Thursday, January 26, 2012

Membaca atau Mati



Judul di atas disulih-alih dari ungkapan yang terdengar pada zaman perjuangan kemerdekaan RI. Merdeka atau mati! Lebih baik mati (eksistensial) daripada hidup terjajah (mati substansial). Begitu kira-kira makna pekik perjuangan itu. Dalam deskripsi yang berbeda: keterkungkungan pikiran, daya, gerak, dan jiwa pada akhirnya akan membawa kematian wadak. Mati dalam arti paling mendasar.

Kini tentu saja penjajahan dalam arti kolonialisme purba sudah tidak ada lagi di Indonesia. Tapi penjajahan dalam arti substansial naga-naganya masih berlangsung. Ironisnya, penjajahan itu diproduksi oleh si terjajah itu sendiri. Sadar atau tidak. Bentuk penjajahan diri (self colonization) itu berupa keengganan membaca, terutama buku.

Padahal keengganan membaca akan menyebabkan kematian. Tentu bukan kematian formal-fisik. Tapi kematian ideal-substansial. Berwujud kejumudan pikiran, sempitnya gerak-peran sosial, dan keterasingan jiwa serta rendahnya kesadaran diri untuk selalu merasa terpanggil mengurusi masalah kehidupan.


Manusia jenis demikian, meminjam ungkapan almarhum Muhammad Zuhri (2007), meskipun masih dapat melangsungkan hidup secara fisik, sebagai manusia sebenarnya mereka telah mati. Sebab, ruang yang dijelajahinya tinggal ruang bersifat fisik. Adapun ruang gerak dan bertumbuhnya umat manusia sebagai tanggung jawab peran sosialnya telah mati.

Apa pasal keengganan membaca bisa menyebabkan kematian ideal-substansial?
Manusia tercipta dilingkupi keterbatasan. Baik ilmu, informasi, ruang, maupun waktu. Untuk menutup kekurangan itu, ia harus belajar. Dan salah satu sarana pembelajaran adalah buku. Di Indonesia, aktivitas membaca buku identik dengan aktivitas di sekolah dan saat kuliah. Padahal, kalau dihubungkan dengan pengertian dasar belajar yang dirumuskan UNESCO (1945), haruslah seutuh usia (lifelong learning).

Jadi kewajiban membaca buku itu tidak hanya pada usia sekolah dan kuliah (7-27 tahun), tapi justru tahun-tahun sesudah itulah yang sangat menentukan. Saat tidak lagi sekolah dan kuliah. Saat tidak lagi berada di lembaga pendidikan formal. Saat tidak lagi ada kewajiban membaca buku. Sebab, jika setelah usia belajar formal selesai, berhenti pula aktivitas membaca buku, lantas dari mana bahan ajar bisa didapat? Jika situasi itu menjadi kecenderungan mayoritas, dapat disimpulkan pula kematian ideal-substansial sebagian besar penduduk Indonesia dimulai saat usia 28 tahun!


Saya kira inilah salah satu pekerjaan rumah berat para pegiat komunitas literasi dan Taman Bacaan Masyarakat, yakni menyadarkan orang-orang yang sudah tidak lagi berada di usia belajar formal agar terus membaca. Apalagi dalam kenyataannya, pada masa seharusnya membaca saja, sementara kita jarang atau bahkan tidak membaca, apalagi jika sudah masuk fase "dibebaskan" dari kewajiban membaca.

Selain membaca sebagai media pembelajaran seumur hidup, membaca merupakan fitrah asasi setiap anak manusia. Kita semua lahir dibekali dengan yang namanya rasa ingin tahu atau curiosita, sebuah dorongan instingtif alamiah pemberian Tuhan yang harus dipenuhi. Sebagaimana makan untuk memenuhi rasa lapar, maka membaca adalah upaya memberi makan otak dan jiwa kita agar tidak kelaparan.

Kelaparan jiwa akan melahirkan disharmoni, baik personal maupun komunal. Wujud konkretnya sikap tak peduli (pesimistis-apatis-naif), individualistis, tak acuh terhadap problem-problem keumatan, instan, kecenderungan menerabas atau melanggar sistem, tidak mengalami kepahitan hati saat mata menyaksikan penderitaan, tidak merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari solusi, cara berpikirnya sangat parsial-jangka pendek, rasa keterasingan (alienasi), serta tidak merasa ikut bertanggung jawab atas realitas yang tengah berlangsung.


Salah satu "gerai" tanggung jawab kehidupan itu adalah soal perkembangan kualitas berdemokrasi. "Manusia sebagai perseorangan mungkin bisa bertahan hidup tanpa membaca, tanpa berbudaya membaca. Namun sebuah demokrasi hanya akan berkembang, apalagi survive, apabila para warganya adalah pembaca, dan individu-individu yang warganya merasa perlu membaca, bukan sekadar penggemar dan gemar berbicara."

Dalam konteks ucapan Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1978-1983) di atas, frasa "membaca atau mati" saya kira semakin mendapati dasarnya. Jadi yang mati itu bukan fisik, tapi umur biologis-penumbuhan dan perkembangan hidup berdemokrasi. Yang berarti pula perkembangan kesadaran individu-individu pelakunya. Perkembangan-perbaikan kualitas kehidupan warga negara. Itu sebabnya, mengapa membaca betul-betul menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi diandaikan jika ingin meningkatkan kualitas kehidupan berdemokrasi.

Kegemaran membaca buku dalam konteks kehidupan berdemokrasi akan melahirkan kemampuan literasi (keberaksaraan) politik, yaitu kesanggupan mendaras informasi, baik berupa teks maupun non-teks di luar hal-hal yang bersifat teknis fungsional (profesi). Keberaksaraan politik memungkinkan tumbuhnya kepedulian (empati), sikap kritis, sportif, dan kesediaan untuk turut ambil bagian dalam proses penyelesaian masalah-masalah kolektif -budaya demokrasi.


Dengan kata lain, keengganan membaca akan melahirkan kebutaan politik, yakni ketidakmampuan menggali serta memilih dan memilah informasi, rumor, desas-desus, dan klaim politik; melakukan check-recheck; menganalisis informasi politik yang didapat; serta menggunakan itu semua sebagai pertimbangan sebelum menentukan satu pilihan dari sekian banyak pilihan bentuk partisipasi politik.

Rendahnya tingkat keberaksaraan politik membuat partisipasi politik warga -preferensi atas kandidat pemilik kuasa birokrasi dan politik, misalnya- lebih dominan disandarkan pada ikon, citra, serta kecakapan wajah. Bukannya program dan kecakapan kerja. Preferensi politik menjadi sebuah pilihan tidak sadar karena mengabaikan unsur kehati-hatian, pengawasan, dan informasi lengkap rekam jejak kandidat. Mau bukti? Tengok mayoritas jalannya pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Agus M. Irkham, Kepala Departemen Litbang PP Forum Taman Bacaan Masyarakat
KORAN TEMPO, 14 Januari 2012

Arbi Sanit Bilang Posisi Anas di Ujung Tanduk



Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit menilai saat ini posisi Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sedang di ujung tanduk. Hal itu tersirat dari pertemuan yang digelar Susilo Bambang Yudhoyono dengan para anggota Dewan Pembina Demokrat, di Cikeas, Selasa malam, 24 Januari 2012. “Sedikit lagi disenggol, Anas akan tergelincir,” kata dia saat dihubungi di Jakarta, Rabu 25 Januari 2012.

Menurut Arbi, sebenarnya saat ini SBY beserta Dewan Pembina Demokrat masih belum berani memutuskan untuk mengambil langkah tegas terhadap Anas. Selain karena basis pendukung Anas terlalu kuat, mencopot posisi Ketua Umum tidaklah mudah karena harus melewati kongres luar biasa. “Soalnya kalau Dewan Pembina yang mencoba untuk menghentikan dia, kan tidak demokratis.”


Karena itu, Arbi melanjutkan, yang bisa dilakukan kubu nonAnas untuk secara halus mencopot Anas dari posisi ketua umum adalah dengan mengkondisikan yang bersangkutan merasa tidak nyaman di partai. Karena satu-satunya cara mengganti Ketua Umum tanpa KLB adalah lewat pengunduran diri dia.

Arbi sendiri menilai, tanpa harus ada upaya keras dari internal Demokrat pun, proses hukum yang sedang berlangsung sebenarnya sudah memojokkan Anas. “Jadi tanpa perlu dijatuhkan pun, dia sudah jatuh karena ulah kawan-kawannya sendiri yang melakukan korupsi,” ujarnya.

http://www.tempo.co/

Wednesday, January 18, 2012

Melacak Bahasa al-Quran


Barangkali karena lazimnya, jarang sekali kita memperhatikan bahasa yang kita pergunakan. Bahasa sudah kita anggap sebagai hal yang biasa, seperti makan, minum, dan bernapas. Tetapi sebenarnya, bahasa memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan kita. Bahkan hal paling penting yang membedakan antara manusia dengan binatang adalah kemampuan berbahasa. Seperti dikatakan oleh Quintilian: “Tuhan, sang Pencipta Alam yang Maha Kuasa serta Arsitek Dunia, telah memberikan kepada manusia suatu sifat yang sangat tepat untuk membedakannya dari pada hewan, yakni daya bicara”. [Mario Pei, 1971].

Mayoritas umat Islam di seluruh dunia sepakat bahwa bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab, dan Nabi Muhammad juga bangsa [orang] Arab. Karena al-Qur’an adalah Kitab Sucinya orang Islam, dan Kitab Suci tersebut berbahasa Arab, maka banyak orang yang menyamaratakan -termasuk para orientalis- bahwa semua yang berbau Arab [Timur Tengah] adalah Islam. Tetapi bila kita cermati lebih dalam lagi, kesimpulan tersebut sebenarnya masih terlalu umum dan terlalu tergesa-gesa. Oleh karenanya amat wajar bila timbul pertanyaan: “Kalau memang benar bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab, dan Nabi Muhammad adalah bangsa Arab, maka Arab yang manakah yang dimaksudkan? Apakah Arab Badui, Arab Palestina, Arab Yaman, Arab Mesir, Arab Himyar, Arab Quraisy, atau Arab Hadramaut?”


Ditinjau dari sejarahnya, paling tidak bisa kita ketahui adanya dua jenis klan besar Arab yang mendiami daerah Hijaz [jazirah Arab]. Yang pertama adalah Arab asli [true Arabs] atau Arab al-‘Ariba dan yang kedua adalah Arab pendatang [arabized Arabs] atau Arab al-Musta’raba. Arab asli adalah keturunan dari Qahtan, sedangkan Arab pendatang merupakan keturunan dari Ismail, yang datang dari Babylonia [Mesopotamia].

Pada masa menjelang lahirnya Muhammad, Mekah sebagai pusat kota yang terpenting pada saat itu -karena terdapat Ka’bah- praktis telah dikuasai oleh orang Arab pendatang yang populer dengan sebutan suku-bangsa Quraisy. Dan seperti kita ketahui, Muhammad adalah salah satu dari keturunan Quraisy yang sejak mudanya mendapat julukan al-Amin. Didukung oleh persekutuan antar kabilah yang kuat dalam perjanjian hilf ul-fudhul, maka bahasa Arab Quraisy secara de facto telah menjadi lingua franca [bahasa utama] di seluruh jazirah Arab pada masa itu.


Berdasarkan data sejarah di atas dan bukti dari berbagai ayat al-Qur’an dapat disimpulkan bahwa bahasa al-Qur’an adalah bahasa kaumnya [bi lisani qaumihi], dalam hal ini kaumnya Nabi Muhammad adalah kaum Quraisy. Sehingga secara spesifik bisa dikatakan bahwa bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab Quraisy, dan untuk singkatnya disebut dengan bahasa Araby.

Kenapa kita memakai istilah Araby? Apakah kata Araby berbeda dengan Arab? Istilah Araby berasal dari kata Arab yang ditambah dengan huruf “ya nisbah”, yaitu huruf “ya” yang terletak di akhir sebuah kata. Dalam konteks bahasa, “ya nisbah” berfungsi untuk merumpunkan suatu bahasa dengan kelompoknya. Seperti halnya bahasa Indonesia adalah serumpun dengan bahasa Malaysia, yakni termasuk dalam rumpun bahasa Melayu.

Jadi yang kita maksud bahasa al-Qur’an sebagai bahasa Araby adalah karena bahasa Arab Quraisy yang dipakai al-Qur’an tersebut serumpun dengan bahasa Arab seumumnya. Yang penting digarisbawahi di sini adalah, dari dua bahasa yang serumpun sering kali tidak sama persis antara yang satu dengan lainnya. Ada beberapa hal yang sama tetapi banyak pula hal lain yang berbeda.

 
 
Bahasa Arab sebagai bahasa asli

Apabila kita perhatikan kata ardl dalam al-Qur’an, kemudian kita bandingkan dengan earth [Inggris], terra [Italia], terre [Perancis], tierra [Spanyol], erde [Jerman], aarde [Belanda], rat [Jawa], yang dalam bahasa Indonesia artinya bumi, maka dari ketujuh bahasa tersebut ada kemiripan dalam bunyi ucapan [lafazh] dan kesinoniman dalam makna yang dikandungnya. Dan bila ada pertanyaan, bahasa manakah yang paling tua umurnya? Untuk menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah.

Tetapi ada seorang dosen linguistik di sebuah universitas terkemuka di Inggris, Prof. Dr. Tahiyya Abdul Aziz yang menulis buku berjudul Arabic Language The Origin of Languages. Dalam buku tersebut, Prof. Tahiyya berani menyimpulkan dengan pasti, bahwa bahasa Arab merupakan sumber dan asal-usul dari semua bahasa yang ada di muka bumi ini.

Sungguh pun bahasa Arab itu dipandang dari sudut literatur adalah bahasa yang termuda di antara kumpulan bahasa-bahasa Samyah [Semite], tetapi bahasa ini lebih banyak mewarisi sifat-sifat asli bahasa induknya, bahasa Samyah, daripada bahasa Ibrani dan lain-lain bahasa yang bersaudara dengan itu [Philip K. Hitti, Dunia Arab, Sejarah Ringkas, hal. 11]. Dan tanah Arablah negeri asal dari cikal-bakal suku-suku bangsa bani Samyah, yaitu bangsa Babylonia, Assyria, Chaldea, Amoryah, Aram, Phunisia, Ibrani, Arab dan Abessinia [hal. 12].


Dalam Kitab Perjanjian Lama [The Old Testament] dikatakan: “Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya.” [Kejadian 11: 1]. Kemudian dalam The Story of Language [Kisah daripada Bahasa], Mario Pei mengutip pernyataan Cowper: “Para sarjana filologi, yang memburu sebuah suku-kata terengah lewat ruang dan waktu, mulai di rumah dan mengejarnya dalam gelap-gulita, ke Gallia, ke Yunani, ke Bahtera Nabi Nuh juga”.

Dari pernyataan tersebut di atas, yang kemudian dihubungkan dengan Surat ash-Shaaffaat ayat 83 yang menyatakan bahwa sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar pendukung dan pelanjut dari Nuh. Lalu disambung dengan Surat al-A’laa ayat 18 dan 19, yang secara tegas menyebutkan bahwa al-Qur’an ini adalah kelanjutan dari shuhuf-shuhuf sebelumnya, yakni shuhuf Ibrahim dan Musa, maka nampaklah jalinan yang tak terputus yang menghubungkan antara al-Qur’an hingga sampai kepada Nabi Nuh. Dan bila sudah sampai Nabi Nuh, maka untuk menghubungkannya hingga Nabi Adam ibaratnya tinggal selangkah lagi, yakni terhubung melalui Nabi Idris.


Yang dimaksud dengan shuhuf para Nabi adalah ajaran beserta bahasanya. Sehingga yang disebut sebagai Arabic language oleh Prof. Tahiyya sebagai asal-usul semua bahasa di dunia ini, lebih tepat kiranya bila dikatakan sebagai bahasa wahyu yaitu bahasa para Nabi, sejak Adam sampai Muhammad. Jadi dalam kaitan hubungannya dengan bangsa Arab, bukanlah wahyu al-Qur’an yang mengikuti Arab, tetapi bahasa dan budaya Arablah yang mengikuti bahasa dan budaya para Nabi [al-Qur’an, Injil, Taurat, Zabur, Shuhuf Ula, al-Asma dll.].

Bila sejarah timbulnya bahasa dirunut sejak Nabi Adam a.s., sebenarnya kemampuan manusia dalam berbahasa tidak bisa lepas dari pengajaran yang diberikan oleh Allah. Dan karena Adam itu satu, Allah juga satu, maka bahasa pun pada awal mula kelahirannya semestinya hanya satu juga.

Jadi bila dikatakan bahwa bahasa itu adalah ciptaan manusia, kemungkinan besar yang diciptakan oleh manusia hanyalah berupa bentuk tulisannya saja. Sedangkan bahasa dalam bentuk aslinya yang pertama adalah berupa suara atau rangkaian bunyi [ujaran] yang mengandung makna tertentu. Dan bentuk bahasa ucap atau percakapan ini pastilah bukan ciptaan manusia, tetapi pemberian dari Allah, Tuhan Pencipta alam semesta.



 

Bentuk bahasa al-Qur’an

Bahasa ucap atau bahasa lisan merupakan landasan bagi semua bahasa. Dan bahasa wahyu yang didokumentasikan dalam al-Qur’an disebut sebagai qaulan atau lisaanan yang artinya ucapan atau perkataan lisan. Hal ini perlu kita tandaskan karena perbedaan bentuk bahasa akan berpengaruh pada makna yang dikandungnya.

Sebagai perbandingan antara bentuk bahasa ucap dan bahasa tulis, bisa kita kemukakan disini, antara lain:
1.    Bahasa tulis sangat terikat oleh tata bahasa, sedangkan bahasa ucap lebih longgar dalam hal gramatikanya.
2.    Dalam bahasa ucap, intonasi atau tinggi rendah tekanan [nada] suara sangat mempengaruhi makna yang dikandungnya, sementara dalam bahasa tulis tidak ada persoalan ini.
3.    Pihak-pihak yang berbicara biasanya saling bertemu secara langsung dengan tatap muka dialogis dan interaktif, sedangkan dalam bahasa tulis tidak demikian.
4.    Yang paling tahu maksud dari suatu ucapan adalah si pengucap itu sendiri. Bila tidak mengerti bisa langsung bertanya. Sedang dalam bahasa tulis, biasanya banyak sekali pemahaman, tafsiran dan interpretasi yang bahkan kadang-kadang bertolak belakang dengan maksud si penulis.


Dengan memahami bahwa bahasa al-Qur’an sebenarnya adalah bahasa ucap atau bahasa lisan yang ditulis [diabadikan] dalam mushkhaf, maka kita bisa lebih berhati-hati terutama dalam upaya untuk melagukan atau menyanyikan al-Qur’an. Jangan sampai sebuah kisah yang ‘heroik’ di dalam al-Qur’an [misalnya Surat al-Kafirun] menjadi terdengar ‘lucu’ karena melagukannya keliru dengan nyanyian meratap. Atau sebaliknya, yang seharusnya meratap menadahkan harapan dalam suasana syahdu, tapi malah dinyanyikan dengan semangat berapi-api.

Disamping hal itu, walaupun mempelajari tata bahasa itu penting, tetapi al-Qur’an sebagai bentuk bahasa ucap atau lisan mempunyai teori gramatika [tata bahasa] tersendiri. Tidak cukup hanya dengan sekedar belajar Nahu Sharaf dari Tata Bahasa Arab biasa. Singkatnya, untuk belajar bahasa al-Qur’an memang harus mempelajari Tata Bahasa al-Qur’an.

Dalam al-Qur’an Surat al-Haaqqah: 38 – 43 diterangkan bahwa bahasa al-Qur’an adalah bahasa percakapan dari Tuhan Pencipta alam semesta kepada Utusan-Nya yang dari segi bentuk maupun kandungannya mempunyai nilai yang sangat mulia [qaulu rasuulin kariimin].




Dibandingkan dengan bentuk bahasa sastrawan atau penyair [syaa’irin] yang terlalu berorientasi pada keindahan lahiriahnya saja, baik keindahan bentuk bait-bait sajaknya atau merdunya nada dan irama lagunya, al-Qur’an ternyata bukan termasuk bahasa semodel itu.

Bentuk bahasa al-Qur’an juga bukan bahasa manterawan [kaahinin] atau peramal, dukun, dan lain-lain sebutan bagi orang ‘pintar’ yang ngerti sakdurunge winarah [tahu segala peristiwa sebelum terjadi]. Karena bentuk bahasa model ini sering kali sulit dinalar dan tidak komunikatif, maka biasanya memerlukan juru tafsir khusus. Misalnya, karya-karya ramalan Jangka Jayabaya, Ronggowarsito atau Nostradamus. Juga kalimat-kalimat mantera dan tulisan-tulisan rajah yang sering dipakai untuk jimat.

Dari semua bentuk bahasa tersebut di atas, baik yang syaa’irin maupun kaahinin yang tahu hanya para tokohnya dan juru tafsirnya saja. Semakin sulit dipahami akan semakin hebat, dan tentu saja semakin mahal harganya.


Paradoks bahasa


Dalam al-Itqan, as-Suyuthi mengatakan: “Barang siapa menyatakan telah memahami rahasia-rahasia yang tersimpan dalam al-Qur’an, tetapi tidak menguasai makna lahiriahnya [tekstual], maka ibaratnya sama dengan orang yang mengatakan bahwa dia telah sampai [masuk] di tengah sebuah rumah, tetapi tidak melewati pintunya”. Dari pendapat as-Suyuthi ini, terlihat dengan jelas bahwa seseorang tidak mungkin bisa memahami makna suatu bahasa tanpa mempelajari bahasa yang bersangkutan.

Akan tetapi pengalaman kita dalam belajar bahasa membuktikan bahwa, bahasa sebagai alat untuk menyampaikan makna sama sekali tidak menentukan makna yang dikandungnya. Misalnya kata “bisa” mempunyai makna “dapat” atau “racun”. Dalam kasus ini sebuah lambang bahasa mempunyai kandungan makna lebih dari satu. Kadang-kadang dalam kasus yang lain, satu makna yang sama tetapi diungkapkan dengan lambang bahasa yang berbeda-beda, contohnya kata “ibarat”, “umpama”, “misal”, “bagaikan”, “seperti”, “penaka”, dan lain sebagainya, walau diungkapkan dengan istilah yang berbeda-beda tetapi maksudnya tetap sama.


Demikian inilah paradoks bahasa, di satu segi kita harus melalui bahasa untuk mempelajari makna yang dikandungnya, di segi yang lain kita tidak boleh terjebak pada bahasa sebagai alat penyampai makna yang sama sekali tidak menentukan makna itu sendiri. Bahasa sebagai alat ibaratnya seperti sebuah keranjang [wadah], apakah isi keranjang itu batu, buah-buahan atau pakaian, tidak ditentukan oleh keranjang itu sendiri. Paling-paling orang hanya bisa menduga berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan kebiasaannya, kalau keranjangnya model seperti itu maka biasanya untuk tempat buah, dan kalau yang bentuknya begini biasanya untuk tempat pakaian dan seterusnya.

Bila bahasa hanya sekedar alat atau sarana untuk menyampaikan makna, yang jadi pertanyaan adalah apakah atau siapakah sebenarnya yang paling menentukan makna dari suatu bahasa?

Tuesday, January 10, 2012

Agama dan Kekerasan



"Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama," tulis Sam Harris, yang bersama Daniel Dennett dan Richard Dawkins dikenal sebagai the Unholy Trinity of Atheism.

"Agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi -masih kata Harris dalam The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason - "karena agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu".

Romo Magnis pernah mengatakan kepadaku bahwa orang menjadi ateis lebih banyak bukan karena pemikiran filsafat atau sains. Mereka menjadi ateis karena tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut agama. Mereka melihat kontradiksi antara apa yang dikhotbahkan dengan apa yang dilakukan.


Alkisah, ada seorang Inggris yang sangat religius. Kalau bukan orang yang tekun ibadat, ia orang yang rajin 'mencoba' berbagai agama. Ia dibesarkan sebagai Anglikan, dididik sebagai Methodist, berpindah kepada Greek Orthodoxy karena perkawinan, dan dikawinkan kembali oleh seorang rabbi Yahudi.

Sebagai wartawan, ia mengembara secara geografis dan intelektual. Ia mengumpulkan setumpuk data tentang keterlibatan semua agama dalam berbagai peperangan dalam sejarah. Hasil pengembaraan 'spiritualnya' membuahkan buku: god (dengan huruf kecil) is not Great. Ia menuliskan namanya dengan setiap huruf pertamanya huruf besar: Christopher Hitchens. Ia membagi bab-bab dalam bukunya berdasarkan kontribusi setiap agama pada pembunuhan, peperangan, dan kekejaman. Seumur hidupnya, ia menjadi pendakwah ateis yang efektif, terutama terhadap orang-orang yang menjadi korban kekejaman agama.


Setelah Hitchens, Dan Baker menulis buku dengan judul yang ditulis dengan huruf kecil dan subjudul dengan huruf besar semua: godless, How an Evangelical Preacher Became One of America’s Leading Atheists. Jawab: Karena tindakan kekerasan umat beragama.

Ayaan Hirsi Ali untuk Islam sama dengan Hitch dan Dan Baker untuk Kristen. Ia lahir di Somalia, dari keluarga bangsawan Muslim. Waktu remaja, ia masuk sekolah muslimah yang berbahasa Inggris dan didanai Saudi. Guru-gurunya keluaran Saudi. Dengan semangat ia berpindah dari mazhab Syafii yang toleran kepada mazhab baru yang sangat keras. Hidup dengan aliran keras ini tidak membahagiakannya. Ia menyaksikan berbagai tindakan kekerasan, terutama kepada perempuan, atas nama agama.


Ia mengungsi ke negeri Belanda. Di sini, ia mendapat perlakuan yang tidak enak dari sesama Muslim. Setelah kecewa dengan peristiwa 11 September, setelah membaca Manifesto Atheis dari Herman Philipse, secara resmi ia meninggalkan Islam dan menyatakan diri Atheis.

Pada 2004, Ayaan, yang kini menjadi anggota Parlemen Belanda, menulis naskah dan menyediakan suara untuk film pendek Submission. Seorang aktris, berpakaian chador yang tembus pandang, mengisahkan penderitaan empat tokoh perempuan yang ditindas atas nama Islam.


Melalui chador yang transparan, penonton melihat tubuh telanjang yang bertuliskan ayat-ayat Al-Quran. Film ini tentu saja menimbulkan kemarahan hatta di negeri Belanda sekalipun. Produsernya, Theo van Gogh, dibunuh di jalan di Amsterdam. Di atas jenazahnya diselipkan surat dan pisau yang berisi ancaman kepada Ayaan. Ia ditunjuk Time sebagai 100 most influential people in the world. "This woman is a major hero of our time," kata Richard Dawkins, anggota trinitas Atheis. Hirsi Ali menjadi dewi ateis sedunia.

Walhasil, kenapa orang menjadi atheis? Karena mereka menyaksikan atau mengalami sendiri tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Agamanya sendiri sebetulnya hanya menjadi kambing hitam. Bisa saja orang menyulut konflik karena motif-motif sekular –misalnya, ekonomi, politik, rasialisme - tetapi mereka menyelimuti nya dengan jubah agama.


Jika kita belajar sejarah, kita akan segera tahu bahwa konflik Palestina adalah konflik etnis (Yahudi yang terdiri dari 22,9 persen ateis, 21 persen sekular dan sisanya menganut agama Yahudi dan etnis Arab yang terdiri dari Islam dan Kristen); bahwa konflik di Irlandia Utara disebabkan karena masalah etnis-politis, setelah Inggris mendirikan Perkebunan Ulster tahun 1609; bahwa konflik bersenjata antara Pakistan dan India tentang Kashmir ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Inggris, dan bukan karena anjuran Kitab Suci; bahwa perang Irak dan Iran dimulai dari perebutan wilayah, bukan karena perbedaan mazhab (terbukti setelah perang diketahui bahwa Syiah juga mayoritas di Irak).

Bagaimana dengan konflik Sunnah dan Syiah di berbagai tempat di Jawa Timur, termasuk Sampang? "Bukan karena perbedaan pendapat, tetapi karena perbedaan pendapatan," kata petinggi NU masih dari daerah yang sama. Rois dan Tajul, kakak-beradik, dilantik sebagai pengurus Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlil Bait Indonesia) pada 2007. Pada 2009, mereka terlibat konflik keluarga, antara lain karena masalah santri perempuan di pesantren Tajul.


Karena persoalan pendapatan, Rois meninggalkan paham Syiah dan beralih pendapat. Katanya, "Saya kembali ke Nahdhiyin, karena banyaknya penyimpangan dalam ajaran Syiah". Pada pengujung 2011, Rois –menurut pengakuannya sendiri- membiarkan orang-orang yang sependapat dengan dia menghancurkan teritori dan massa pengikut saudaranya. Media melaporkan, "Roisul Hukama memimpin massa Ahli Sunnah untuk menyerang perkampungan dan pesantren Tajul Muluk, yang berpaham Syiah". Para tokoh Islam, dengan pendapatan yang lebih besar, kemudian menabuh genderang perang. Atas nama agama!

Siapakah yang beruntung? Tidak satu pihak pun. Tidak Rois dan tidak Tajul. Siapakah yang menang? Kaum ateis. Mereka punya amunisi baru. Mereka akan menisbahkan tindakan kekerasan dan kekejian kepada agama. Tidak jadi soal apakah penyebab yang sebenarnya itu berasal dari masalah ekonomis, politis, ideologis, ethnis, atau sekedar pertikaian di antara keluarga miskin di kampung yang miskin!

Sumber:
Jalaluddin Rakhmat, Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia
DETIKNEWS, 4 Januari 2012

Monday, January 9, 2012

“Biar Negara Hangus Terbakar ….”



Revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada 1945-1949 sungguh kritikal, melelahkan, tetapi sarat dengan harapan untuk menang. Ia menyisakan berjuta pengalaman suka duka, heroisme, dan idealisme dengan kualitas hampir tanpa cacat.

Sebagai anak kampung yang tersuruk di lembah Bukit Barisan dalam usia di bawah 14 tahun, saya tidak menyumbang apa pun untuk kepentingan revolusi itu. Sekiranya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Sjafruddin Prawiranegara tidak menjadikan kampung saya, Sumpur Kudus, sebagai salah satu pusat pemerintahan gerilya selama beberapa minggu pada 1949, kampung ini —seperti ribuan desa lain di seluruh Nusantara— tidak akan pernah dicatat dalam peta perjuangan kemerdekaan.


Semboyan Perjuangan

Sebagai anak kampung yang lugu dengan pendidikan sekolah rakyat (SR) pada 1942-1947, tidak banyak yang singgah dalam memori saya tentang percikan api revolusi di lingkungan pedesaan yang terisolasi itu. Namun, bait lagu atau semboyan yang rasanya berbunyi: ”Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi”, masih bertahan di otak saya sampai hari ini.

Saya tidak tahu siapa pencipta lagu atau semboyan yang sangat nasionalistis itu, yang getarannya dirasakan jauh sampai ke pelosok yang tak dikenal. Rakyat udik pun telah lama menjatuhkan talak tiga terhadap apa yang bernama penjajahan. Semboyan ini pun bergema pada saat-saat yang menentukan itu: merdeka atau mati!

Maka, tidak mengherankan apabila rakyat desa menyambut para pejuang kemerdekaan dengan semangat pengorbanan yang teramat tulus. Segalanya diberikan: harta dan jiwa tanpa mengharap imbalan apa pun. Inilah pengorbanan paling otentik yang dikenal dalam masa revolusi. Pemimpin dan rakyat hidup berdampingan tanpa jarak. Kesederhanaan adalah fenomena keseharian saat itu.


”Biar negara hangus terbakar” melambangkan sebuah tekad yang teramat kuat untuk menjadi bangsa merdeka. Sistem penjajahan yang pada masa lampau itu asing sifatnya harus segera dihalau, sekali dan untuk selama-lamanya.

Karena bercorak serba asing, apakah penjajah itu berhidung mancung atau bermata sipit, kita dengan sangat mudah mengenalinya. Kelakuannya serupa: zalim, diskriminatif, eksploitatif, opresif, dan represif. Rakyat terjajah tak dianggap manusia penuh. Semua kelakuan buruk dan busuk ini menyatu dengan sistem penjajahan itu.

Namun, setelah merdeka muncul kesulitan karena yang berkuasa telah digantikan oleh anak bangsa sendiri, sekalipun kelakuan buruk bisa saja berlanjut. Penguasa baru itu, yang saya kategorikan sebagai londo ireng, tidak jarang pula meneruskan sifat-sifat penjajahan yang tidak hirau dengan masalah keadilan dan nasib rakyat banyak.

Akibatnya, sila kelima Pancasila berupa Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia masih tetap menggantung di awan tinggi, belum membumi untuk dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.


Zaman Bergerak, Sikap Berubah

Pada era 1950-an, beberapa tahun pascarevolusi, kesederhanaan gaya hidup para elite kita masih sangat terlihat. Bahkan, pernah seorang perdana menteri hanya memakai baju hem lengan pendek saat dilantik presiden. Kesenjangan sosial-ekonomi belum dirasakan benar. Maklumlah, negara dalam kondisi miskin.

Ada, memang, pertentangan ideologi politik antarpartai yang cukup tajam, tetapi tak pernah berdarah-darah. Jika ada darah yang tertumpah, itu semata-mata untuk melumpuhkan pemberontakan, seperti kasus DI/TII, dan sebelumnya terjadi pula pemberontakan PKI Madiun yang memang harus ditumpas.

Pada akhir 1950-an, dipicu oleh kesenjangan antara daerah dan pusat serta semakin dominannya pengaruh komunisme, pergolakan daerah sulit untuk dihindari dan penyelesaiannya pun berdarah-darah. Sesuatu yang sangat disayangkan.


Akan tetapi, gaya hidup para elite masih dalam batas normal. Kesederhanaan belum lagi meninggalkan panggung politik nasional. Pesta pora perkawinan yang ekstra mewah, seperti yang terlihat belakangan, jarang sekali terjadi. Roh proklamasi dengan pesan kesederhanaan dan egalitariannya masih belum pupus dari kehidupan para elite. APBN dan APBD ketika itu tak dijadikan sapi perahan oleh perselingkuhan penguasa/politisi dan pengusaha.

Dengan bergeraknya zaman, berlaku pulalah pergeseran kelakuan. Batas-batas moral telah dilanggar semau gue. Sebagian pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif tanpa rasa malu telah sama berkubang dalam dosa dan dusta. Pernyataan-pernyataan politik dan hukum telah kehilangan otentisitasnya karena pada umumnya adalah untuk melestarikan kekuasaan dan berebut tulang.

Dalam kondisi semacam ini, tuan dan puan akan sia-sia berharap perbaikan kehidupan rakyat banyak secara menyeluruh. Kekuasaan telah dijadikan tujuan.


Ironisnya, ia sering dibungkus dalam bahasa lembut, tetapi culas, demi kekuasaan dan uang. Teramat kecil jumlah anak bangsa ini yang masih berpikir tentang masa depan bangsa dan negara. Kepentingan kekinian yang serba pragmatis telah menjadi ”agama”, mengalahkan tujuan jangka jauh bagi kelangsungan negara kepulauan yang cantik tetapi merana ini.

To have more and to use more (semakin banyak memiliki dan semakin banyak pula menggunakan), tulis Erich Fromm, adalah sifat masyarakat konsumeristik. Dikatakan bahwa masyarakat ini telah menghasilkan barang-barang tunaguna dan pada tingkat yang sama telah melahirkan pula manusia tak berguna. Namun, sudah demikian burukkah masyarakat Indonesia sekarang? Saya rasa belum, tetapi gejala ke arah itu telah semakin terang benderang. Jika tidak dibendung dengan saksama oleh seluruh kekuatan akal sehat yang sesungguhnya masih hidup dalam jiwa bangsa ini, jalan ke arah itu makin terbuka.


Akhirnya ....


Semboyan masa revolusi yang berbunyi ”Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi” telah digeser oleh filosofi pragmatis para elite: ”Biar negara jadi sapi perahan dan korupsi merajalela, asal aku tetap berkuasa”. Lagi-lagi, kekuasaan telah dijadikan tujuan tertinggi.

Inilah penguasa londo ireng yang berlagak santun, tetapi hati nuraninya telah lama lumpuh. Dan, kelumpuhan nurani ini pulalah yang menjadi sumber utama dari segala macam ketidakberesan yang sedang menerpa Indonesia sekarang.

Sumber:
Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
KOMPAS, 4 Januari 2012