Friday, February 5, 2010

Sapi di Sela Cicak dan Buaya


Dugaan korupsi bantuan sapi Departemen Sosial mencuat lagi. Menyasar anak Buyung Nasution.

“INI konspirasi,” kata Iken Nasution berkali-kali. Dugaan korupsi pengadaan sapi potong untuk kaum duafa oleh Departemen Sosial yang kembali mencuat membuat pria 53 tahun ini tersudut. Putra advokat senior Adnan Buyung Nasution ini adalah Komisaris PT Atmadhira Karya, perusahaan yang ditunjuk buat mengimpor 2.800 ekor sapi Steer Brahman Cross dari Australia, lima tahun silam.

”Saya diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2007 dan tak terbukti terlibat,” kata Iken kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Ia bersumpah semua permintaan sapi sudah dipenuhi dan didistribusikan perusahaannya.

Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki kasus ini sejak 2007, ketika dipimpin Taufiequrachman Ruki. Bachtiar Chamsyah, ketika itu Menteri Sosial, telah diperiksa bersama sejumlah anak buahnya. Hingga kini tak seorang pun ditetapkan menjadi tersangka. Pemeriksaan pun berhenti. ”Bukti kurang, tapi masih diselidiki,” kata sumber Tempo.

Dua tahun mengendap, kasus ini diungkit lagi bersamaan dengan meletupnya perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian —lebih dikenal sebagai ”cicak versus buaya”. Bonaran Situmeang, kuasa hukum pengusaha Anggodo Widjojo, adalah pengungkitnya. Ia menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melaporkan Tim Independen Verifikasi Fakta Hukum Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Ia menuduh, tim bentukan Presiden pimpinan Buyung Nasution itu cenderung membela dua pemimpin nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dijadikan tersangka kasus pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh polisi.


Bonaran menganggap, tim pimpinan Buyung itu berat sebelah ketika mendesak Kepala Polri membebaskan Chandra-Bibit. Tim juga minta polisi menahan Anggodo, adik tersangka Anggoro Widjojo, yang diduga ikut berperan melakukan rekayasa kasus Chandra dan Bibit. Padahal polisi menyatakan tak cukup bukti buat menetapkan Anggodo sebagai tersangka. Bonaran lalu menuduh, keberpihakan tim itu berhubungan dengan kasus Iken di Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Itu laporan masyarakat yang kami teruskan ke Presiden,” katanya. Tapi, ”Belum ada tanggapan beliau.”

Buyung, yang dimintai tanggapan atas tuduhan Bonaran, mengaku tidak mengetahui detail kasus yang melibatkan anaknya. Ia mengaku tak pernah bicara tentang kasus itu dengan anaknya. ”Silakan hukum ditegakkan bila anak saya terbukti bersalah. Saya tak ada kaitan dengan itu,” ujar Buyung Nasution.

Pejabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Tumpak Hatorangan Panggabean membantah penyelidikan kasus korupsi sapi dihentikan. Ia menyebutkan, kasus ini akan ditingkatkan ke tahap penyidikan bersamaan dengan kasus dugaan korupsi pengadaan mesin jahit dan sarung di Departemen Sosial. ”Segera digelar perkara, lalu penyidikan,” ujarnya.

Tumpak menjelaskan, pada 2007 Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta Komisi Pemberantasan Korupsi menertibkan rekening liar di Departemen Sosial. Proyek pengadaan sapi, mesin jahit, dan sarung diduga dilakukan dengan dana dari rekening liar itu. Jadi, kata dia, dugaan korupsi sapi tak dihentikan.


Pada pertengahan 2007, KPK menyelidiki dugaan korupsi dana pemberdayaan sosial bagi kaum fakir miskin di Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial. Audit Badan Pemeriksa Keuangan semester II 2005 menyimpulkan adanya 70 dugaan penyimpangan senilai Rp 287,89 miliar, termasuk pada proyek pengadaan sapi dan mesin jahit. Penyelidikan macet ketika kepemimpinan KPK beralih dari Taufiequrachman ke Antasari Azhar. Penyebabnya, menurut sumber Tempo, kedekatan Antasari dengan pengusaha Sigid Haryo Wibisono, staf ahli Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah.

Kepada Tempo, Bachtiar Chamsyah menguraikan perjalanan kasus ini, Jumat pekan lalu, di kantor Persaudaraan Muslimin Indonesia, Tebet, Jakarta Selatan. Ia membawa ”rombongan” mantan anak buahnya. Di antaranya Heri Kris, mantan sekretaris Menteri Sosial yang kini kepala hubungan masyarakat departemen itu. Lalu M. Cholis Hasan, Sekretaris Jenderal Departemen Sosial yang ketika itu inspektur jenderal departemen yang sama.

Menurut Bachtiar, pengadaan sapi potong merupakan program bantuan fakir miskin yang bersumber dari dana anggaran negara 2004. Proyek ini dilakukan lewat penunjukan langsung oleh Direktur Jenderal Bantuan Jaminan Sosial, Amrun Daulay. Dasarnya, usulan Direktur Bantuan Sosial Fakir Miskin Mulyono Machasi lewat surat Nomor 48 D/BP-BSFM/IX/2004 Tanggal 9 September 2004. ”Pak Amrun lalu menggandeng Iken, pemimpin PT Atmadhira Karya,” kata Bachtiar.

Ketika proyek berjalan, menurut Bachtiar, Atmadhira menjual 1.599 ekor sapi tanpa memberi tahu Departemen Sosial. Pengiriman dan penerimaan berdasarkan surat perjanjian borongan juga terlambat. Sapi yang disetor akhirnya kurang 900 ekor dari pesanan. ”Sembilan ratus ekor sapi itu seolah-olah sudah diterima padahal tidak ada,” katanya.


Pada tahun yang sama, Bachtiar mengatakan sedang menggalang dana renovasi gedung sekolah menengah atas di dekat Danau Maninjau, Sumatera Barat, tempat dulu ia belajar. Kegiatan ini dipimpin Lukman Hakim, teman sekolahnya. Pada suatu hari, Amrun datang menyorongkan Rp 700 juta, yang diterima Lukman. Belakangan, ketika ribut-ribut hilangnya 900 sapi, Bachtiar mengetahui sumbangan berasal dari duit sapi. Ia mengaku marah dan mengembalikan duit Rp 700 juta.

Bachtiar menyebutkan, 900 sapi itu bernilai Rp 5 miliar. Iken ketika itu tak punya duit. Datanglah Sigid Haryo Wibisono menawarkan pinjaman. Pengusaha yang kini menjadi tersangka pembunuhan itu mengutangi Iken Rp 2,7 miliar. Sisanya dipinjami rekan sang pengusaha. ”Jadi ini urusan Sigid dan Iken, tak ada sangkut-pautnya dengan Departemen Sosial,” ujar Bachtiar.

Iken mengagunkan tanahnya di Indramayu sebagai jaminan kepada Sigid. Ternyata, menurut Bachtiar, tanah itu sudah dijual Iken ke orang lain. Cholis Hasan mengiyakan cerita Bachtiar. Menurut dia, perjanjian utang Iken bahkan diwujudkan dalam akta notaris. Soal dugaan korupsi mesin jahit dan sarung untuk anak yatim piatu, menurut Bachtiar, tak terkait dengan kasus sapi.


Iken bersumpah menjalankan proyek pengadaan sapi melalui prosedur dan pengajuan proposal. Menurut dia, perusahaannya telah memenuhi proyek senilai Rp 19,8 miliar ini. Ia menegaskan, 2.800 ekor sapi jenis Steer Brahman Cross dari Australia telah diserahkan pada 2004. Ia mengaku tak mengetahui dugaan 900 sapi fiktif dan sumbangan Rp 700 juta untuk renovasi sekolah Bachtiar. ”Itu urusan Sularto, salah satu direktur saya.”

Iken menduga, kasus sapi sengaja dibuka kembali buat memukul ayahnya. Sepekan sebelum Bonaran menyurati Presiden, Iken mengaku diberi tahu temannya yang mendengar perbincangan dua orang di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan. Isinya, niat melemahkan Buyung Nasution dengan mengungkit kasus sapi. ”Jadi ini semua konspirasi,” ia menegaskan.

Iken membantah membuat perjanjian utang dengan Sigid seperti diceritakan Bachtiar. Ia pun mengatakan tak mengenal dan memiliki urusan dengan pengusaha yang dikenal dekat dengan para petinggi kepolisian itu. Ia bahkan menyebutkan, Atmadhira Karya sudah gulung tikar karena kasus ini.

Merugi miliaran rupiah, kandang sapi konstruksi baja dan tanah 10 hektare milik Atmadhira ludes. Ia mengatakan, tanah itu bukan agunan sehingga dijual agar proyek sapi selesai. Ditanya apakah tanah dan kandang sapi berlokasi di Indramayu, ”Itu rahasia perusahaan. Yang jelas, saya sudah bangkrut,” jawab Iken. ”Sekarang saya hanya kerja membantu teman agar dapur ngebul.”

Dwidjo U. Maksum
MBM TEMPO, 42/XXXVIII 07 Desember 2009

No comments: