Thursday, September 27, 2012

Kusutnya Keagrariaan Kita


Tanggal 24 September 2012 kaum tani di Indonesia kembali memperingati Hari Tani Nasional sekaligus hari lahirnya UU Pokok Agraria (UU No 5/1960). Namun, meski sudah berganti abad, masalah-masalah agraria tak kunjung teratasi. Kemiskinan, pengangguran, konflik, dan proletarisasi (baca: pemiskinan) petani masih terus mewarnai wajah pedesaan kita sampai hari ini.

Sejak Presiden Soekarno lengser, agenda reforma agraria juga terhenti. Akibatnya, ketimpangan agraria makin tajam dan konflik agraria meletus di mana-mana. Konsentrasi penguasaan tanah pun menunjukkan dalamnya ketidakadilan. Winoto (2010) menyebutkan hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset produktif dan 87 persen dalam bentuk tanah.

Ketimpangan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah terjadi hampir di semua sektor. Di kehutanan, terdapat 531 izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI), yang luasnya mencapai 35,8 juta hektar, dan hanya dikuasai puluhan konglomerat nasional dan asing. Sementara ada 57 izin pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan luas cuma 0,25 juta hektar. Artinya, hanya 0,19 persen masyarakat pedesaan mendapatkan akses secara legal atas kawasan hutan (M Sirait, 2012).

Di perkebunan, dari 11,5 juta hektar luas lahan sawit, 52 persen milik swasta, 11,69 persen milik perusahaan negara, dan perkebunan rakyat hanya kebagian 35,56 persen. Di pertambangan, Jaringan Tambang (Jatam, 2010) mencatat, sejak 1998-2010 hampir 8.000 perizinan tambang dikeluarkan dan 3 juta hektar kawasan lindung telah beralih fungsi jadi tambang.


Ketimpangan juga terjadi di sektor kelautan. Lebih dari 20 pulau telah dikavling orang dan badan hukum asing untuk industri pariwisata. Sekitar 50.000 hektar konsesi budidaya berada di bawah penguasaan asing. Sekitar 1 juta hektar ekosistem pesisir sudah dikonversi untuk perluasan perkebunan sawit dan pembangunan reklamasi pantai.

Potret ketimpangan kian nyata bila dibandingkan penggunaan lahan untuk sektor pertanian. Berdasarkan data BPS (2003), dari 37,7 juta rumah tangga petani hanya menggunakan lahan pertanian 21,5 juta hektar. Akibatnya, jumlah petani gurem dan petani tak bertanah semakin tinggi. Saat ini, dari 37,7 juta rumah tangga petani, 36 persen petani tak bertanah, dan 24,3 juta yang menguasai tanah rata-rata hanya 0,89 hektar per rumah tangga.

Ketimpangan agraria mengakibatkan diferensiasi penduduk pedesaan semakin meruncing. Terjadi penggolongan dan pelapisan sosial di masyarakat berdasarkan pemilikan dan penggunaan tanah. Maka polarisasi ekonomi pun tak terhindarkan.


Proletarisasi Petani
Konflik agraria yang terjadi akhir-akhir ini jelas erat hubungannya dengan polarisasi masyarakat pedesaan. Sejak lama para peneliti agraria mengingatkan bahwa sangat mengkhawatirkan jika ekonomi pedesaan bergerak ke arah polarisasi masyarakat, sehingga pertentangan kelas akan meningkat, dan stabilitas terganggu, akibatnya segala usaha pembangunan pertanian akan terhambat (Wiradi, 1994).

Struktur sosial lain yang tercipta dari langgengnya ketimpangan adalah proletarisasi petani yang semakin meluas. Proletarisasi ini ditandai dengan transformasi kelas petani menjadi buruh tani. Kaum proletariat ini hidup tidak lagi dengan mengolah tanah secara langsung, tetapi dari menjual tenaga ke pemilik modal. Proletarisasi berlangsung dalam wajahnya yang sangat brutal dimana ditandai dengan pengusiran dan perampasan tanah-tanah rakyat secara paksa.

Selain melahirkan diferensiasi masyarakat pedesaan dan proletarisasi petani, ketimpangan juga menyebabkan munculnya ketidakstabilan sosial-ekonomi. Ketimpangan juga mengakibatkan rendahnya produktivitas, khususnya di sektor pertanian, lantaran pertanian didominasi petani penggarap dan buruh tani. Mereka ini tak memiliki jaminan penguasaan atas tanah dengan demikian mereka tidak memiliki insentif untuk menciptakan modal ataupun melakukan investasi bagi peningkatan produktivitas tanahnya.

Sawah yang indah dan subur seperti ini lama-lama bisa hilang dan hanya tinggal kenangan.

Sejatinya, kondisi di atas menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera mengakhiri ketimpangan agraria dengan menjalankan agenda reformasi agraria. Inti dari reformasi agraria adalah land reform, yakni penataan ulang pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah lalu dilakukan redistribusi kepada petani tak bertanah.

Agar program land reform berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani, maka harus diikuti dengan program pendukung lainnya, seperti jaminan kredit pertanian, perbaikan infrastruktur pedesaan, pendidikan, dan perbaikan sistem pemasaran hasil pertanian.

Reformasi agraria pada dasarnya tidak hanya bertujuan meningkatkan taraf hidup kaum tani, tetapi juga untuk menguatkan dasar pembangunan nasional. Sebab, dengan terlaksananya reformasi agraria ini memungkinkan terjadinya pembentukan kapital yang menjadi dasar bagi proses industrialisasi pedesaan. Industrialisasi pedesaan adalah syarat penting bagi kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat.

Idham Arsyad
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria
KOMPAS, 25 September 2012

No comments: