Saturday, February 14, 2009

Indonesia dan Politik Waktu


Dalam teori relativitas, waktu berbeda bagi setiap manusia. Dan dalam politik sebagai seni mengelola kehidupan banyak warga, waktu yang berbeda bagi setiap manusia itu harus dihadapkan, didialogkan, hingga dipertarungkan untuk menghasilkan titik temu.

Hari ini, tiap-tiap kelompok politik di negeri ini sedang mempertarungkan konsepsi waktunya. Di manakah kita pada masa lalu? Di manakah posisi kita pada hari ini? Ke mana kita harus melangkah? Tiap-tiap kelompok mengajukan klaim kepada rakyat adalah zamannya yang membawa Indonesia bergerak maju seperti jarum jam. Mari kita simak pertarungan itu.

Dalam pikiran pihak penguasa, kita sedang berada tahun 5 D (atau 5 PD). Bagi mereka, lima tahun ini bermakna kemajuan Indonesia yang perlahan namun pasti. Dan mereka terus menyampaikan pesan ini dengan bukti dan klaim aneka terobosan perekonomian dalam sejarah, hingga belakangan ramai menyampaikan kebijakan menurunkan BBM tiga kali.

Kemudian, sebuah partai yang jamnya berhenti maju sejak 2004—sebutlah, tahun 1 D—mengklaim sejak saat itu jarum jam Indonesia terus bergerak mundur. Sembako semakin mahal dan rakyat kian terjerat hidupnya. Mereka berjanji, bila rakyat merestui mereka memerintah, tahun 2009 jam Indonesia akan kembali bergerak maju, meneruskan zaman mereka yang pernah dimulai tahun 2001 dan sempat terhenti pada tahun ketiga.

Ada pula petarung yang implisit mengklaim tahun pertama Indonesia dimulai pada 1966. Samar-samar, mereka menuturkan, Indonesia bergerak maju, stabil, besar menjadi macan Asia sejak saat itu. Lantas, gerakan itu terhenti tahun 1998 dengan ditinggalkannya modus perekonomian yang melindungi rakyat seraya luruhnya orde besar yang menjaga mereka. Bagi mereka, kini Indonesia telah masuk tahun 11 zaman kekacauan dan membutuhkan pemimpin besar serupa yang lalu.

Penguasa lalu mengajak rakyat untuk realistis. Bagi mereka, jam perubahan Indonesia harus bergerak dengan perlahan dan konstan sebagaimana konsepsi waktu mereka. Jangan terbuai mimpi revolusi, perubahan instan yang ditawarkan para kompetitor yang tidak realistis itu, ujarnya. Indonesia sedang bergerak perlahan namun pasti menuju arah yang lebih baik, menurut mereka.

Para kompetitor membalas, benarkah Indonesia sedang melangkah ke arah lebih baik atau hanya delusi? Pertarungan memperebutkan waktu terus berlanjut.

Didefinisikan
Namun, bagi kita yang di luar pertarungan itu, aneka konsepsi waktu yang diajukan sama sekali absurd. Dengan sengaja mereka mengaburkan batasan antara kinerja mereka sendiri dan gerakan zaman yang merupakan akibat pergerakan ekonomi dan politik dunia.

Seperti saat pergerakan zaman menurunnya harga minyak dunia seakan pemerintah berjuang menurunkan BBM untuk mengangkat kehidupan rakyat. Dan seperti saat harga pangan dunia melesat naik karena ledakan kebutuhan dunia, petarung yang merupakan penguasa sebelumnya hanya mengingat-ingat harga pangan pada zamannya, bukan kebijakan pertanian yang pernah diletakkannya.

Namun, kita yang terus menggali kedangkalan klaim kelompok-kelompok politik itu akan segera menjumpai bahwa akar semuanya adalah sebuah kenyataan yang ironis: setiap zaman politik yang selama ini kita alami didefinisikan oleh kekuatan besar dari luar ”sana”.

Kehilangan waktu
Empat puluh dua tahun lalu, Richard Nixon sebagai Presiden AS dengan jelas mendefinisikan Indonesia: dengan 100 juta penduduk beserta jajaran pulau sepanjang 300 mil yang mengandung sumber daya alam paling kaya di kawasannya, Indonesia merupakan hadiah terbaik di Asia Tenggara. Indonesia adalah sebuah hadiah bagi kekuatan-kekuatan besar itu.

Stabilitas di masa lalu, perekonomian yang bertumbuh dahulu dan kini serta peristiwa-peristiwa lainnya yang membawa insentif dalam sejarah merupakan sedikit yang diberikan dunia dari keuntungan besar yang didapatkannya dengan memanfaatkan Indonesia. Lalu, konsepsi waktu yang ditawarkan tiap-tiap kelompok politik kepada rakyat hanyalah sepotong potret beku ke mana dunia membawa Indonesia pada masa mereka.

Itulah persoalannya. Di antara begitu banyak kehilangan yang dialami Indonesia sebagai negara, sebuah kehilangan yang amat menakutkan adalah kehilangan waktunya sendiri. Tak punya orientasi waktu, ia pun tak tahu sedang menjejak di mana dan mesti melangkah ke mana.

Sejarah dipotong-potong, lalu direkonstruksi sebagai makhluk tak berbentuk yang mendukung kepentingan pendek kekuasaan. Begitulah setiap periode kekuasaan menjadikan sejarah sebagai musuhnya untuk mengangkat rezimnya sebagai masa kini yang membimbing Indonesia ke masa depan yang cerah. Dan pendidikan diperlakukan sebagai mesin pencetak, mereduksi siswa yang akan menulis masa depan sebagai sumber daya, obyek—dan bukan manusia.

Atau mungkinkah terlalu berlebihan untuk berharap agar negara ini tak menjadi daun yang hanyut di sungai atau batu yang tenggelam? Agar cukup menjadi manusia yang mampu berenang dan menentukan arahnya?

Geger Riyanto, Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia
KOMPAS, 13 Februari 2009

3 comments:

KULYUBI ISMANGUN said...

MENUJU KEBANGKITAN MUSLIM KOMUNIS

"Hampir tidak terdengar olehku ulama atau yang mengaku cendekiawan Islam, yang menyadarkan kaum mustadh'afin untuk mengorganisasikan diri guna melemparkan belenggu penindasan dan pengisapan yang dilekatkan kaum mustakbarin," tegas Hasan.
"Ya, di sinilah," kata H Datuk Batuah, "kita sebagai orang Islam yang berada dalam PKI mengibarkan tinggi-tinggi bendera pembebasan kaum tertindas dari Islam yang ditinggalkan oleh ulama-ulama dan cendekiawan Islam. Dengan PKI kita amalkan ajaran Islam tentang pembebasan umat."

"Aku tak memilih masuk partai Islam, seperti Masyumi karena partai tersebut sebagai organisasi didirikan di zaman Jepang dan menjadi partai politik sesudah Maklumat November 1945 dari Wapres Mohammad Hatta. Banyak sedikitnya tentu ada bau Jepangnya,"

(Cuplikan dari Autobiobrafi Haji Hasan Raid)

KULYUBI ISMANGUN said...

DALAM kariernya, Hasan pernah diangat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yakni di tahun 1946, ketika menggantikan anggota KNIP dari PKI yang meninggal, Winanta. Hasan pernah menjadi Sekretaris Umum Pengurus Besar Serikat Buruh Perkebunan (PB SBP); juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Kota Sumatera (DPKS). Dalam sebuah pemilihan umum daerah untuk memilih anggota DPRD tahun 1957, Hasan terpilih sebagai anggota DPRD (tahun 1959 DPRD-GR) Jakarta Raya.
Tahun 1962, Hasan dikirim ke Moskow untuk belajar di Institut Ilmu Sosial Moskow selama tujuh bulan. Pulang dari Soviet, ia mengajar di Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA) tentang Soal-soal Pokok Revolusi Indonesia. Hasan juga memberikan kuliah politik pada Akademi Politik Buchtarudin dan di Universitas Rakyat (Unra).
Oleh karena lebih terpanggil pada dunia pendidikan, Hasan mundur dari keanggotaan DPRD-GR Jakarta Raya. Mulai tanggal 29 September 1965, oleh AISA ia ditugaskan untuk menjadi anggota Tim Penguji Pendidikan Politik Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi) mengenai mata pelajaran Manifesto Politik yang berlangsung di Senayan.
Di tengah kesibukan menjalankan tugas di Kotrar itulah meletus G30S. Hari-hari setelah peristiwa itu menjadi tragis bagi kehidupan Hasan, karena sejak itulah kebebasannya hilang. Ia (beserta istri dan anaknya) dipenjara tanpa pernah diadili sehingga tidak tahu apa kesalahannya.
Selama 13 tahun ia berpindah dari penjara ke penjara, dari Jakarta hingga Nusa Kambangan. Hasan sendiri tegas menilai, G30S bukanlah pemberontakan PKI.
Kalau G30S pemberontakan PKI, itu berarti pemberontakan kepada pemerintahan Presiden Soekarno. Satu hal yang tidak masuk akal. Karena Soekarno menjamin hak hadirnya PKI dan berpegangan kepada prinsip persatuan berbasiskan Nasakom.
Menurut Hasan, peristiwa G30S merupakan jalan pembuka bagi Soeharto untuk mengangkat dirinya sendiri menjadi pimpinan TNI AD tanpa sepengetahuan-apalagi sepersetujuan-Presiden/Pangti ABRI Soekarno, sebagai langkah pertama untuk menjadi orang pertama di Republik Indonesia.
Ketika kembali ke pangkuan keluarga, Hasan sudah berusia 55 tahun. Usia yang udzur untuk memulai babak kehidupan baru. Yang ia lakukan kemudian adalah membantu istrinya setiap malam membuat kue ale-ale untuk dijual di pasar.
Begitulah kisah Hasan, seorang Muslim yang kebetulan berada di jalur kiri, dan menjadi korban politik. Kisah Hasan kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia. Tetapi, kiranya cukup sekali saja, dan tak perlu kekejaman seperti ini terulang lagi.
Dari cerita dalam buku ini tersirat jelas bahwa dalam hal politik, mujur atau malang itu barang biasa. Politik itu perjuangan untuk banyak orang, bukan untuk diri sendiri saja. Maka kalau perjuangannya berhasil, haruslah masyarakat ikut merasakan hasilnya; dan kalau terpaksa gagal dan menderita, tak usah disesali, sebab itu semua "demi kepentingan orang banyak".

KULYUBI ISMANGUN said...

DARI PRAMOEDYA UNTUK ANAK MUDA

Bagaimana kita harus mengatakan? Itu sebabnya pada angkatan muda Saya serukan supaya siap-siap memasuki millenium ketiga dan mengubah kehidupan dan hubungan luar-negeri lebih manusiawi, buka seperti sekarang. Itu tugas angkatan muda sekarang, jangan pura-pura goblok.
Karena demokrasi di Indonesia kalau bisa meraih kedaulatan manusia, kedaulatan pribadi. Karena kita ini masih hidup dalam budaya panutan. Budaya panutan itu biar satu orang yang berfikir yang lain ikut saja. Jadi belum dimulai budaya individual, masih budaya kelompok. Soekarno pernah mengatakan "setiap kemajuan diraih bukan oleh kelompok tetapi oleh individu" itu Soekarno mengatakan.
Dan sebagai contoh budaya panutan ini, kita mengenal Suwardi Soerjaningrat menguba namanya Ki Hadjar Dewantara, bukan maksudnya merendahkan beliau, tetapi memproklamasikan diri pendeta perantara para dewa. Ini adalah budaya panutan. Jadi dia memproklamasikan diri untuk dianut oleh orang lain. Tetapi jeleknya budaya panutan kalau dalam keadaan kritis sang panutan hanya menjawab yang mengikuti yang menanggung. Itu jeleknya.
Jadi ini supaya ditumbuhkan budaya individu, bukan budaya panutan, saya kira cukup jelas toh.
Dan sekarang dalam kehidupan kita ini pertentangan Timur-Barat sudah tidak ada yang ada sekarang adalah Utara-Selatan. Ini saya minta menjadi pikiran, dan dicarikan jalan keluar, supaya hubungan Utara-Selatan lebih manusiawi, bukan seperti sekarang ini
Saya kira cukup sekian dulu.
Terimakasih Banyak

(Proamoedya Ananta Toer, cuplikan pidato di Aula Perpustakaan Nasional, 14 Juli 1999)