Tuesday, August 14, 2012

Pasar dan Masjid di Televisi


Bulan Ramadhan adalah bulan religius dengan realisasi ibadah puasa dan praktik kesalehan sosial. Ramadhan menjadi selebrasi masif dalam ekspresi dan pemaknaan religiusitas. Selebrasi itu mendapati godaan-godaan mutakhir oleh televisi. Operasionalisasi modal untuk penciptaan pasar direalisasikan melalui bentuk program acara televisi. Televisi selama Ramadhan membuat klaim-klaim Islami. Klaim itu sugestif atas hasrat penonton sebagai konsumen. Acara apa saja bisa menjadi “Acara Islami” dengan pemenuhan konvensi atau normativitas dalam bentuk tuturan sampai pakaian.

Religiusitas dalam acara-acara televisi selama Ramadhan cenderung berada dalam ranah semu atau abu-abu. Muatan religius terkadang sekadar instrumen atau tempelan. Religiusitas rentan manipulasi dan komersialisasi karena cenderung memakai orientasi pasar ketimbang implikasi-implikasi konstruktif. Komersialisasi religiusitas tampak eksplisit dalam pelbagai program televisi selama Ramadhan. Muatan religius justru mengabarkan klise, repetisi, hiperbolis, dan simbolisasi dangkal. Religiusitas dalam bentuk acara-acara televisi cenderung reduksionis dan kehilangan auratik.

Televisi selama bulan Ramadhan memang menemukan momentum strategis untuk memainkan kuasa dan godaan. Jean Baudrillard (1985) dalam pemikiran pesimistis mengingatkan bahwa televisi adalah dunia; televisi mencair ke dalam kehidupan dan kehidupan melebur ke dalam televisi. Mekanisme itu membuat penonton berada dalam batas tipis ilusi dan realitas. Televisi sebagai pusat justru mengantarkan penonton pada situasi-situasi manipulatif, masif, ilusif, dan pasif.


Pesimisme Jean Baudrillard relevan dengan pesan-pesan melimpah dalam sekian acara televisi selama Ramadhan, yang membuat penonton mabuk dan riskan. Penonton cenderung kehilangan orientasi untuk mekanisme penerimaan dan absorpsi pesan karena kelimpahan pesan dalam frekuensi tinggi dan intensif tanpa jeda reflektif. Laku refleksi dalam fenomena itu kemungkinannya menjadi kecil untuk bisa direalisasikan sebagai kompensasi tindakan menonton televisi.

Kuasa televisi selama Ramadhan memang kerap membatalkan pemahaman etis dan kesadaran ruang-waktu. Acara-acara berlabel religius menggoda penonton dalam sirkulasi waktu ketat dan sesak. Operasionalisasi kuasa dan godaan televisi terjadi saat mulai sahur, buka puasa, shalat Tarawih, dan lain-lain. Putaran waktu dalam konsep religius dengan mudah ditaklukkan televisi dengan menempatkan penonton sebagai konsumen. Selebrasi Ramadhan sebagai bulan religius dalam pengertian waktu yang suci perlahan kehilangan makna dan aura. Sakralitas dalam laku ibadah mulai mengarah dan mengalah kepada profanisasi melalui laku menonton televisi.

Penempatan acara-acara televisi cenderung mengabaikan pemahaman waktu dalam konteks kaum muslim menunaikan ibadah. Waktu sahur dan shalat Subuh adalah kondisi waktu dengan sakralitas dan nuansa hening. Pemahaman waktu sakral itu jebol oleh kehadiran televisi dalam acara komedi, kuis, atau hiburan. Laku tertawa, hasrat mencari peruntungan, perang iklan, dan keramaian hiburan justru menjadi sasaran untuk pencapaian pasar, rating, atau pengerukan laba.


Penjebolan pun terjadi pula ketika waktu buka puasa. Acara komedi, kuis, atau sinetron melenakan penonton sehingga mengalihkan pengalaman religius dalam selebrasi masif televisi. Laku buka puasa perlahan mengalami reduksi atas refleksi dan keterlibatan substantif dalam pengalaman religius.

Acara-acara televisi itu terus menggoda penonton sampai melewati waktu-waktu sakral. Sinetron menempati posisi penting dalam perebutan pengalaman waktu religius. Sinetron-sinetron dengan label dan judul Islami terus menebarkan klise, cinta, artis, iklan, konflik, hedonisme, romantisme, sentimentalitas, marah, erotisme.

Penempatan waktu untuk penayangan sinetron-sinetron itu memang mengandung pertentangan antara kepentingan modal dan laku religius. Kesadaran waktu itu cenderung memberi pengaruh besar pada penonton untuk memilih menekuni televisi atau menekuni laku ibadah di masjid atau melakukan interaksi sosial dengan orang lain.

Kuntowijoyo (1987) menilai bahwa zaman modern memang identik dengan pertarungan nilai, sistem, dan institusi. Ilustrasi representatif dari pandangan itu adalah ketegangan antara masjid dan pasar. Kuntowijoyo membuat interpretasi kritis atas Hadits Rasulullah Muhammad: “Sebaik-baik tempat adalah masjid dan sejelek-jelek tempat adalah pasar.” Hadits itu menjelaskan pemikiran dialektis Rasulullah Muhammad dalam memerkarakan masjid sebagai simbol agama dan pasar sebagai simbol kepentingan ekonomi.


Ketegangan antara masjid dan pasar semakin kentara dalam kehidupan mutakhir. Masjid sebagai simbol dan representasi laku religius dan masyarakat agama terus mengalami godaan-godaan pragmatis dari pasar. Pasar dalam pengertian ekonomi justru mengalami percepatan dan pembesaran untuk pembentukan masyarakat ekonomi.

Dalil ekonomi mulai merebut perhatian dalam bentuk pragmatisme dan penundukan masyarakat konsumen. Ketegangan mutakhir adalah masyarakat ekonomi mendesak masyarakat agama dengan tubrukan orientasi sakral dan profan. Fakta hari ini menunjukkan bahwa pasar telah membuat lakon absurd pencapaian pamrih ekonomi.

Televisi dalam konteks pemikiran masjid dan pasar adalah representasi dari kuasa modal dan pembentukan masyarakat penonton sebagai masyarakat konsumen. Agama tak luput dari ekspansi kuasa pasar untuk dihadirkan dalam bentuk program acara televisi dengan label religius.

Televisi selama bulan Ramadhan adalah bentuk kuasa pasar. Dan senyatanya, MODAL (baca: uang) bisa mengalahkan MORAL. Komodifikasi dan komersialisasi agama dalam bentuk program-program acara televisi menjadi bukti bahwa pasar hendak menjauhkan penonton dari masjid dalam konteks simbol dan realitas. Apakah memang harus begitu ?!

Bandung Mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS, 10 Agustus 2012



Ramadhan dan Kapitalisme

Selama ini, kita seringkali membaca ulasan tentang berkah Ramadhan di berbagai kesempatan, termasuk di blog ini. Banyak dijelaskan, bahwa bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah di mana pada bulan ini Allah Swt menurunkan banyak sekali rahmat kepada umat Islam, maupun semua makhluk secara umum. Hal itu tentu saja tidak salah, bahkan sangat bisa kita rasakan sendiri kebenaran dan kebesaran nikmat Allah yang diturunkan, baik berupa kenikmatan jasmani berupa kesehatan, kenikmatan rohani berupa ketenteraman, maupun bentuk-bentuk kenikmatan lainnya. Namun, dalam pembahasan kali ini saya akan melihat Ramadhan dari sudut pandang yang berbeda, yaitu mengenai hubungan Ramadhan dan kapitalisme.

Seiring perkembangan zaman, kita juga harus menyadari bahwa Ramadhan tidak hanya menjadi momentum bagi umat muslim untuk mendekatkan diri pada Allah Swt dengan memperbanyak ibadah, baik berupa puasa, shalat sunah, sedekah, infaq, zakat, maupun ibadah lain. Bulan Ramadhan yang mulia ini, sekarang juga menjadi lahan bagi kaum kapitalis untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Kapitalisme dan momentum Ramadhan sebagai bulan yang penuh berkah ini, selanjutnya menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan.


Di Indonesia, momentum Ramadhan ini benar-benar dimanfaatkan oleh kaum kapitalis dengan iklan-iklan yang menawarkan beragam produk dengan citarasa Ramadhan. Meskipun jika mau jujur, produk yang mereka tawarkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha mendekatkan diri pada Allah Swt yang menjadi tujuan utama umat muslim pada bulan suci ini.

Fenomena pemanfaatan momentum Ramadhan oleh kaum kapitalis ini bisa kita lihat setiap saat, dan di mana saja. Di siaran radio, televisi, internet, aneka gadget –utamanya hp- billboard dan berbagai macam iklan luar ruang, bahkan sampai ke dalam kamar yang merupakan ruang pribadi kita. Melalui iklan-iklan inilah, sebenarnya kaum Muslim dirangsang dan didorong untuk meningkatkan perilaku konsumtif dan berlebihan dalam kesehariannya. Dengan produk-produk yang sebenarnya tidak mereka butuhkan namun tetap saja mereka membelinya karena tergiur dengan iklan yang sangat cantik dan menggiurkan selera yang ditampilkan oleh kaum kapitalis demi memperkaya diri mereka sendiri. Fenomena menyedihkan yang semakin mengeratkan hubungan Ramadhan dan kapitalisme.

Fenomena gaya hidup berlebihan yang mengeratkan hubungan Ramadhan dan kapitalisme ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip hidup sederhana yang diajarkan Nabi Muhammad Saw, apalagi dalam konteks bulan suci Ramadhan. Di mana seharusnya kita berlatih untuk lebih mengendalikan diri dan bersikap sabar, bertoleransi terhadap sesama umat yang mungkin kurang beruntung, dan beragam ibadah lain baik yang berdimensi vertikal (hablun min-Allah) maupun yang berdimensi horizontal (hablun min al-Naas). Bukan malah menghambur-hamburkan uang untuk membeli barang yang belum jelas manfaatnya bagi kita.


Fenomena yang salah ini, seharusnya kita kembalikan lagi pada esensi ajaran Islam yang mendasar, yaitu tentang kesederhanaan. Hidup dengan apa adanya namun cukup layak, memperbanyak silaturrahim kepada sanak kerabat, bukannya malah silaturrahmi ke tempat-tempat belanja populer. Kita harus sadar, bahwa hubungan antara Ramadhan dan kapitalisme sebenarnya adalah hubungan yang terlarang, sehingga kita mengemban tugas untuk memisahkan keduanya. Bukan dengan melakukan protes-protes kepada kaum kapitalis untuk menghentikan iklan-iklan mereka. Tapi dengan memperbaiki kesadaran kita masing-masing sebagai muslim, dengan menjalankan ajaran Nabi dalam setiap sendi kehidupan.

Dengan begitu, kaum kapitalis pun akan mundur dengan sendirinya. Mari kita jadikan bulan Ramadhan ini agar menjadi sepenuh-penuh berkah yang akan mengantar kita pada Jannah (Surga), baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amin.

Sumber:
www.muslim-academy.com

1 comment:

Azhar said...

Prihatin.
Perlu diperingatkan, para ustadz infotainment banyak yang melampaui batas dari sekedar menerima 'uang transport'.
Integritas dakwahnya perlu dipertanyakan, jangan sampai nilai-nilai AlQur'an dijual untuk sekedar kepentingan sepiring nasi dan populeritas.