Thursday, February 5, 2009

Dengan Program Apapun, Pendapatan Petani Tetap Rendah


TERLEBIH dahulu dikemukakan pembatasan-pembatasan masalah yang berkaitan dengan judul di atas. Yang dimaksud dengan “Program Apapun” adalah program pembangunan pertanian yang selama ini telah dilaksanakan pemerintah.

Adapun program-program tersebut, yaitu:
1. Program intensifikasi pertanian tanaman pangan, khususnya tanaman padi yang menghasilkan beras.
2. Program penetapan harga dasar (floor price) dan harga tertinggi (cilling price) komoditas gabah yang sekarang disebut dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
3. Kredit Usaha Tani (KUT).

Program Intensifikasi
Terlebih dahulu kita cermati masalah yang sangat memprihatinkan, yaitu lahan pertanian (lahan sawah) yang dimiliki atau digarap tiap petani kita itu sudah sangat sempit. Jika Prof Sayogya pada tahun 1980 menetapkan bahwa petani yang lahan garapannya maksimum 2.500 m2 atau seperempat hektar, itu tergolong sebagai “Petani Gurem”, maka sekarang ini sudah lebih kecil dari angka itu. Sebagai contoh hasil penelitian di daerah Yogyakarta pada tahun 1996 menunjukkan bahwa rata-rata luas pemilikan atau garapan lahan sawah hanya sekitar 800 m2 .

Sangat sempitnya lahan sawah garapan tiap petani itu sebagai akibat dari terus berlangsungnya proses fragmentasi lahan, yaitu dipecah-pecahnya lahan untuk diberikan kepada anak-anaknya petani secara “malwaris”.

Kita perlu memberikan apresiasi kepada pemerintah Orde Baru, sebab pelaksanaan pembangunan pertanian padi benar-benar direncanakan secara baik dan dilaksanakan secara bertahap melalui Repelita dan dioperasionalkan dalam Pembangunan Lima Tahunan (Repelita). Program intensifikasi dimulai dari sistem Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM), Intensifikasi Massal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus), dan yang terakhir Supra Insus.

Program tersebut berhasil meningkatkan hasil produksi beras nasional dan dinyatakan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Namun jika dilihat dari tingkat pendapatan petani maka pendapatan petani tetap rendah meskipun ada peningkatan hasil produksi beras per hektarnya. Hal ini disebabkan pelaksanaan sistem intensifikasi itu pengeluaran biayanya jauh lebih tinggi. Terlebih-lebih waktu terjadinya “Kasus Sitozym” pada program Supra Insus.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan program intensifikasi dapat meningkatkan hasil beras nasional, tetapi tingkat pendapatan petani tetap rendah.

Program HPP
Pada masa pemerintahan Orde Baru berlaku sistem “Pengadaan Pangan”, yaitu pemerintah (dalam hal ini Bulog) mengadakan pembelian gabah hasil produksi petani pada masa panen raya dengan harga dasar (floor price) yang berlaku dengan tujuan agar petani tidak menderita terkena rendahnya harga jual gabahnya pada masa panen raya. Sedang pada masa paceklik atau kemarau panjang, Bulog melakukan “Operasi Pasar” yaitu dilakukan pendistribusian beras ke pasar-pasar dengan tujuan agar harga beras di pasar pada musim paceklik yang meningkat tinggi itu dapat turun lagi untuk melindungi konsumen.

Pada masa pemerintahan Presiden SBY sekarang ini berlaku istilah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yaitu harga pembelian pemerintah terhadap hasil produksi gabah petani. Seperti diketahui, mulai 1 Januari 2009 pemerintah menaikkan HPP gabah di tingkat petani, yaitu harga Gabah Kering Panen (GKP) dinaikkan sebesar 9,1 persen dan harga Gabah Kering Giling (GKG) naik sebesar 7,2 persen. Dengan demikian harga GKP yang semula Rp 2.240, naik menjadi Rp 2.400 per kg, sedang harga GKG naik dari Rp 2.400 menjadi Rp 3.000 per kg (Kedaulatan Rakyat, 2 Januari 2009).

Sejak masa pemerintahan Orde Baru sampai pemerintahan sekarang ini, pemerintah setiap tahunnya menetapkan kenaikan harga pembelian gabah petani. Penetapan kenaikan harga pembelian gabah itu tidak mampu meningkatkan pendapatan petani. Yang meningkat pendapatannya justru para tengkulak.

Program KUT
Pemerintah menyalurkan pinjaman Kredit Usaha Tani (KUT) kepada para petani dengan tujuan agar pengelolaan tanaman padinya dapat dilakukan secara intensif sehingga hasil produksinya dapat meningkat dan meningkatkan pendapatan petani.

KUT yang diberikan berupa pupuk anorganik (TSP atau SP 36, Urea, dan KCl) yang jumlahnya didasarkan pada luas lahan sawah petani dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Petani harus mengembalikan pinjaman KUT-nya kepada pemerintah setelah panen dengan dikenai bunga bank yang rendah.

Dalam pelaksanaannya, ternyata terjadi tunggakan KUT secara nasional sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang ini yang jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah yang sangat sulit ditagih.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya tunggakan KUT itu disebabkan: (1) Petani tidak mampu mengembalikan pinjaman KUT-nya karena hasil produksi gabah dari lahan sawahnya yang sempit itu hanya sedikit sehingga habis untuk dikonsumsi sendiri, (2) Kenakalan petani, (3) Petani sudah membayar tetapi uangnya diselewengkan oleh oknum aparat yang menagih.

Penutup
Dengan berbagai program pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan ternyata tidak mampu meningkatkan pendapatan petani. Hal ini terutama disebabkan lahan pertanian yang dimiliki atau digarap petani itu sangat sempit sehingga hasil produksinya sangat rendah. Akibatnya, petani kita sekarang ini di samping sebagai produsen beras (karena menanam padi), tetapi juga sebagai konsumen beras karena harus membeli beras di pasar untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarganya. Dengan demikian kehidupan keluarga petani itu sudah tidak dapat lagi menggantungkan diri dari hasil usahataninya yang sangat kecil itu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar biaya hidup (93,2 persen) diperoleh dari hasil bekerja di luar usahataninya, sedang hasil dari usahataninya hanya menyumbang biaya hidup sebesar 6,8 persen.

Idealnya perlu dibangun banyak industri di perdesaan sehingga dapat membuka kesempatan kerja bagi masyarakat pedesaan atau keluarga petani. Namun dalam kondisi krisis ekonomi sekarang ini tentu saja sulit mendapatkan investor.

Suatu program yang mudah dan cepat dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan dan sekaligus mengurangi jumlah pengangguran di perdesaan yaitu program padat karya pada pembangunan infrastruktur di perdesaan.

Ir Hatta Sunanto MS, Lektor Kepala STIE Pariwisata API Yogyakarta.
Kedaulatan Rakyat, 03/02/2009

1 comment:

KULYUBI ISMANGUN said...

PROGRAM KESEJAHTERAAN UNTUK PETANI :

1. Land-Reform : "Setiap warga negara memiliki hak atas tanah dan Negara menjamin serta melindungi hak-hak warga negara atas tanah.

2. Membangun Angkatan ke-5 : "Kaum buruh tani dipersenjatai. Membangun angkatan perang ke-5 sebagai perwujudan murni tentara rakyat sehingga kaum buruh dan tani memiliki posisi tawar yang konkret terhadap kaum pemodal/kapitalis. Negara melalui organ militernya wajib ikut serta, menjamin, melatih dan membina angkatan ke-5 sebagai sebuah angkatan perang yang maju, mumpuni dan siap menjadikan buruh dan tani sebagai bagian dari tulang punggung ekonomi nasional.
3. Negara mencabut peraturan pperundang-undangan yang melarang hidupnya Partai Komunis Indonesia beserta ideologi dan ormas-ormasnya kemudian Negara mendukung dan menjamin hidupnya Partai Komunis Indonesia sebagai partai garis depan yang mendidik, membela dan memperjuangkan kepentingan kaum buruh tani Indonesia hingga titik darah penghabisan.
4. Menumpas sampai ke akar-akarnya bagi siapapun yang menentang program nasional ini.

Demikian program yang harus dilakukan untuk membantu kaum petani dan juga kaum buruh untuk mencapai kesejahteraannya.