riwayat HAM yang sama kelamnya. La adalah
salah satu tokoh kunci dalam kegiatan
penumpasan pemberontakan di Timor Timur
dan bertanggungjawab atas pelatihan dan
pembiayaan kelompok milisi yang merajalela di
sana tahun 1999. Sebagai komandan unit
baret merah yang terkenal, Prabowo juga
bertanggungjawab terhadap penculikan dan
hilangnya sejumlah aktivis pro-demokrasi
beberapa hari sebelum jatuhnya Suharto (yang
ketika itu adalah mertuanya). Letjen. (purn)
Sutiyoso juga komandan baret merah dan
bertugas dalam beberapa daerah konflik
seperti Timor Timur, Aceh dan Papua Barat. Ia
berturut-turut menjabat sebagai gubernur
Jakarta selama dua periode dan posisi inilah
yang menggugah berkeinginan menjadi
presiden.
Jenderal Wiranto telah mendirikan partai yang
disebut Hanura (Hati Nurani Rakyat) yang
kantor pusatnya berada di seberang kediaman
resmi wakil presiden di daerah Menteng,
Jakarta. Cabang-cabang Hanura telah berdiri
di seluruh Indonesia, yang memang
dimungkinkan karena sumber keuangan yang
melimpah. Hanura tampil cukup meyakinkan
dalam jajak pendapat dan diharapkan
memenangkan hingga 7% suara. Partai ini
telah menarik dukungan dari kalangan
angkatan darat, angkatan laut dan angkatan
udara serta polisi, pengusaha, mantan anggota
Golkar dan bahkan beberapa aktivis prodemokrasi.
Sebagai ketua Hanura, Wiranto memasang
sejumlah pensiunan perwira disekelilingnya
seperti Letjen. (purn) Arie Mardjono dan
Laksamana Muda (purn) Abu Hartono yang
keduanya merupakan wakil ketua dalam
dewan pertimbangan. Tujuh wakil ketua
Hanura adalah Majen. (purn) Aqlani Maza dan
Laksamana (purn) Bernard Kent Sondakh,
Marsekal Muda (purn) Budhy Santoso,
Prabowo juga
bertanggungjawab atas
penculikan dan hilangnya
sejumlah aktivis prodemokrasi
Ketiga jenderal itu dikenal
memiliki catatan pelanggaran
HAM berat
3
Jenderal Polisi (purn) Chaeruddin Ismael,
Letjen. (purn) Fachrul Razi, Letjen. (purn)
Suaidi Marassabessy dan Jenderal (purn)
Soebagyo. Wakil bendaharanya adalah
Mayjen. (purn) Iskandar Ali.
Wiranto memulai karir militernya sebagai
perwira infantri dan perlahan-lahan pangkatnya
naik dengan menduduki beberapa posisi
territorial. Tahun 1989 ia menjadi ajudan
Presiden Suharto dan menjabat posisi itu
hingga 1993. Sejak itu karirnya kian cerah dan
ia dikenal sebagai pendukung Suharto yang
setia. Ia kemudian berturut-turut menjadi
Pangdam Jaya (1994), Pangkostrad (1996),
Panglima TNI (1997), Panglima Angkatan
Bersenjata (1998) sekaligus menjadi Menteri
Pertahanan dan Keamanan ketika Suharto
jatuh. Ia terus menjabat sebagai menteri pada
masa Habibie dan Gus Dur (Abdurrahman
Wahid) menjadi presiden sampai ia dipecat
tahun 2000. Sejak itu tampak jelas bahwa
Wiranto mempunyai ambisi untuk menjadi
presiden.
Wiranto telah berhasil membangun partainya
dengan efektif dan cukup mengherankan
melihat adanya sejumlah warga sipil, termasuk
beberapa aktivis pro-demokrasi, yang
memutuskan untuk bergabung dalam barisan.
Beberapa analis secara bercanda
membandingkan Hanura dengan penjual
tupper ware. Setiap orang dapat mendirikan
cabang selama barang yang cocok terjual.
Orang yang tak mempunyai banyak uang yakin
dapat memperoleh uang kontan jika mereka
mendirikan cabang sementara sebagian
pengusaha menanamkan uangnya dalam
suatu cabang atau mempromosikan kegiatan
Hanura yang lain. Setiap cabang Hanura
diminta untuk mendirikan koperasi sebagai
tanda tanggung jawab sosialnya sehingga
menarik minat lebih banyak penduikung.
Patut dipertanyakan apakah jajaran Hanura
betul-betul loyal terhadap Jenderal Wiranto.
Salah satu tokoh kunci di Hanura adalah Indro
S. Tjahyono yang merupakan aktivis
mahasiswa yang terkemuka tahun 1978
dengan catatan anti-militer yang
mengesankan. Indro merupakan salah seorang
pimpinan utama oposisi pada akhir tahun
1980-an dan terlibat dalam banyak kegiatan
pro-demokrasi yang penting. Dia sekarang
wakil ketua Hanura meskipun diragukan
apakah ia akan mendukung Wiranto dalam
merebut kursi presiden. Orang-orang lain
seperti Indro jelas menggunakan Hanura
sebagai kendaraan untuk menjadi anggota
legislatif.
Prabowo dan petani-petaninya
Letjen.(purn) Prabowo memiliki latar belakang
yang hebat. Ayahnya adalah ahli ekonomi
terkemuka yang menjadi menteri baik di jaman
Sukarno maupun Suharto. Prabowo menikah
dengan putri kedua Suharto dan menjadi
bagian dari “keluarga pertama” negara ini.
Meskipun ia memiliki latar belakang seperti itu
dan telah mengecap pendidikan di sekolah
umum di Inggris, ia memasuki akademi militer.
Karir militernya sangat sukses sampai ia
dipecat dari angkatan bersenjata tahun 1998.
Selama karirnya dalam militer, ia menduduki
sejumlah posisi yang bergengsi seperti
Panglima Kopassus dan Panglima Kostrad.
Prabowo mendapatkan pelatihan militer dan
mengambil kursus pemberantasan
pemberontakan di Jerman tahun 1981 dan
Kursus Perwira Angkatan Khusus di Fort
Benning, AS juga pada tahun 1981. Ia
kemudian menjadi letnan jenderal Indonesia
termuda pada usia 46 dan sebagian orang
mengatakan bahwa ia dapat muncul sebagai
pengganti ayah mertuanya, Suharto. Tetapi,
sekarang ia adalah pengusaha sukses dan
CEO beberapa perusahaan yang bergerak di
bidang pertambangan, bubur kertas dan
kertas, pertanian dan perkebunan kelapa sawit.
Tahun 1998, dengan kian dekatnya kejatuhan
Suharto, Wiranto dan Prabowo muncul sebagai
saingan. Saat rejim akan tenggelam, Wiranto,
yang memegang jabatan militer utama,
mendukung gagasan Suharto untuk turun
sementara Prabowo membela keberadaan
Suharto sebagai presiden hingga berakhir
pahit. Ada banyak versi peristiwa Mei 1998
seperti yang tertuang dalam sejumlah buku
mengenai peristiwa itu. Setelah Suharto
akhirnya turun, Prabowo meninggalkan
Indonesia menuju Jordan di mana ia menetap
selama beberapa tahun.
4
Sejak itu Prabowo telah merubah citranya dan
kini tampak sebagai pengusaha terhormat.
Beberapa tahun yang lalu ia membuat upaya
lain untuk mendongkrak citranya dengan
merengkuh jabatan sebagai pemimpin
organisasi petani, HKTI. Organisasi ini didirikan
pada jaman Suharto sebagai wadah utama
bagi berjuta-juta petani Indonesia meskipun
sangat diragukan apakah sekarang ini mampu
memobilisasi konsituantenya.
Prabowo juga merupakan apa yang disebut
sebagai anggota biasa sebuah partai bernama
Gerindra. Jelas bahwa ia bakal menjadi calon
presiden dari Gerindra dan mungkin dapat
mengharapkan dukungan dari banyak cabang
HKTI di seluruh Indonesia. Ini merupakan
contoh khas kerendahan hati Jawa. Di atas
kertas, paling tidak, Prabowo telah muncul
kembali sebagai tokoh publik.
Gerindra (Gerakan Indonesia Raya)
sebetulnya tidak didirikan oleh Prabowo tetapi
jelas bahwa dari awal partai ini akan menjadi
kendaraan politiknya. Dua perwira yang
terkenal dengan reputasi buruknya adalah
anggota pengurus Gerindra: Mayjen. (purn)
Muchdi Purwopranyoto yang merupakan wakil
ketua, dan pensiunan perwira intel Mayjen.
(purn) Gleny Kairupan, juga wakil ketua, yang
memainkan peran jahat di Timor Timur. Muchdi
sekarang sedang diadili karena pembunuhan
berencana terhadap Munir, aktivis HAM
terkemuka di Indonesia.
Seperti yang telah diuraikan, baik Wiranto
maupun Prabowo sangatlah dekat dengan
istana. Latar belakang inilah yang mungkin
mendorong mereka untuk maju dalam
pemilihan presiden. Tak ada yang istimewa
dalam program partai mereka dan kedua partai
tersebut memiliki kemampuan politik yang
kurang memadai.
Meski tak ada bukti bahwa Gerindra
mempunyai mesin yang diminyaki dengan baik
dibandingkan dengan Hanura, jelas bahwa ia
akan menggunakan HKTI untuk memenangkan
suara. Gerindra mencoba menarik anggota
baru dengan menawarkan asuransi jiwa gratis.
Seperti Wiranto, Prabowo juga menarik
beberapa mantan aktivis ke kubu mereka, yang
menonjol adalah Pius Lustrilanang dan
Desmond Mahesa, keduanya diculik pada
tahun 1998 oleh kesatuan yang diketuainya.
Letjen. Sutyoso dan ambisnya yang tak
terbatas
Pensiunan jenderal Sutyoso juga mengira
bahwa ia mampu menjalankan negara ini dan
menganggap latar belakang militernya sebagai
suatu keuntungan. Seperti dua jenderal
lainnya, ia adalah orang Jawa meskipun tak
pernah sampai ke puncak jenjang militer.
Posisi tertingginya adalah Pangdam Jaya,
yang menjadi batu loncatan baginya untuk
menjadi gubernur Jakarta dari tahun 1997
hingga 2007. Menjadi gubernur di ibu kota
paling tidak sama berkuasanya dengan posisi
senior dalam kabinet seperti yang kita lihat
dengan walikota London, Paris, New York dan
Beijing.
Sutiyoso bertugas di banyak daerah konflik.
Sebagai bintara muda pada tahun 1960-an, ia
dikirim ke Kalimantan untuk membasmi
pemberontakan PGRS/Paraku. Kemudian ia
bertugas di Aceh, Timor Timur dan Papua.
Namanya disebut-sebut terkait dengan
pembunuhan lima jurnalis asing di Balibo,
Timor Timur, tahun 1975. Tahun 1993 ia
menjadi perwira territorial dan bertugas di
Bogor dan kemudian menjadi Panglima Kodam
Jaya tahun 1994. Posisinya sebagai gubernur
Jakarta memberinya kesempatan untuk
membangun jaringan luas dengan kalangan
pengusaha. Ia juga duduk dalam berbagai
jabatan bergengsi dalam bidang olah raga:
sebagai ketua asosiasi menembak, ketua
asosiasi bola basket, ketua asosiasi golf dan
yang paling baru, ketua asosiasi badminton.
Strategi pemilihannya sangat berbeda dengan
Wiranto dan Prabowo. Ia mendorong
pembentukan beberapa partai kecil seperti
Partai Republikan, Partai Bela Negara
(PBN), Partai Nasional Banteng
Wakil ketua Gerindra, Muchdi,
sekarang sedang diadili
karena pembunuhan Munir
5
Kemerdekaan (PNBK) dan Partai Pemersatu
Bangsa (PPB). Ia juga berhasil mendapatkan
pengaruh dan dukungan dari beberapa partai
sedang seperti Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat
Nasional (PAN). Dengan dukungan koalisi ini
ia berharap untuk dapat makin dikenal.
Terlebih lagi, fakta bahwa 60% pemilih adalah
orang Jawa memberi Sutyoso, yang juga orang
Jawa, prospek untuk memenangkan banyak
suara. Ia berharap mendapatkan dukungan
dari beberapa jenderal utama yang belum
memasuki arena politik, termasuk Jenderal
(purn) Try Sutrisno, mantan wapres pada masa
Suharto dan mantan kepala intel, Mayjen.
(purn) Hendropryono.
Semua pensiunan jenderal itu memiliki
keuntungan dan agenda yang sama. Mereka
adalah bagian dari elit politik di Jakarta,
mereka mempunyai uang tak terbatas dan
tampaknya mereka nantinya dapat
memperoleh lebih banyak lagi. Semuanya
adalah penasehat SBY dan sebagian dari
motivasi mereka adalah bahwa mereka melihat
SBY sebagai perwira yang gagal.
Kenyataannya, baik Wiranto maupun Sutyoso
adalah senior SBY dan sekarang merasa
terongrong oleh prestasinya. Tetapi ada
kesalahan fundamental dari ketiganya. Mereka
tak punya program politik dan tak mewakili
pemikiran politik atau ideologi apapun yang
koheren. Pesannya hanyalah sekedar retorika
nasionalis dan kampanye yang menampilkan
mereka sebagai penyelamat bangsa. Kecil
sekali kemungkinannya bagi pemilih kelas
menengah perkotaan untuk memberikan suara
untuk mereka dan juga tampaknya tak mungkin
mesin politik mereka dapat menjangkau
pemilih di pedesaan.
Ada juga pertanyaan mengenai maksud
sebagian orang yang disebut sebagai pengikut
ketiga jenderal itu. Selama mereka
mendapatkan banyak uang dan mungkin
bahkan kursi legislatif, mereka akan tetap loyal.
Tetapi pemilu dan pemilihan presiden langsung
adalah dua hal yang berbeda. Sebagian besar
pensiunan jenderal gagal secara menyedihkan
dalam usaha mereka untuk memperolah
jabatan dalam polkada dan ini tentu akan
terjadi lagi dalam pemilu 2009.
Serunya keberadaan para jenderal di
berbagai partai
Boleh dibilang ada pensiunan perwira di semua
partai tetapi ada perbedaan penting: ada yang
bergabung untuk memainkan peran utama,
tetapi ada juga yang ikut serta karena alasan
ideologis atau keagamaan. Di sebagian partai
Islam atau Kristen, pensiunan perwira hanya
mendapatkan peran marjinal. Ini juga terjadi
dalam partai sekuler seperti PDI-P dan Golkar.
Ada perubahan mencolok dalam Golkar, yang
pada masa Suharto merupakan kendaraan
politik utama, tetapi menjelang tahun 1990an
secara bertahap ditinggalkan karena personel
militer mulai sadar bahwa partai itu tak dapat
memenuhi aspirasi politiknya.
Bahkan sebelum masa pasca-Suharto,
pensiunan jenderal sudah mencoba untuk
mendapat tempat di arena politik di luar Golkar
melalui partai yang bernama PKP ( Partai
Keadilan dan Persatuan) dengan ketuanya
Jenderal (purn) Edy Sudradjat. Setelah partai
itu bubar, banyak yang meninggalkannya dan
pindah ke tempat lain.
Di antara 38 partai yang akan ambil bagian
dalam pemilu adalah partai sipil yang
mempunyai perwira dalam badan
kepemimpinan mereka dan partai lain yang
dipimpin oleh perwira militer dan mempunyai
pandangan militer. Di antara yang disebut
belakangan adalah PKPB (Partai Karya
Mereka tak punya program
politik dan tak mewakili
pemikiran politik atau
ideologi apapun yang
koheren
Gerindra mencoba menarik
anggota baru dengan
menawarkan asuransi jiwa
gratis
6
Peduli Bangsa) dengan Jen. (purn) Hartono
sebagai ketua umum. Mayjen. (purn) Hartarto
adalah sekjen sedangkan wakil ketuanya
termasuk tiga pensiunan perwira: Mayjen.
(purn) H.Namoeri Anoem, Brigjen. (purn)
Suhana Bujana and Mrsekal Muda (purn)
Suharto.
Sebagian dari partai yang baru dibentuk juga
menyediakan tempat bagi pensiunan militer.
PRN (Partai Republik Nusantara), yang
menggunakan Nusantara untuk namanya
ketimbang Indonesia, akan berfokus
khususnya pada daerah. Letjen. (purn) Syahrir
MS sebagai anggota presidium PRN,
sementara baik Jen. (purn) Syarnubi maupun
Brigjen (purn) Husein Thaib sama-sama
menjabat sebagai ketua.
Partai baru lainnya adalah PDK (Partai
Demokrasi Kebangsaan) yang merupakan
kendaraan perwira dengan jabatan lebih
rendah; partai ini juga memiliki agenda
nasionalis yang kuat. Kombes Pol (purn) Iyer
Sudaryana sebagai ketua sementara tiga
pensiunan kolonel (semuanya sekarang
memegang jabatan sipil) duduk dalam
kepemimpinannya: Kol. (purn) Bahar
Mallarangan adalah wakil ketua Lembaga
Ombudsman Nasional, Kol. (purn) Tasno HP,
sekarang ini wakil kepala Dinas Pembinaan
Pertanian, Peternakan dan Perikanan dan
Letkol. (purn) Haryanto adalah wakil ketua
Dinas Pembinaan Kehutanan dan Pertanian.
Keduanya ada dalam kepengurusan PDK.
Mereka mewakili kelompok personel militer
yang menempati posisi kekaryaan (sipil) dalam
masa Suharto. Sebagian besar personel militer
dapat memperoleh posisi selama masa Orde
Baru dan sejak pensiun (pada usia 55) menjadi
pejabat tinggi, setelah sebelumnya berubah
karir dari militer ke sipil.
Dalam dua partai utama Golkar dan PDI-P,
pensiunan militer masih memainkan peran,
meskipun tak seberapa. Letjen. (purn)
Sumarsono adalah Sekjen Golkar tetapi jarang
muncul di muka umum. Satu dari politisi senior
PDI-P adalah Mayjen. (purn) Theo Syafei,
mantan panglima di Timor Timur, yang telah
duduk selama dua periode dalam dewan.
Kemungkinan keduanya akan digantikan dalam
waktu dekat.
Partai Presiden SBY, PD ( Partai Demokrat)
juga mencakup beberapa pensiunan perwira.
SBY sendiri adalah ketua dewan penasehat
tetapi jarang terlibat dalam kegiatan seharihari.
Ketua umumnya adalah Kol. (purn) Hadi
Utomo sementara Mayjen. (purn) Nur Aman
dan Komjen. Pol. (purn) Nurfaizi keduanya
merupakan anggota dewan. Yang
mengherankan, pengurus PD adalah orang
sipil yang berpandangan politik.
Dalam partai Islam PBB (Partai Bulan
Bintang), ada beberapa pensiunan perwira.
Termasuk di dalamnya adalah Kombes. Pol.
(purn) Bambang Sutedjo, Letjen. (purn)
Sugiono and Letjen. (purn) Sanif, yang
semuanya menjabat sebagai anggota
pengurus.
Yang lain mungkin akan muncul
kemudian
Beberapa perwira penting yang masih aktif
maupun sudah pensiun belum muncul dalam
kancah politik tetapi tampaknya akan unjuk gigi
bulan-bulan mendatang ini. Diantaranya
adalah: Ryamizard Ryacudu, Muh. Yasin and
Djoko Santoso. Pensinunan jenderal bintang
empat garis keras Ryamizard Ryacudu dikenal
sebagai orang yang mencoba menggagalkan
semua reformasi yang diperkenalkan setelah
tahun 1998. Ia mencoba melakukan sabotase
dalam proses perdamaian di Aceh dan dalam
suatu aksi pembangkangan, ia mengadakan
parade militer di depan istana semasa Gus Dur
menjabat sebagai presiden. Pada hari
berikutnya, Gus Dur diberhentikan oleh MPR
dalam proses yang jelas-jelas dihasut oleh
Ryacudu. Ia dikenal dekat dengan Megawati,
kandidat PDI-P untuk capres. Kalau ini terjadi,
kehadirannya kembali dalam panggung politik
dapat menandakan kemunduran dari sebagian
perubahan politik yang telah ada.
Letjen. (purn) Muhammad Yasin yang sampai
belum lama ini merupakan pengikut setia SBY,
telah muncul sebagai lawan kuat SBY. Ia
menghabiskan seluruh karirnya sebagai
perwira intelijen dan karena itu tak dikenal oleh
masyarakat umum tetapi ia lebih dari itu
semua, ia bertangan dingin. Tanpa diduga, ia
telah dijadikan sebagai capres oleh partai kecil
7
bernama PKP (Partai Karya Perjuangan)
yang merupakan sempalan Golkar. Yasin
dulunya adalah bagian dari lingkaran dalam
SBY dan pekerja di kantor kepresidenan.
Dalam suatu wawancara langka, ia
menekankan empat ‘permata’ bangsa: UUD
1945, Bhineka Tunggal Ika; NKRI dan
Pancasila. Meskipun Yasin tidak merupakan
lawan serius dalam pemilihan presiden, ia
dapat memainkan peran seperti Sutiyoso
dalam membangun koalisi luas anti SBY.
Jenderal bintang empat lainnya Djoko Santoso,
sekarang Kepala Staf Angkatan Darat.
Presiden SBY telah memilih dengan hati-hati
perwira eselon tertinggi dalam angkatan
bersenjata dan mereka sebagian loyal
terhadap SBY. SBY sendiri adalah satu dari
generasi pertama perwira pasca-dwifungsi. Ini
berarti bahwa mereka telah mengadopsi posisi
non-politik, meninggalkan negara dan urusan
politik ke pemerintahan dan legislatif. Santoso
tak lama lagi akan mencapai usia pensiun dan
tak jelas apakah ia akan terus menjadi figur
politik yang netral.
Belakangan ini TNI menjalani tahun-tahun
yang buruk. Ia telah banyak kehilangan
kekuatan politik dan ekonominya selama
dekade terakhir. Sementara itu, angkatan polisi
telah ditingkatkan; ia telah mendapatkan jauh
lebih banyak perhatian publik dan juga telah
merebut porsi yang cukup besar dari kue
ekonomi. Di sejumlah daerah, terdapat konflik
publik antara unit polisi dan TNI, sebagian
besar menyangkut soal pembagian kue. Djoko
Santoso tampaknya dapat mewakili frustrasi
angkatan perwira saat ini yang tak pernah
mengenyam tahun-tahun basah yang dinikmati
Wiranto, Prabowo dan Sutyoso.
Dominasi militer dalam politik Indonesia
Ada suatu masa, pada tahun-tahun awal jaman
Orde Baru di bawah Suharto, ketika militer
memegang sangat banyak posisi. Sebagian
besar posisi dalam kabinet ada di tangan
militer sementara dua pertiga dari gubernur
provinsi adalah jenderal. Perwira dengan
pangkat lebih rendah mengambil alih jabatan
camat dan kepala desa yang melarikan diri
atau terbunuh saat ada gerakan anti komunis
mulai 1965 hingga 1969. Dari tahun ke tahun
ada perbaikan karena sejumlah besar warga
sipil yang kompeten, banyak dari mereka
merupakan akademisi, telah menunjukkan
bahwa mereka lebih handal daripada perwira
dalam menjalankan pemerintahan.
Kriteria terbaik untuk menilai militer-sipil secara
proporsional adalah keadaan dalam Golkar,
partai yang berkuasa (tapi juga merupakan
partai penguasa, Suharto). Pada awalnya,
Golkar dibentuk sebagai kendaraan beberapa
perwira anti komunis, tetapi tahun 1969
Suharto memutuskan untuk menggunakan
Golkar sebagai mesin politiknya. Selama 32
tahun di bawah pemerintahan Suharto, militer
tetap dominan dalam Golkar. Keadaan itu juga
nyata dari jumlah personel militer dalam
pemerintahan. Tetapi secara bertahap Golkar
menjadi kian sipil. Ini tercermin dalam fakta
bahwa ketua Golkar saat jatuhnya Suharto
adalah Akbar Tandjung yang tak pelak lagi
merupakan salah seorang politisi paling handal
di Indonesia dewasa ini.
Ada banyak negara di Asia di mana militer tak
pernah memainkan peran penting dalam politik
seperti India, Cina dan Vietnam. Tetapi ada
banyak juga negara dengan tradisi politik
militer yang kuat, terutama Thailand, Pakistan,
Turki dan Indonesia. Sejarah telah
menunjukkan bahwa tak mudah menghapus
militer dari arena politik. Selama 10 tahun
terakhir, Indonesia telah melakukan langkah
besar dalam reformasi militer dan mengapus
mereka dari arena politik. Tetapi masih
diperlukan waktu untuk mengubah pola pikir
militer guna memastikan bahwa mereka hanya
berfokus pada urusan non-politis.


Masih diperlukan waktu untuk
mengubah pola pikir militer
guna memastikan bahwa
mereka hanya berfokus pada
urusan non-politis