Saturday, February 14, 2009

Perbatasan yang Merana


Kawasan perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga—wilayah di darat dengan tiga negara dan di laut dengan 10 negara—hampir tak terurus.

Itulah kesimpulan Rapat Koordinasi Pengamanan Wilayah Perbatasan NKRI yang diselenggarakan oleh Biro Pusat Nasional (NCB) Interpol di Jakarta, 11-13 Februari ini. Brigjen (Purn) Agus Susarso, Ketua Komisi Teknis Pertahanan Dewan Riset Nasional, yang tahun lalu mengunjungi perbatasan, mengatakan, ”Sepantasnya di Sei Kuning, Pulau Sebatik, dibangun gerbang kokoh dan kibaran Merah Putih. Tapi yang ada hanya gardu kecil dari kayu kusam ditempeli tulisan ’Welcome to Indonesia’”.

Di Kalbar, panjang perbatasan dengan Serawak 1.035 kilometer. Di Kaltim, panjang perbatasan Indonesia–Malaysia 1.895 kilometer. Di sana ditanam 700 patok perbatasan dan 30 pos penjagaan. Artinya, setiap pos harus menjaga perbatasan sepanjang 65 kilometer.

Wilayah negara yang besar itu memberikan kebanggaan dan peluang sekaligus amanah dan tantangan. Patok dan pos jaga di darat masih terlalu sedikit, demikian pula kapal patroli untuk mengawal perbatasan.

Ya, semua tampak kurang. Infrastruktur dan fasilitas komunikasi, seperti diakui Sekretaris NCB Brigjen (Pol) Halba Rubis Nugroho, sangat minim. Sebagai akibatnya, perbatasan kita menjadi porous atau gerowong, yang konsekuensinya lalu mudah diterobos.

Di darat, penyusup ilegal dengan bermacam-macam niat mudah masuk ke wilayah RI. Di laut, kelangkaan kapal patroli membuat sumber daya alam, dalam hal ini perikanan dan siapa tahu kekayaan bawah laut lainnya, jadi rayahan penjarah asing.

Agus Susarso menanyakan, di mana sebenarnya posisi perbatasan RI di antara berbagai prioritas bangsa? Mungkin kita masih fokus pada prioritas lain, mengapa rupiah yang terbatas harus dialokasikan untuk wilayah pinggiran yang jauh? Tapi apakah sudah kita pikirkan berapa peluang ekonomi yang hilang puluhan tahun? Lebih mendasar lagi, pernahkah kita pikirkan risiko keamanan atau kedaulatan negara?

Ketika tantangan makin serius, mencakup mulai dari terorisme, perdagangan manusia, narkoba, penyelundupan bahan bakar minyak, bahan pokok, senjata api, pembalakan liar, hingga perompakan, sudah waktunya kita teguhkan komitmen untuk mengurus perbatasan.

Berbagai pemangku kepentingan, mulai dari TNI, Polri, Depdagri, Deplu, hingga Departemen Kelautan dan Perikanan, selama ini mungkin sudah memberikan perhatian. Namun, perhatian tersebut tampaknya perlu lebih dikoordinasikan, dan selanjutnya dikonkretkan. TNI, dengan anggaran 0,7 produk domestik bruto, jelas tidak bisa sendirian.

Kita tegaskan, perbatasan bukan wilayah belakang yang dibiarkan kumuh tak terurus. Perbatasan adalah halaman depan simbol kehormatan kita.

Tajuk Rencana KOMPAS, 13 Februari 2009

1 comment:

KULYUBI ISMANGUN said...

NASIONALISME ALA KURAWA
"Indonesia, tanah airku, tumpah darahku"
(Potongan teks lagu Indonesia Raya)

"Right or wrong is my country !"
(Jenderal Achmad Yani)

"Sadhumuk bathuk senyari bumi bakal tak tohi pati"
(Maharesi Bisma)

Maju terus pantang mundur, rawe-rawe rantas malang-malang putung!
(Mahapatih Gadjah Mada)


Para pendahulu kita sejak lama telah mewariskan betapa pentingnya masalah tapal batas tanah air. Sehingga perseteruan yang bersumber masalah tanah dan air seringkali menyebabkan tumpah darah.

Ironisnya di negeri yang meributkan soal perbatasan negara ini, ternyata didalamnya masih terdapat ribuan orang yang kehilangan hak atas tanah seperti korban lumpur Lapindo. Masih ada juga yang tanah saja tidak punya sehingga terpaksa hidup menjadi gelandangan, pemulung, pengemis dan tragisnya mereka sering dipandang "bukan manusia", lebih sering dipandang sebagai sekedar sampah masyarakat saja.

Ada pula orang yang punya tanah sampai ribuan hektar, punya rumah puluhan, punya tabungan triliunan rupiah tapi itu tidak pernah menjadi masalah negara di tengah ketimpangan sosial yang mengenaskan ini.

Kiranya hanyalah sebuah revolusi, sebuah perubahan radikal yang bahkan harus dibayar dengan darah dan ratusan ribu bahkan jutaan nyawa melayang yang dapat menyadarkan siapa saja yang mendapat keuntungan dari sistem kehidupan yang invalid, timpang dan penuh kesenjangan ini.

Hidup Revolusi !

Merdeka atau Mati !