Wednesday, February 19, 2014

Menyikapi Iklan Politik


Gencarnya iklan politik di televisi menuai kritik publik. Beberapa waktu lalu, gabungan mahasiswa berbagai kampus dengan mengatasnamakan Gerakan Frekuensi Milik Publik mendatangi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat, mendesak KPI agar bersikap tegas terhadap tayangan iklan bernuansa kampanye. KPI sejatinya telah menegur dan memberi peringatan tertulis kepada enam stasiun televisi nasional terkait dengan tidak proporsionalnya siaran iklan bernuansa politik dan pemberitaan tidak berimbang terhadap semua partai politik. Agaknya peringatan KPI itu diabaikan dengan dalih penilaian atas iklan politik sebagai iklan kampanye adalah domain Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

KPI kini menghadapi dua arus. Pertama datang dari dorongan publik agar bertindak tegas terhadap banyaknya iklan politik di industri layar kaca, khususnya terhadap para owner (para pemilik) media penyiaran yang aktif di partai politik. Arus kedua datang dari industri televisi (lembaga penyiaran). Pihak lembaga penyiaran kerap berkelit soal iklan politik bukanlah iklan kampanye. KPI dinilai tidak berkompeten untuk memberikan sanksi dalam permasalahan pemilu. Bahkan, jika kedua regulator di rezim Pemilu 2014 (KPU dan Bawaslu) tidak menindak iklan yang ditayangkan, maka tindakan KPI terhadap penayangan iklan politik bisa dinilai sebagai melampaui kewenangan.

Penilaian semacam ini menjadi pertimbangan KPI dalam konteks penguatan legal standing penindakan terhadap iklan politik televisi. Masalahnya, nomenklatur “iklan politik” tidak verbal disebut dalam UU Nomor 8/2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPR, dan DPRD maupun di UU Nomor 32 tentang Penyiaran. Problem penyikapan iklan politik kian pelik mengingat nomenklatur “iklan kampanye”, baik bagi KPU maupun Bawaslu, harus memenuhi unsur subyek, ajakan, dan penyampaian visi-misi secara kumulatif. Maka jika “tidak kumulatif”, iklan politik tak dapat dikategori sebagai iklan kampanye. Nuansa batin ini yang melatari kehati-hatian KPI terkait dengan indikasi iklan kampanye.


Konteks ini, KPI sedang berikhtiar menyikapi tuntutan publik atas iklan politik dengan berupaya mengambil kebijakan dengan paradigma progresif. Sebab, secara sosiologis, publik (pemirsa) ketika melihat tayangan iklan politik, apa pun bentuknya, tidak akan melihat definisi nomenklatur “iklan kampanye” sebagai sebuah kampanye. Yang dibutuhkan saat ini, bukan lagi pendekatan hukum normatif semata, melainkan lebih mengedepankan etika publik dan beragam pemaknaan yang progresif.

Sebagai lembaga publik, KPI menyadari tugas dan tanggung jawabnya adalah mengabdi bagi sebesar-besarnya kepentingan publik. Karena itu, selain telah menegur enam stasiun televisi, KPI sedang merumuskan kebijakan batasan dan atau larangan terhadap semua tayangan politik hingga dimulainya masa kampanye (penghentian sementara). Selain itu, keputusan KPI tentang penjelasan terhadap perlindungan kepentingan publik, siaran jurnalistik, iklan, dan pemilihan umum dalam tahap finalisasi.

Perangkat aturan teknis dan hukum normatif senyatanya belum mampu menjangkau pengaturan atas iklan politik di televisi. Dengan kecanggihan seni dan kreativitas program, industri televisi lihai berkelit dan mampu menyiasati aturan. Terlebih, televisi sejatinya beroperasi di domain non-teknis (kognisi pemirsa). Televisi mempunyai “mesin reproduksi makna” sedemikian canggih yang dipoles dalam program tayangan. Ia mengarahkan pemirsa membenarkan apa yang dikatakan dengan persuasi yang sedemikian halus. Iklan politik di televisi menyediakan multimakna dalam merekonstruksi realitas tak terkatakan: kepentingan kampanye yang tersembunyi di balik program edukasi dan hiburan.


Televisi berkekuatan hegemonik menjalankan politik representasi. Realitas dipermak secara dramatis. Kepentingan kampanye disajikan dalam “realitas yang sudah dikemas” (manufactured realities). Di sini, KPI, KPU, dan Bawaslu berada dalam arus kekuasaan media (mediocracy) yang secara sempurna merekayasa program dengan kampanye halus (soft campaign). Dengan menggunakan pendekatan hegemoni ala Gramsci, potret “kuasa media” telah berjalan dalam sistem dominasi kepemilikan dan bergerak ke pemirsa tanpa paksaan.

Karena itu, ikhtiar kebijakan KPI mesti diimbangi dengan kesadaran etis lembaga penyiaran, terutama dari para pemiliknya. Bahwa frekuensi milik publik memang tak sepatutnya dipergunakan sepihak untuk kepentingan politik demi meningkatkan elektabilitas dalam Pemilu. Mesti disadari bahwa jutaan masyarakat pemirsa (publik) Indonesia saat ini kian cerdas. Mereka kian paham, iklan tidak semata-mata merepresentasi integritas figur.

Iklan sebagai unsur politik yang kerap didesain sedemikian rupa sehingga menjadi jauh dari realitas yang sebenarnya, nampak justru semakin stigmatis. Iklan yang demikian hanya mampu memperbesar popularitas, namun miskin nilai elektabilitas. Kesadaran etis pemilik media sebagai tokoh masyarakat –apalagi sebagai calon pemimpin– sejatinya diukur dari sejauh mana mereka lebih mengutamakan kepentingan publik dibanding dengan kepentingan politiknya semata.

Jadi, memang tidak selayaknya dan tidak sepatutnyalah bagi siapapun, yang menggunakan frekuensi milik publik namun untuk kepentingan politik mereka sendiri.

Danang Sangga Buwana,
Komisioner KPI Pusat
TEMPO.CO, 3 Februari 2014

No comments: