Artikel ini menganalisis tiga peristiwa utama: pertemuan antara Prabowo dan Megawati, kunjungan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih ke rumah Jokowi, dan intimidasi terhadap penulis esai yang mengkritik Prabowo.
Melalui lensa teori politik dan referensi akademik terkini, kita dapat memproyeksikan kemungkinan arah politik Indonesia ke depan.
Peristiwa menarik yang berhasil dipotret dan direkam para jurnalis kita dalam pekan kemarin menjadi data dan informasi yang penting untuk dikaji, bahkan dalam kajian ilmiah akademik.
Tentu saja tujuannya adalah memahami dan memprediksi bagaimana perpolitikan negara ini ke depan. Satu dari tiga sorotan media di pekan lalu adalah pertemuan antara Prabowo dan Megawati.
Pertemuan Prabowo dan Megawati pada 7 April 2025 di kediaman Megawati di Teuku Umar, Jakarta, memiliki makna simbolis yang dalam. Dalam teori politik, pertemuan semacam itu dapat dilihat sebagai upaya elite settlement, yaitu kesepakatan antara elite politik, untuk mencapai stabilitas politik (Burton & Higley, 1987).
Pertemuan empat mata selama 1,5 jam tersebut tidak hanya membahas hubungan pribadi, tetapi juga strategi politik ke depan.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menegaskan, meski berada di luar pemerintahan, PDIP mendukung jalannya pemerintahan Prabowo. Hal itu menunjukkan adanya hubungan kooperatif antara kedua partai besar tersebut.
Media kita juga menyoroti fenomena menarik, yaitu beberapa menteri Presiden Prabowo sowan ke kediaman Joko Widodo di Solo, bersamaan dengan kepergian Presiden Prabowo menjalankan tugas negara ke luar negeri.
Artinya, sowan beberapa menteri itu pada saat Prabowo tidak di tanah air. Maka, pasti menjadi menarik untuk dicermati.
Fenomena sejumlah menteri Kabinet Merah Putih yang mengunjungi Jokowi di Solo selama kunjungan kenegaraan Prabowo pada 9 hingga 15 April 2025 menimbulkan pertanyaan mengenai loyalitas politik. Para menteri menyebut Jokowi sebagai “bos” mereka, menunjukkan adanya hubungan yang lebih dari sekadar hubungan kerja.
Dalam konteks teori shadow power, yang mana individu atau kelompok memiliki pengaruh meskipun tidak memegang jabatan resmi, kunjungan itu mencerminkan bahwa Jokowi tetap memiliki pengaruh signifikan dalam politik Indonesia (Higley & Burton, 2006). Hal itu dapat mempengaruhi arah kebijakan pemerintah dan dinamika koalisi politik.
Sorotan media yang ketiga adalah adanya insiden intimidasi terhadap Hara Nirankara, penulis esai yang mengkritik Prabowo. Itu menimbulkan kekhawatiran mengenai kebebasan berpendapat di Indonesia. Dalam konteks demokrasi, represi terhadap kritik dapat menjadi indikator awal menuju otoritarianisme (Levitsky & Ziblatt, 2018).
Meski identitas pelaku belum terkonfirmasi, tindakan itu menciptakan suasana ketakutan dan dapat menghambat partisipasi publik dalam diskursus politik. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi citra pemerintah di mata masyarakat dan komunitas internasional.
Berdasar analisis di atas, terdapat beberapa prediksi mengenai arah politik Indonesia. Tentu prediksi ini bisa menjadi bahan diskusi panjang berikutnya, terutama jika kita berada pada posisi yang berbeda. Namun, artikel ini ditulis dalam posisi netral. Hanya, analisis dilakukan secara kritis. Berikut catatan kecilnya.
Pertama, transisi kekuasaan yang tidak sempurna. Loyalitas ganda para menteri dan hubungan kooperatif antara PDIP dan Gerindra menunjukkan bahwa transisi kekuasaan mungkin tidak sepenuhnya mulus. Hal itu dapat menyebabkan ketidakstabilan politik jika tidak ditangani dengan bijaksana.
Kedua, dominasi elite dan potensi populisme. Keterlibatan aktif elite politik seperti Jokowi dalam urusan pemerintahan dapat memperkuat dominasi elite dan membuka peluang bagi munculnya politik populis. Hal itu dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dan hubungan dengan masyarakat.
Ketiga, ancaman terhadap kebebasan sipil. Insiden intimidasi terhadap penulis esai kritis menunjukkan bahwa kebebasan sipil mungkin terancam. Jika tidak ada langkah konkret untuk melindungi kebebasan berpendapat, Indonesia berpotensi mengalami kemunduran demokratis.
Perkembangan politik saat ini menuntut kewaspadaan dari semua elemen masyarakat. Penting untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan kebebasan sipil. Peran aktif masyarakat sipil, media independen, dan akademisi sangat diperlukan untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya.
Hanya dengan demikian, Indonesia dapat menghindari jebakan otoritarianisme dan memastikan bahwa pemerintahan yang terbentuk benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.
Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur,
Akademisi Unitomo
Harian Disway, 17 April 2025
No comments:
Post a Comment