Tuesday, September 25, 2012

Restorasi Kemanusiaan Indonesia


Pancasila sudah tumpul dan tak bernyawa di dalam dada aparatur negara yang abai terhadap luka berdarah hingga hilangnya nyawa warga negara. Apakah kisah kekerasan itu akan diceritakan turun-temurun kepada anak-anak kita sebagai ahli waris Indonesia?

Kekerasan demi kekerasan, tembakan demi tembakan, letupan demi letupan, begitulah seolah wajah Indonesia. Pemangku pemerintahan dan penanggung jawab sebagai pelindung warga negara terkesan hanya meluapkan emosi karitatif mereka di media. Di samping itu, belum ada implikasi nyata atas pencarian tersangka dan tindakan hukum yang tegas.

Kejadian yang sama berulang-ulang. Ada pula suara sumbang mengatakan sebagian besar kejadian itu rekayasa. Begitu parahnya masalah kemanusiaan manusia Indonesia bila setiap peristiwa yang membunuh manusia merupakan rekayasa untuk kepentingan kelompok tertentu atau pihak tertentu.


Apa yang ingin kau cari Indonesia? Beragam budaya dan kaya akan sumber daya alam, tapi pemerintahan yang dijalankan manusia Indonesia, yang lahir dan besar di tanah air Indonesia, ternyata tak pernah tuntas menyelesaikan masalah hilangnya nyawa sesama manusia, saudara sedarah Indonesia.

Selain itu, kecemburuan pun merebak di tengah keanekaragaman warga negara. Semestinya keadilan yang diharapkan, tapi kesengsaraan yang dirasakan. Seharusnya kemanusiaan, tapi berganti menjadi kekerasan. Keyakinan pun bisa menjelma jadi keberingasan.

Tumpulnya kemanusiaan dan pudarnya kepercayaan diri sebagai manusia Indonesia tak terlepas dari watak manusia. Lantas, apakah yang tampak akhir-akhir ini adalah watak manusia Indonesia? Penyelenggara negara berjalan tak keruan. Hendak menuju ke mana sebenarnya pemerintahan? Wajah Republik ini seolah mengalami seperti apa yang pernah dikatakan Mochtar Lubis, “wajah lama tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas.”


Pemimpin Kemanusiaan
Terkadang kita seolah tak percaya, mengapa begini keadaan Republik kita ini. Warga seperti tak tahu siapa pemimpin publik mereka. Survei yang gegap gempita di media apakah cukup dengan responden yang hanya ribuan itu sebagai representasi suara rakyat dan menggambarkan sosok kepemimpinan yang dapat mengubah keadaan dan berperikemanusiaan?

Konspirasi politik nasional berlangsung terus seiring dengan penderitaan anak bangsa yang telah berlangsung lama. Apa lagi tentang nasib pemulihan harga dan harkat bangsa, hal itu makin lama menjadi kian tertunda. Kalau memang sudah begitu keadaannya, bagaimana melakukan perubahan dan menciptakan kemajuan negara? Titik dan koma tentang capaian kemajuan Republik ini masih buram. Di mana jalan terangnya? Tak sedikit pula kerusakan dan kebusukan politik hadir secara terang di ruang publik.

Pemerintah menganggap gampang semua persoalan bangsa. Segala persoalan hampir berkutat pada cerita yang sama. Jarang ada kisah pemimpin publik yang aksi kemanusiaannya benar-benar ikhlas tanpa pamrih dan tanpa pamer.


Restorasi Kemanusiaan
Sebenarnya, banyak orang biasa yang bukan penyelenggara negara paham mau dibawa ke mana Indonesia. Orang biasa itu mungkin saja berada di sekitar wilayah rumah kita. Namun karena kepongahan, barangkali kita tak menyadari keberadaan mereka. Orang-orang biasa yang saling membagi kebersamaan dan mengambil makna harkat kemanusiaan sambil bekerja membagi kasih sayang.

Almarhum Moeslim Abdurrahman mengatakan individu-individu yang biasa itu memiliki kepribadian kebajikan sosial (social virtue) untuk menciptakan masyarakat Indonesia menjadi baik. Ya, orang biasa yang berperikemanusiaan. Merasa dan memiliki Indonesia dengan sepenuh jiwa raganya. Menghargai kemanusiaan Indonesia, dan sama sekali bukan menggunakan manusia lain untuk memperalat dan menghilangkan nyawa sesama manusia Indonesia.

Manusia yang memperalat, bahkan membunuh nyawa manusia, disebut Soedjatmoko sebagai manusia tuna, pribadi zombi yang digerakkan satu motif serakah untuk mengeruk kemewahan tanpa batas. Memang, tidak ada resep yang mudah bagi masa depan Indonesia, sebagaimana tidak ada bentuk yang final tatkala manusia terus berinteraksi di antara sesama.


Oleh karena itu, restorasi kemanusiaan Indonesia sangatlah diperlukan. Yakni, merancang, memperkuat, dan melakukan segala sesuatunya dalam kerangka nilai-nilai yang signifikan pada proses mencapai tujuan hakikat sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Siapakah yang mesti dan akan dapat mengubah posisi celaka manusia Indonesia selain kita, manusia Indonesia itu sendiri?

Budayawan Sanusi Pane pernah menganjurkan kita agar kembali ke dasar Indonesia. Ke-Indonesiaan dan ketimuran harus memancar lagi di dalam masyarakat. Segala provinsialisme, yaitu perasaan yang timbul dari kepicikan pengetahuan tentang kebudayaan dan kemanusiaan yang ada sejak dahulu hingga sekarang, harus dijauhi.

Artinya, restorasi kemanusiaan ialah perubahan diri sendiri. Tak boleh tidak, itu mesti bersifat perubahan jiwa, pandangan hidup, dan cara berpikir, secara nyata! Bukan sekadar iklan-iklan dan cuap-cuap pencitraan. Ya, itulah perubahan manusia untuk kembali menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

David Krisna Alka
Peneliti Populis Institute dan Aktivis Group Menara 62
MEDIA INDONESIA, 19 September 2012

No comments: