Tuesday, September 11, 2012

Mengukur Kinerja Foke dan Jokowi


Warga Jakarta adalah individu-individu cerdas, bebas, dan rasional sehingga mampu menyikapi data dan fakta serta tidak tergoda oleh isu primitif-primordial untuk menentukan siapa yang layak menjadi gubernur Jakarta.

Genderang perang ronde kedua pilkada DKI sudah ditabuh bertalu-talu. Pasangan Foke-Nara serta Jokowi-Ahok berusaha bersolek diri, menebar simpati dan janji, menyiapkan strategi dan amunisi, serta berusaha menutupi kekurangan diri untuk memuluskan jalan menjadi gubernur DKI. Di sisi lain, pemilih semakin kritis dan cerdas memilah-milah semua informasi dan janji-janji.

Dengan demikian, pemilih diharapkan tidak menjatuhkan pilihan berdasarkan pertimbangan primitif-primordial seperti isu suku, agama, golongan, kumis, atau baju kotak-kotak. pemilih juga tidak boleh terkecoh oleh pemberitaan media massa dan media sosial yang berusaha memainkan emosi publik dimana seolah-olah pilkada DKI adalah pertarungan semut versus gajah, perubahan versus status quo, laskar rakyat versus laskar partai, dan nasionalis versus religius.

Pemilih yang cerdas dan rasional akan menjatuhkan pilihan berdasarkan fakta obyektif kinerja, kapasitas kepemimpinan, dan kemampuan manajerial para kandidat yang sedang berlaga. Marilah kita melihat fakta dan data statistik ukuran kemiskinan mutlak (absolut) dan kemiskinan relatif untuk mengukur kinerja Fauzi Bowo dan Jokowi selama mereka berkuasa.


Kemiskinan Absolut
Kemiskinan mutlak (absolut) adalah ukuran ketidakmampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, perumahan, pakaian, dan pendidikan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah ukuran ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup layak setara dengan kebanyakan orang. Pada tahun 2010, warga Jakarta dinyatakan miskin absolut jika pengeluarannya kurang dari Rp 338.783 per kapita per bulan, sedangkan warga Solo dinyatakan miskin absolut jika pengeluarannya kurang dari Rp 306.584 per kapita per bulan.

Berdasarkan garis kemiskinan absolut ini, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta dan Kota Solo adalah masing-masing 4,04 persen dan 13,96 persen (BPS DKI Jakarta, 2011; BPS Jawa Tengah, 2011). Angka kemiskinan DKI Jakarta adalah yang terendah se-Indonesia, sedangkan Kota Solo masih mengalami permasalahan yang serius dengan kemiskinan.

Angka kemiskinan Kota Solo tidak akan pernah turun mendekati angka kemiskinan DKI Jakarta, meskipun Jokowi menyelesaikan jabatan wali kota sampai 2015. Dengan demikian, tidak salah Amien Rais menyampaikan fakta bahwa tingkat kemiskinan Kota Solo masih tinggi dan berada di atas rata-rata nasional (Inilah online, 7 Agustus 2012).


Tetapi melihat satu titik waktu angka kemiskinan untuk menilai kinerja Fauzi Bowo dan Jokowi adalah sebuah kecerobohan, gegabah, atau bahkan sebuah kezaliman. Sebab, kinerja hanya dapat diukur dengan membandingkan dua buah titik waktu selama gubernur/wali kota memangku jabatan.

Jadi marilah kita melihat angka kemiskinan DKI Jakarta dan Kota Solo periode 2007-2010 untuk memberikan penilaian yang lebih adil.

Angka kemiskinan DKI Jakarta tahun 2007 adalah 4,48 persen, sedangkan angka kemiskinan Kota Solo tahun 2008 adalah 16,13 persen. Selama kurun waktu 3 tahun (2007-2010), Fauzi Bowo mampu menurunkan kemiskinan sebesar 0,44 persen atau 0,15 persen per tahun. Di sisi lain, Jokowi selama kurun waktu 2 tahun (2008-2010) mampu menurunkan kemiskinan sebesar 2,17 persen atau 1,1 persen per tahun.

Berdasarkan data statistik ini, kinerja Jokowi dalam menurunkan angka kemiskinan jauh lebih kinclong dibanding kinerja Fauzi Bowo. Dengan asumsi penurunan kemiskinan secara linear, Jokowi membutuhkan waktu sekitar 14 tahun berkuasa untuk menghilangkan kemiskinan di Kota Solo, sedangkan Fauzi Bowo membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun berkuasa untuk memusnahkan kemiskinan dari bumi Jakarta.


Membandingkan kinerja Fauzi Bowo dan Jokowi akan lebih menarik jika kita dapat melihat lebih mendalam angka kemiskinan relatif di kedua kota tersebut. Data kemiskinan ini tidak dipublikasikan oleh BPS, karena perhitungan kemiskinan relatif merupakan inisiatif baru dalam pengukuran kesejahteraan di Indonesia.

Kemiskinan relatif berkaitan erat dengan masyarakat inklusif dan ketimpangan sosial. Si A dengan penghasilan Rp 2 juta per bulan bisa dikatakan miskin secara relatif jika kebanyakan orang di sekeliling A berpenghasilan Rp 5 juta per bulan. Penghasilan A tidak cukup untuk mengimbangi gaya hidup kebanyakan orang, sehingga A akan teralienasi dan terpinggirkan dari pergaulan sosial. A hanya akan menjadi penonton dari proses gemerlap pembangunan tanpa bisa ikut menikmatinya.

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Susenas (Sensus Ekonomi Nasional) 2005 dan 2008 serta garis kemiskinan relatif sebesar 60 persen rata-rata pengeluaran penduduk Jakarta dan Solo, maka angka kemiskinan relatif tahun 2005 di DKI Jakarta dan Kota Solo masing-masing adalah 39,61 persen dan 38,88 persen. Artinya, sekitar 40 persen warga Jakarta dan 39 persen warga Solo tidak dapat hidup pantas dan layak seperti kebanyakan orang di wilayah tersebut.

Dalam kurun waktu 2005-2008, angka kemiskinan relatif DKI Jakarta dan Kota Solo turun menjadi 33,43 persen (dari 39,61) dan 28,11 persen (dari 38,88). Artinya, selama 3 tahun Jokowi mampu menurunkan kemiskinan relatif sebesar 10,77 persen atau sekitar 3,6 persen per tahun. Sedangkan Fauzi Bowo hanya mampu menurunkan kemiskinan relatif sebesar 2,06 persen per tahun. Jika dilihat dari kinerja penurunan kemiskinan absolut dan relatif, Jokowi lebih unggul dibandingkan dengan Fauzi Bowo. Namun demikian, hal ini tidak bisa menjamin 100 persen kesuksesan di Solo bisa ditransformasikan di Jakarta, karena adanya perbedaan ruang, waktu, dan skala masalah.


Penutup
Sekali lagi, warga Jakarta adalah individu-individu cerdas, bebas, dan rasional sehingga mampu menyikapi data dan fakta serta tidak tergoda oleh isu primitif-primordial untuk menentukan siapa yang layak menjadi Gubernur Jakarta. Pemilih seharusnya tidak perlu takut berbeda dengan titah/perintah para pemimpin partai/organisasi sosial/keagamaan, karena titah bukanlah sabda, sehingga tiada dosa untuk tidak mematuhinya. Perlu kehati-hatian dan pertimbangan ekstra dalam menentukan pilihan, karena salah pilih gubernur berarti harus menunggu lima tahun lagi untuk memilih yang lain.

Semoga Jakarta mendapatkan pemimpin yang jujur, amanah, dan mampu merealisasi janji-janji mewujudkan Kota Jakarta yang aman, nyaman, dan ramah untuk semuanya.

Teguh Dartanto
Dosen dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
KORAN TEMPO, 6 September 2012

No comments: