Friday, December 19, 2008

Pertumbuhan Profesionalitas Keguruan


Profesionalitas keguruan —atau keprofesionalan di bidang keguruan— adalah sesuatu yang tumbuh, berkembang, dan layu.

Keprofesionalan itu tumbuh saat seseorang menyiapkan diri menjadi guru. Berkembang saat mereka bekerja sebagai guru; layu saat mereka tak lagi menggeluti pekerjaan sebagai guru.

Pandangan ini bertentangan dengan anggapan banyak orang, profesionalisme dan profesionalitas merupakan sesuatu yang konstan, tidak berubah-ubah, dalam diri guru. Menurut anggapan ini, jika seseorang telah mendapat pendidikan profesional untuk pekerjaan guru, ia akan menjadi guru profesional dengan profesionalitas yang menetap di suatu jenjang tangga profesionalitas keguruan.

Mana yang benar? Menurut saya anggapan pertama. Dalam setiap profesi, profesionalitas seseorang akan berubah dan umumnya perubahan itu berupa kenaikan. Amat langka profesionalitas seseorang mengalami kemunduran. Ini hanya terjadi ketika orang meninggalkan jabatan profesionalnya.

Almarhum Prof Dodi Tisna Amijaya semula adalah seorang ilmuwan biologi. Namun, setelah bertahun-tahun menjadi birokrat —mulai dari Rektor ITB, lalu Dirjen Pendidikan Tinggi, Ketua LIPI, dan akhirnya Duta Besar RI di Paris— beliau merasa bukan lagi seorang ilmuwan biologi. Katanya suatu ketika, "Saya ini kan bukan biologist lagi. Saya sudah berubah menjadi biopolitician."

Begitu pula jika seorang dokter pindah jabatan menjadi menteri. Ia akan kehilangan profesionalitasnya sebagai dokter, apalagi jika dokter itu bertahun-tahun bertahan menjadi menteri. Almarhum dr Soedarsono, mantan Dubes RI di Yugoslavia, pada tahun 1947 duduk sebagai anggota Delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Linggarjati. Suatu saat, ada seorang anggota delegasi asing jatuh sakit. Dr Soedarsono diminta memeriksa anggota delegasi asing itu. Merasa tidak sanggup lagi melakukan pekerjaan seorang dokter, dia meminta koleganya, almarhum dr Yuwono, untuk menggantikan memeriksa pasien asing itu. Kata dr Soedarsono kepada dr Yuwono: "Tolong gantikan saya! Saya sudah bertahun-tahun tidak memeriksa pasien." Konon, selama pendudukan Jepang beliau sibuk dengan urusan politik.

Profesionalitas
Mari kita periksa dinamika profesionalitas bidang kepilotan.

Ketika seseorang menyelesaikan pendidikannya sebagai pilot, ia sudah seorang pilot profesional. Tetapi, profesionalitasnya dalam mengemudikan pesawat terbang masih terbatas. Ia hanya boleh mengemudikan pesawat terbang dari jenis yang dipelajari selama pendidikan. Biasanya jenis ringan atau kecil dan belum boleh mengemudikan pesawat terbang besar, seperti Boeing 737 atau Boeing 747. Izin untuk ini kelak akan diperoleh setelah ia mengikuti serangkaian pendidikan pilot tambahan. Jika kelak pilot itu dipindahkan dari pesawat Boeing 747 ke Airbus 380, ia harus menjalani pendidikan atau pelatihan khusus untuk Airbus 380 sebelum benar-benar boleh mengemudikan Airbus 380.

Bagaimana dengan seorang guru? Ketika ia menyelesaikan pendidikan profesionalnya sebagai guru, ia sudah disebut guru profesional. Gajinya pun sudah lebih tinggi daripada guru yang belum mendapat predikat guru profesional. Tetapi, dalam status guru profesional pemula, profesionalitas keguruannya masih terbatas. Ia belum dapat melaksanakan tugas-tugas keguruan yang kompleks. Misalnya, ia belum dapat menangani murid yang bandel. Ia juga belum mampu melayani dengan baik kebutuhan murid yang amat cerdas atau yang lamban pikirannya. Ia baru dapat melayani murid-murid biasa, murid "rata-rata" (average pupils) karena baru itulah yang dipelajari.

Batas profesionalitas
Dalam setiap profesi, ada tugas-tugas profesional yang relatif mudah selain yang relatif rumit. Tugas profesional yang relatif mudah dapat diserahkan kepada profesional pemula dengan kecakapan profesional minimal. Adapun tugas profesional yang kompleks atau rumit harus ditangani petugas profesional dengan profesionalitas lebih tinggi.

Di bidang kedokteran, dokter muda dengan profesionalitas kedokteran masih minim hanya boleh menangani apa yang disebut "penyakit-penyakit umum". Untuk penyakit-penyakit khusus harus ditangani dokter dengan profesionalitas lebih tinggi, seperti dokter spesialis.

Masalahnya, apa batas minimal profesionalitas keguruan? Ini merupakan masalah yang harus ditentukan secara hati-hati. Dalam bidang profesionalitas pilot, batas minimalnya (mungkin) mampu menerbangkan pesawat secara lancar dan selamat. Tetapi, jika pilot profesional pemula ini dibajak di udara, dapatkah dia mengatasinya dengan baik, tanpa seorang penumpang pun menjadi korban? Mungkin tidak! Untuk mengatasi pembajakan udara, diperlukan pilot dengan profesionalitas kepilotan lebih tinggi.

Profesionalitas tambahan seperti ini biasanya datang dari pengalaman. Jadi, dalam bidang kepilotan, peningkatan jenjang profesionalitas ditentukan oleh dua faktor, pendidikan lanjutan dan pengalaman.

Profesionalitas keguruan
Bagaimana dengan keguruan? Faktor-faktor apa yang menjadi kriteria untuk menentukan, apakah jenjang profesionalitas seorang guru harus dinaikkan atau belum? Saya tidak tahu! Saya tidak punya pengalaman di bidang supervisi pendidikan.

Pertanyaan ini dikemukakan dengan maksud agar kita yang merasa turut berkepentingan juga ikut memikirkannya. Jika masyarakat tidak turut berpikir, proyek besar nasional untuk membuat guru-guru kita menjadi profesional bisa terancam bahaya kekacauan konseptual yang dalam praktik bisa muncul dalam berbagai jenis malapraktik dalam pengelolaan guru.

Tujuan profesionalisasi keguruan ini akhirnya bukan hanya menciptakan kesempatan bagi para guru untuk meningkatkan pendapatannya secara sah (legitimate). Yang lebih penting ialah menaikkan kompetensi para guru kita dalam kegiatan pembelajaran (teaching), kegiatan pelatihan (training), dan kegiatan pendidikan (educating).

Secara umum, batas minimal profesionalitas keguruan ditentukan oleh definisi kita tentang kompetensi keguruan. Apa tugas guru? Menyelenggarakan kegiatan pembelajaran saja, atau juga menyelenggarakan pelatihan dan kegiatan pendidikan?

Pertanyaan ini pada gilirannya bergantung pada paradigma pendidikan yang kita ikuti. Jika kita ingin membentuk watak para murid, selain membimbing mereka memupuk pengetahuan dan keterampilan, mau tidak mau kita harus mengikuti paradigma klasik, yaitu pendidikan adalah kegiatan untuk memupuk keterampilan hidup, yaitu keterampilan menghidupi sendiri, keterampilan hidup secara bermakna, dan untuk turut memuliakan kehidupan.

Jika ini paradigma yang diikuti, berdasarkan pelajaran sejarah pendidikan universal, di sekolah para murid harus dibimbing untuk memupuk pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan kearifan (wisdom).

Jika pandangan ini yang diikuti, profesionalitas keguruan sungguh bukan hal sederhana, yang cukup dipelajari sekali dalam hidup. Profesionalitas keguruan merupakan keterampilan yang kompleks, yang harus jelas dirinci untuk dapat dikuasai dengan baik oleh setiap guru.

Mochtar Buchori, Pendidik
KOMPAS, 17 Desember 2008

2 comments:

KULYUBI ISMANGUN said...

TANPA JUDUL

kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan
sendiri pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan

kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis Indonesia,

11 agustus 96


BUNGA DAN TEMBOK

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak kaukehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak kaukehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

seumpama bunga
kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersamad
engan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di mana pun – tirani harus tumbang!

Solo, ’87 - ‘88

KULYUBI ISMANGUN said...

PAULO FREIRE DAN REFLEKSI PENDIDIKAN INDONESIA

Untuk menggambarkan betapa pentingnya Freire dalam dunia pendidikan bisa disimak dari statemen Moacir Gadotti dan
Carlos Alberto Torres (1997) "Educators can be with Freire or against Freire, but not without Freire." Pernyataan ini
menunjukkan signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia (ada sembilan buku yang
telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya
yang tinggi kepada manusia. Dengan kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah dunia yang "menos feio,
menos malvado, menos desumano" (less ugly, less cruel, less inhumane).

Mengapa Freire punya banyak pengikut? Menurut kesaksian Martin Carnoy (1998), dikarenakan dia mempunyai arah politik
pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich. Arah politik pendidikan Freire berporos pada
keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter,
tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya.
Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak
bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain.

Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah
berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel,
tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui. Pertanyaannya, bagaimana mengemansipasi mereka yang tertindas?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and
unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas
eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan
ontologis (ontological vocation) manusia.

Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada
keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya.

Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan
ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik
sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran
manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan
mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu tempat ia
berkembang. Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini
sekaligus.

Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang
bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an
sich, karena ia harus terlibat (bersama- sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan.
Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi
mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu
mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi
dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi
status quo.

Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya
sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih
demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking
a word must be related to transforming reality." Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di
kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks
dan konteks, teks dan realitas.

PELAJARAN yang bisa ditarik Freire untuk konteks pendidikan kita paling tidak adalah komitmennya terhadap kaum
marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya pendidikan kita saat ini berpihak?
Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak
telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada
sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke
sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?

Bukankah dengan membiarkan kesenjangan itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya Samuel Bowles
dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), bahwa sekolah hanya berfungsi sebagai alat untuk
melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo?
Ada dua kelompok kaum marjinal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik dalam hal
pendidikan:

Pertama, penyandang cacat. Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang
memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan mereka dibedakan dengan kaum
"normal." Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu
bersaing dengan yang normal karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal.
Jika asumsi ini benar, bukankah tugas sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu? Jika ada yang tidak
mampu, mengapa solusinya dengan cara pengeksklusian, bukan dengan pemberdayaan? Jika asumsi itu salah,
bukankah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat pendidikan yang sama seperti yang diperoleh orang
normal? Tidakkah ini berarti diskriminasi?

Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka
tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadilah mereka sebagai warga kelas dua. Anak-anak normal juga tidak
mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang
cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya di sekolah.
Kedua, anak-anak jalanan. Secara kuantitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota-kota besar. Mereka adalah kaum
miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan. Di mana peran negara dalam memberi
pendidikan yang layak buat mereka? Meski negara bukan satu-satunya aktor yang bertanggung jawab, tetapi bukankah
negara telah diamanati UUD?

Jika kita memakai perspektif Paulo Freire, kunci utama agar kedua kelompok itu bisa menjadi subyek yang otonom dan
bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi
struktur sosial yang tidak adil.

Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan
keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi.