Tuesday, July 13, 2010

Mengkritisi Muhammadiyah


Muhammadiyah Kian Kehilangan Pemimpin Kharismatik

Muhammadiyah di masa lalu adalah organisasi Islam yang mempunyai pemimpin-pemimpin kharismatik. Namun ketika usia organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini kian tua, Muhammadiyah dinilai kian kehilangan pemimpin kharismatik.

"Di masa kepemimpinan KH Ahmad Dahlan saat itu, Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki sosok pemimpin paling kharismatik," kata Pengamat Politik Islam dari Kangwon National University, Korea Selatan, Prof Hyung-Jun Kim dalam diskusi bertajuk 'Masa Depan Muhammadiyah' di Ruang Media Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), di Jl Ring Road Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Selasa (6/7/2010).

Kim mengatakan, pemimpin Muhammadiyah sekarang sudah tidak lagi menunjukkan sosok yang pemberani dan punya keteguhan pendirian. Muhammadiyah juga dinilainya kehilangan demokrasi dalam menyampaikan pemikiran-pemikirannya.

"Dulu setelah Ahmad Dahlan, ada AR Fachrudin. Tapi tetap saja dia tidak seberani Ahmad Dahlan, dan semakin kesini tokoh yang kharismatik itu semakin hilang," tutur Kim.

Lebih lanjut, Kim menilai Muhammadiyah sejak sekarang harus kembali menciptakan charismatic leader. Apalagi di usia Muhammadiyah yang menuju dua abad ke depan, organisasi ini musti kian matang dan punya kelebihan.


"Jika tidak, akibatnya seperti yang terlihat sekarang ini. Muhammadiyah cenderung lemah dalam menentukan sesuatu, salah satunya terkait kepemilikan aset dan struktur keanggotaan," jelasnya.

Kim mencontohkan sistem keanggotaan Muhammadiyah yang terlalu mengikat. Sehingga, ketika seseorang tokohnya keluar dari keanggotaan, Muhammadiyah seperti kehilangan arah.

"Sebenarnya masuk Muhammadiyah itu tidak susah, namun karena kurang kompak dalam keanggotaan akibatnya terjadi pembatasan terhadap setiap orang yang mau masuk dan terlibat. Kelihatan keanggotaan sekarang terlalu ketat. Harusnya bisa dibiarkan dia berjalan sesuai dengan kebebasannya, jangan terlalu dimonitor," saran Kim.

Kim juga berpendapat, Ketua Umum Muhammadiyah ke depan tidak akan membawa perubahan yang banyak terhadap Muhammadiyah.
"Yang terpenting adalah bagaimana dia bisa membawa dan menjalankan tugas yang telah diamanatkan warga Muhammadiyah selama ini. Karena saya yakin yang nanti pun tidak akan berbeda dengan yang sekarang," ucapnya.

Lia Harahap
www.detiknews.com


Muhammadiyah tak Punya Kekuatan Oposisi

Para tokoh PP Muhammadiyah periode 2010-2015 telah terpilih. Muktamirin memilih 13 nama. Bagaimana relasi Muhammadiyah dengan pemerintah lima tahun ke depan?

Menurut Profesor Hyung-Jun Kim dari Kangwon National University (KNU) Korea, ada fenomena menarik saat melihat Muktamar 46 Muhammadiyah. Yakni kemenangan Din Syamsuddin dalam pemilihan pengurus PP Muhammadiyah dan desakan peserta muktamar agar Muhammadiyah memperbaiki hubungan dengan pemerintah.

"Ada dua pendekatan peserta muktamar dalam menggunakan pandangannya. Pertama, pada figur Pak Din Syamsuddin. Tapi di sisi lain mendorong agar Muhammadiyah tidak menjadi oposisi," ujarnya kepada pers termasuk R Ferdian Andi R dari INILAH.COM di arena Muktamar 46 Muhammadiyah di UMY, Yogyakarta, Selasa (6/7).

Bagaimana relasi Muhammadiyah dengan pemerintah? Berikut analisis Profesor Kim selengkapnya:

Bagaimana sebaiknya Muhammadiyah bersikap dengan pemerintah?

Tidak pernah terjadi Muhammadiyah oposisi dengan pemerintah. Cuma kemarin saat ada pemilu, oposisi ke pemerintah menonjol. Saya bisa mengerti kenapa Pak Din banyak dapat suara dalam pemilihan PP Muhammadiyah.

Bagi saya anggota Muhammadiyah menerima posisi oposisi kepada pemerintah, tapi di satu sisi dalam dinamika rapat-rapat komisi, ada upaya mendorong agar Muhammadiyah kooperatif dengan pemerintah.

Mengapa ini terjadi?

Mungkin peserta muktamar menggunakan dua pandangan. Pertama, pada figur Pak Din Syamsuddin, tapi di sisi lain mendorong agar Muhammadiyah tidak menjadi oposisi. Ada peran simbolik, tapi ada kolektivitas. Misalnya, tidak pernah Muhammadiyah memberikan dukungan ke JK dalam pilpres lalu, yang ada orang per orang.


Kalau pakai logika seperti itu, tidak pernah ada oposisi antara pemerintah dengan Muhammadiyah. Fenomena kemenangan Pak Din memberi sinyal, warga Muhammadiyah tidak mau menjadi oposisi kepada pemerintah.

Apakah sikap Muhammadiyah selama ini cukup taktis di tengah menggumpalnya kekuatan rezim SBY-Boediono?

Faktanya, wacana kompromi terus dibicarakan. Saya pikir Muhammadiyah tidak punya kekuatan perang ke pemerintah. Muhammadiyah berperan ke pendidikan. Kekuatan politik tidak begitu kuat di Muhammadiyah. Dari dinamika di muktamar, sedikit demi sedikit ada sinyal untuk berkompromi dengan pemerintah.

Apa makna kompromi yang disuarakan oleh peserta muktamar khususnya dari daerah?

Secara tidak langsung ini akibat tekanan, meski tidak tampak. Kelihatannya ya salah satunya soal bantuan pemerintah yang tidak selancar sebelumnya.

Apakah kemenangan Pak Din ini menjadi indikasi Muhammadiyah akan semakin menjauh dari PAN?

Ya, posisinya seperti itu. Masalahnya, waktu ada wacana Pak Amien mau balik ke Muhammadiyah, ada penolakan luar biasa dari publik Muhammadiyah. Ini indikasi hubungan PAN dan Muhammadiyah tidak seperti di era 1999.

Publik Muhammadiyah mempersoalkan kepribadian Amien saat ada wacana kembali ke Muhammadiyah. Ini saya kira luar biasa dan mungkin membawa dampak ke PAN.

www.inilah.com


Pengamat: Muhammadiyah Saat Ini Seperti Gajah Gemuk

100 tahun sejak berdiri, Muhammadiyah sudah memiliki ribuan amal usaha seperti sekolah, rumah sakit dan panti asuhan. Di mata pengamat, Muhammadiyah sudah seperti seekor gajah yang gemuk dan berat sehingga tidak lincah lagi.

"Muhammadiyah jadi gemuk dan berat, sehingga susah bergerak," kata pengamat Muhammadiyah asal Jepang, Prof Mitsuo Nakamura dalam diskusi di Media Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Jl Ring Road Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Selasa (6/7/2010).

Prof Nakamura yang pernah meneliti mengenai Kampung Kotagede tahun 1970-an itu menambahkan, Muhammadiyah juga mengalami proses birokratisasi. Hal tersebut terjadi baik di tingkat nasional maupun lokal di daerah-daerah.

Meski demikian, secara obyektif Muhammadiyah merupakan gerakan keagamaan yang sukses. Hal itu ditunjukkan dengan besarnya jumlah amal usaha dan jumlah simpatisan Muhammadiyah serta pengaruhnya terhadap elite masyarakat.

"Namun apakah sukses dalam amal usaha itu bisa dikaitkan dengan tujuan gerakan Muhammadiyah yaitu mencapai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Bagaimana cara mengukurnya," ungkap Nakamura yang selalu hadir setiap kali ada Muktamar baik Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU) itu.

Dia juga mempertanyakan berbagai agenda kegiatan Muktamar yang terkesan terbalik. Mekanisme pemilihan 13 anggota PP Muhammadiyah yang telah selesai tapi sidang untuk membahas program-program ke depan baru dilakukan setelahnya.
"Memang pemilihan di Muhammadiyah itu sangat rigid. Itu merupakan cara mempertahankan diri dari segala intervensi baik dari dalam maupun luar," ungkap Nakamura.

Bagus Kurniawan
www.detiknews.com


Prof Nakamura: Muhammadiyah Harus Diperbaharui

Pengamat gerakan Islam asal Jepang, Prof Mitsuo Nakamura menyatakan unik dan heran dengan gerak langkah Muhammadiyah selama ini. Muhammadiyah merupakan gerakan 'tajdid' atau pembaruan yang perlu di-tajdid-i atau diperbarui.

Nakamura yang pernah mengajar di Harvard University itu juga menyindir tema Muktamar Seabad Muhammadiyah, 'Gerak Melintasi Zaman, Dakwah, dan Tajdid Menuju Peradaban Utama'. Nakamura mengaku heran dengan organisasi sebesar Muhammadiyah tapi masih saja mempraktikkan langkah terbalik.

"Semestinya, menentukan dulu program yang akan dijalankan ke depan, baru kemudian memilih pemimpin yang cocok untuk menjalani program tersebut. Tapi, di Muhammadiyah, justru memilih dulu figur pemimpinnya, baru kemudian membahas program-program ke depan," kata Nakamura di sela-sela Muktamar Seabad Muhammadiyah, di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa (6/7).

Nakamura mengaku tidak mengetahui persis 13 nama yang telah terpilih sebagai anggota PP Muhammadiyah 2010-2015, namun Nakamura mengharapkan, figur-figur tersebut mampu menjalankan amanah secara baik. "Muhammadiyah telah menjadi 'gajah yang gemuk' sehingga perlu keahlian tersendiri untuk dapat menjalankan gerak organisasi," kata Nakamura.


Nakamura mengkritik, selama ini Muhammadiyah lebih bersifat egosentrik, subyektif, dan terlalu memuji diri sendiri. Pencapaian yang selama ini diklaim sebagai keberhasilan Muhammadiyah sangat susah untuk diukur.

"Muhammadiyah mencanangkan pembentukan manusia Islam yang sebenar-benarnya. Tapi, bagaimana mengukur Islam yang sebenar-benarnya itu? Sangat susah," kata Nakamura.

Karenanya, saran Nakamura, Muhammadiyah di masa mendatang harus menentukan target, program, dan langkah yang jelas dan terukur sehingga keberhasilannya pun bisa dilihat bukan hanya dari kacamata Muhammadiyah sendiri namun juga dari analisa ilmu sosial secara umum. "Jika sudah seperti itu, baru Muhammadiyah bisa mengklaim keberhasilan yang mereka capai," kata Nakamura.


Antropolog Korea Heran Sikap Warga Muhammadiyah

Antropolog asal Korea Prof Hyung-Jun Kim PhD mengaku terheran-heran setelah mengikuti muktamar Muhammadiyah sejak hari pertama. Ketika mengetahui Din Syamsuddin meraih suara terbanyak, Prof Kim beranggapan Muhammadiyah akan mengambil langkah lebih kritis terhadap pemerintah. Tapi, ketika mengikuti sidang komisi, ternyata sebagian besar muktamirin masih menginginkan untuk selalu bekerjasama dengan pemerintah. "Jadi, saya tidak habis pikir dengan warga Muhammadiyah ini," kata Prof Kim sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala, di Yogya, Selasa (6/7).

Profesor dari Kangwon National University itu melihat Din Syamsuddin sebagai figur yang selama ini mengambil sikap sebagai oposan pemerintah. Sehingga, Prof Kim pun menjadi terheran-heran ketika ada 1.915 muktamirin yang memilih Din, tapi kemudian menginginkan sikap kerjasama dengan pemerintah saat mereka mengikuti sidang komisi.

Prof Kim yang mengaku telah mengamati Muhammadiyah sejak mengikuti kiprah Amien Rais saat pemilihan presiden (pilpres) 2004 itu pun menilai, Muhammadiyah sebagai organisasi yang unik dan tak bisa disamakan dengan organisasi sebagaimana biasanya. "Terutama dalam hal hubungan birokratis antara pimpinan pusat dan wilayah maupun daerah, pun antara pimpinan dengan segenap anggota," kata Kim yang tengah melakukan riset soal Muhammadiyah.

Prof Kim menilai, Muhammadiyah terlalu terbuka sehingga siapa pun bisa menjadi anggota secara mudah tanpa persyaratan yang ketat. "Bagi Muhammadiyah, itu membanggakan karena memiliki anggota dalam jumlah besar. Tapi, dari sisi lain, bisa dianggap kelemahan karena siapa pun bisa masuk dan keluar seenaknya," kata Prof Kim.

www.jakartapress.com

No comments: