tag:blogger.com,1999:blog-1041418247393119243.post8956007957067084467..comments2023-10-30T23:06:10.359+07:00Comments on Adib Susila Siraj Satu: Pertumbuhan Profesionalitas KeguruanAdib Susila Sirajhttp://www.blogger.com/profile/04132896485724884035noreply@blogger.comBlogger2125tag:blogger.com,1999:blog-1041418247393119243.post-6315789840571784542008-12-19T21:33:00.000+07:002008-12-19T21:33:00.000+07:00PAULO FREIRE DAN REFLEKSI PENDIDIKAN INDONESIA Unt...PAULO FREIRE DAN REFLEKSI PENDIDIKAN INDONESIA <BR/><BR/>Untuk menggambarkan betapa pentingnya Freire dalam dunia pendidikan bisa disimak dari statemen Moacir Gadotti dan <BR/>Carlos Alberto Torres (1997) "Educators can be with Freire or against Freire, but not without Freire." Pernyataan ini <BR/>menunjukkan signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia (ada sembilan buku yang <BR/>telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya <BR/>yang tinggi kepada manusia. Dengan kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah dunia yang "menos feio, <BR/>menos malvado, menos desumano" (less ugly, less cruel, less inhumane).<BR/><BR/>Mengapa Freire punya banyak pengikut? Menurut kesaksian Martin Carnoy (1998), dikarenakan dia mempunyai arah politik <BR/>pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich. Arah politik pendidikan Freire berporos pada <BR/>keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter, <BR/>tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya.<BR/>Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak <BR/>bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain.<BR/><BR/>Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah <BR/>berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, <BR/>tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui. Pertanyaannya, bagaimana mengemansipasi mereka yang tertindas?<BR/>Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and <BR/>unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas <BR/>eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan <BR/>ontologis (ontological vocation) manusia.<BR/><BR/>Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada <BR/>keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya.<BR/><BR/>Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan <BR/>ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik <BR/>sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran <BR/>manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan <BR/>mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu tempat ia <BR/>berkembang. Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini <BR/>sekaligus.<BR/><BR/>Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang <BR/>bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an <BR/>sich, karena ia harus terlibat (bersama- sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan.<BR/>Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi <BR/>mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu <BR/>mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi <BR/>dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi <BR/>status quo.<BR/><BR/>Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya <BR/>sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih <BR/>demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking <BR/>a word must be related to transforming reality." Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di <BR/>kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks <BR/>dan konteks, teks dan realitas.<BR/><BR/>PELAJARAN yang bisa ditarik Freire untuk konteks pendidikan kita paling tidak adalah komitmennya terhadap kaum <BR/>marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya pendidikan kita saat ini berpihak? <BR/>Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak <BR/>telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada <BR/>sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke <BR/>sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?<BR/><BR/>Bukankah dengan membiarkan kesenjangan itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya Samuel Bowles <BR/>dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), bahwa sekolah hanya berfungsi sebagai alat untuk <BR/>melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo?<BR/>Ada dua kelompok kaum marjinal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik dalam hal <BR/>pendidikan:<BR/><BR/>Pertama, penyandang cacat. Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang <BR/>memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan mereka dibedakan dengan kaum <BR/>"normal." Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu <BR/>bersaing dengan yang normal karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal.<BR/>Jika asumsi ini benar, bukankah tugas sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu? Jika ada yang tidak <BR/>mampu, mengapa solusinya dengan cara pengeksklusian, bukan dengan pemberdayaan? Jika asumsi itu salah, <BR/>bukankah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat pendidikan yang sama seperti yang diperoleh orang <BR/>normal? Tidakkah ini berarti diskriminasi?<BR/><BR/>Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka <BR/>tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadilah mereka sebagai warga kelas dua. Anak-anak normal juga tidak <BR/>mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang <BR/>cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya di sekolah.<BR/>Kedua, anak-anak jalanan. Secara kuantitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota-kota besar. Mereka adalah kaum <BR/>miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan. Di mana peran negara dalam memberi <BR/>pendidikan yang layak buat mereka? Meski negara bukan satu-satunya aktor yang bertanggung jawab, tetapi bukankah <BR/>negara telah diamanati UUD?<BR/><BR/>Jika kita memakai perspektif Paulo Freire, kunci utama agar kedua kelompok itu bisa menjadi subyek yang otonom dan <BR/>bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi <BR/>struktur sosial yang tidak adil.<BR/><BR/>Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan <BR/>keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi.KULYUBI ISMANGUNhttps://www.blogger.com/profile/06543742574844254107noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-1041418247393119243.post-16052154715545875722008-12-19T20:57:00.000+07:002008-12-19T20:57:00.000+07:00TANPA JUDULkuterima kabar dari kampungrumahku kali...TANPA JUDUL<BR/><BR/>kuterima kabar dari kampung<BR/>rumahku kalian geledah<BR/>buku-bukuku kalian jarah<BR/>tapi aku ucapkan banyak terima kasih<BR/>karena kalian telah memperkenalkan<BR/>sendiri pada anak-anakku<BR/>kalian telah mengajar anak-anakku<BR/>membentuk makna kata penindasan<BR/>sejak dini<BR/>ini tak diajarkan di sekolahan<BR/>tapi rezim sekarang ini memperkenalkan<BR/>kepada semua kita<BR/>setiap hari di mana-mana<BR/>sambil nenteng-nenteng senapan<BR/><BR/>kekejaman kalian<BR/>adalah bukti pelajaran<BR/>yang tidak pernah ditulis Indonesia,<BR/><BR/>11 agustus 96<BR/><BR/><BR/>BUNGA DAN TEMBOK<BR/><BR/>seumpama bunga<BR/>kami adalah bunga yang tak kaukehendaki tumbuh<BR/>engkau lebih suka membangun<BR/>rumah dan merampas tanah<BR/><BR/>seumpama bunga<BR/>kami adalah bunga yang tak kaukehendaki adanya<BR/>engkau lebih suka membangun<BR/>jalan raya dan pagar besi<BR/><BR/>seumpama bunga<BR/>kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri<BR/><BR/>jika kami bunga<BR/>engkau adalah tembok<BR/>tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji<BR/>suatu saat kami akan tumbuh bersamad<BR/>engan keyakinan: engkau harus hancur!<BR/>dalam keyakinan kami<BR/>di mana pun – tirani harus tumbang!<BR/><BR/>Solo, ’87 - ‘88KULYUBI ISMANGUNhttps://www.blogger.com/profile/06543742574844254107noreply@blogger.com