Saturday, March 26, 2016

Penjajahan Dunia Kolonialisme Maritim


Memang tidak bisa disangkal segala tindakan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS), mencerminkan kebangkitan kolonialisme abad ke-21 ––apa yang disebut di kolom ini sebagai “kolonialisme maritim”. Indikasi kolonialisasi oleh Tiongkok di LTS sudah lama terjadi mulai dari klaim sembilan (atau 10, belum jelas) garis putus-putus, pembuatan “pulau palsu”, rencana membangun “offshore banking” di Pulau Woody di Kepulauan Paracel, maupun keputusan terkait dengan kedaulatan maritim unilateral oleh Tiongkok.

Indikasi terakhir muncul di sidang Kongres Rakyat Nasional Tiongkok (semacam parlemen), ketika Ketua Mahkamah Agung RRT Zhou Qiang mengusulkan rancangan legislasi yang disebut sebagai Guoji Haishi Sifa Zhongxin (Pusat Peradilan Maritim Internasional). Usulan di sidang penting terkait masalah yudisial Tiongkok, menjadi indikator kuat bahwa selama ini Tiongkok menerapkan “kolonialisme maritim” di kawasan klaim tumpang tindih kedaulatan di LTS.

Sifat kolonialisme sebenarnya sudah ada dalam sejarah panjang Tiongkok, setidaknya muncul pada saat dinasti Ming (1368-1644) yang kebanyakan oleh para sejarawan ahli Tiongkok menyebutnya sebagai “proto maritime colonialism” (kolonialisme maritim kuno) dikaitkan dengan pelayaran Laksamana Zheng He (yang tidak pernah mendarat di Kepulauan Nusantara seperti diduga banyak pihak).


Kolonialisme maritim di kawasan LTS merupakan upaya rekayasa ulang secara menyeluruh atas konsep dasar kolonialisme yang diterapkan banyak kerajaan Eropa abad ke-16 menggunakan laut sebagai medium ekspansi dalam rangka mencari tanah-tanah jajahan baru. Kalau kita mengganti kata-kata Portugis dalam konteks kolonialisme, atau kata Belanda dengan kedok VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) sebagai perusahaan dagang, maka deskripsi kolonialisasi yang dilakukan dinasti Ming atau RRT dalam konteks pemerintahan modern menjadi relevan.

Bedanya, kalau kerajaan Eropa melaksanakan kolonialisasi melalui pencarian wilayah-wilayah baru bagi kepentingan perdagangan dan lingkup pengaruh, sedangkan Tiongkok memulainya dengan membangun “pulau palsu” atas beting dan karang kosong serta melakukan klaim sepihak di kawasan LTS yang memang tidak berpenduduk sehingga mampu menopang kehidupan.

Dalam konteks ini, kita perlu memahami “kolonialisme maritim” Tiongkok dalam beberapa faktor. Pertama, strategi jangka pendek Beijing melaksanakan apa yang disebut sebagai kedaulatan Tiongkok yang menjadikan pulau-pulau dan karang kosong sebagai legitimasinya. Dalam strategi ini, Tiongkok perlu melakukan minimalisasi eksposur ancaman eksternal yang bisa menimbulkan terjadinya konflik regional dan mulai melaksanakan mekanisme terkait isu-isu maritim seperti organisasi kelautan atau memperbaiki kebijakan dan hukum maritim di kawasan LTS.


Kedua, faktor strategi jangka menengah ketika Tiongkok secara bertahap “memulihkan” kedaulatan atas pulau dan karang yang dianggap berada dalam kendali ilegal negara-negara lain. Untuk mencapai tujuan ini, Tiongkok berusaha keras membangun sebisa mungkin sumber-sumber maritim (seperti klaim atas wilayah penangkapan ikan) dalam upaya “unjuk kuasa” sebagai negara besar di kawasan regional.

Dan ketiga, strategi jangka panjang seperti yang selama ini diantisipasi, Tiongkok akan menguasai kawasan laut seluas 3 kilometer persegi di kawasan LTS di bawah yurisdiksi RRT tanpa campur tangan kekuatan negara luar. Faktor strategi ini kita anggap sebagai upaya pembentukan Pan-Sinica sebagai kolonialisme abad ke-21 yang ditopang Tiongkok melalui status ekonomi yang kuat, hubungan perdagangannya yang ekstensif, serta pembangunan kekuatan angkatan laut secara masif.

Walaupun Indonesia tidak memiliki kepentingan kedaulatan di kawasan LTS, kita sangat khawatir dengan perilaku kolonialisme Tiongkok yang secara proksi memiliki kekuatan meluluhlantakkan asas ideal kita tentang “penjajahan atas dunia”. Dalam lingkup lebih luas, perlu upaya bersama ASEAN untuk memastikan bahwa Pan-Sinica tidak akan terbangun di kawasan regional yang memiliki sejarah kelam penjajahan ini.

Rene L Pattiradjawane,
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 16 Maret 2016

No comments: