Friday, October 3, 2014

Imaji


Untuk perayaan Hari Aksara Internasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menyelenggarakan beberapa acara, salah satunya Festival Taman Bacaan Masyarakat (TBM) ketiga yang berlangsung di Kendari, Sulawesi Tenggara, 17-21 September 2014, lalu.

“Merayakan Keragaman Imajinasi Menuju Literasi Indonesia Unggul” menjadi tema festival ini. Tema yang kontekstual itu dipadu dengan situasi yang belangsung di Indonesia, yaitu tengah bermekarannya beragam aktivitas produktif yang berbasis pada imaji.

Betul sekali nubuat Albert Einstein bahwa imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Karena itu, jika TBM ini ingin menjadi bagian dari apa yang disebut literasi Indonesia unggul, ia harus selalu terhubung dengan persoalan-persoalan kebangsaan serta isu-isu global sebagai sumber imaji dan gagasan, bukan terus berkutat pada persoalan internal, seperti koleksi buku yang kurang atau jumlah pengunjung yang sedikit. Kalau persoalan klasik dan klise ini yang terus-menerus diekspos, TBM tidak akan beranjak ke mana-mana dan tak akan move on. Tak jadi masalah bila TBM ini merupakan entitas kecil. Sebab, biarpun kecil, kalau produktivitasnya tinggi, tetap akan mewarnai Indonesia.


Menurut saya -dalam konteks TBM sebagai salah satu pegiat budaya baca dan keberaksaraan- ada tiga penanda suatu bangsa dapat dikatakan memiliki keunggulan literasi. Pertama, memiliki program atau gerakan budaya membaca yang bersifat nasional. Misalnya, Hari Berbagi Buku Nasional (HB2N), Satu Rumah Satu Rak Buku, atau program Dari Buku Menjadi Karya. Manfaat kehadiran gerakan nasional ini secara isu akan menyatukan semua pegiat budaya membaca di Indonesia. Gerakan nasional itu menjadi pusat orbit aksi literasi di daerah. Minimal secara wacana, isu budaya membaca ini juga akan terus hidup. Tidak hilang dan mati akibat tertindih oleh persoalan yang terus datang bergulung-gulung menghampiri negeri ini.

Kedua, ada produk yang dihasilkan. Produk yang didasari imaji dan pengetahuan sebagai titik pijak keberangkatan awal. Melalui produk tersebut, orang bisa mencandrai dinamika dari sebuah gerakan budaya baca. Wujudnya bisa bersifat fisik, seperti buku yang berisi kearifan lokal, alat permainan edukatif literasi, dan hasil praktek dari buku menjadi karya. Atau yang bersifat non-fisik, misalnya warung arsip digital, perangkat lunak (software) pengelolaan TBM/perpustakaan, serta game literasi gratis yang dipasarkan melalui Android.


Ketiga, sistem. Menyadari betapa luasnya Indonesia kita ini, gerakan budaya membaca tentu saja tidak bisa direngkuh melalui pendekatan terpusat. Ia harus menjadi inisiatif masing-masing daerah. Sistem dibuat agar dapat dijadikan rujukan bagi semua pemangku kepentingan budaya membaca. Ini bisa membantu mereka menjawab pertanyaan, misalnya tentang dari mana dan bagaimana sebuah gerakan budaya membaca harus dimulai.

Tanpa ketiga hal tersebut, keunggulan literasi akan tetap menjadi mimpi. Karena itu, agar mimpi ini menjadi kenyataan, diperlukan upaya merasionalkan imaji dan kegilaan tingkat tinggi dalam menekuninya.

Agus M Irkham,
Pegiat Literasi
KORAN TEMPO, 18 September 2014

1 comment:

jaket kulit said...

salam hangat dari kami ijin menyimak sahabat