Monday, June 3, 2013

Cultural Leadership Cak Nun (II)


Belajar Kepemimpinan dari Agama

Kalau saya mau jadi presiden, syarat utama yang harus saya penuhi adalah muta’allimul ghoib wa syahadah. Saya harus tahu apa yang saya belum tahu. Besok pagi saya harus tahu apa yang hari ini saya tidak tahu. Saya harus tahu tentang pasar di sana, rakyat di sana, level di sana, segmen di sana. Saya harus cari itu semua karena mereka masih gaib bagi saya. Pak SBY ini kan melihat barang gaib se-Indonesia karena dia tidak mendapat informasi yang tepat dari staf-stafnya. Maka sebelum Anda jadi pemimpin, Anda harus menguak barang gaib, barang yang kita belum tahu. Kalau Tuhan sifatnya adalah ‘alimul ghoib wa syahadah, Dia mengalami kegaiban, sehingga ada transformasi dari abstrak menjadi ilmu.

Kemudian setelah kita tahu bahwa ternyata di Kebumen begini, di NTT begitu, kita jadi terharu sama rakyat kita, tumbuh rasa kasih sayang kita kepada bangsa Indonesia. Barulah kita mendaftar di BI karena kita sudah punya bekal, yaitu pengetahuan seksama mengenai keadaan rakyat, punya cinta dan kasih sayang kepada mereka, sudah punya cipratan Rahman-Rahim dalam diri kita. Kalau sudah punya tiga bekal itu, kamu menjadi raja, menjadi Malik. Yang pertama kamu menjadi raja atas dirimu sendiri dan atas masalahmu, kemudian kamu baru punya kepantasan untuk menjadi raja ke sekitarmu. Tapi raja harus kudus. Urutan kepemimpinan itu Malik-Qudus-Salam-Mukmin-Muhaimin-Aziz-Jabbar-Mutakabbir.

Kemudian, cirinya Muhammad itu kan ‘azizun ‘alaihi maa ‘anittum, nggak tegaan sama orang yang menderita. Maka dari itu, di awal kita harus muta’allimul ghoib, harus cari tahu semua yang kita belum tahu. Kemarin ketika diminta mundur, Pak Nuh mengatakan sambil bercanda; “Lha ini saya mundur.” Itu kan main-main dia. Nggak tahu kamu gimana susahnya anak-anak yang nggak jadi ujian, nggak tahu kamu gimana susahnya orang tua dan guru-guru. Kamu malah senyum-senyum. Nggak boleh senyum, kamu ini sudah bikin orang menderita. Makanya saya nggak pernah setuju dia jadi Mendikbud. sakno Sampean, Sampean iki orang baik, terlalu banyak dosa di sana yang Sampean nggak mampu tanggung. Terlalu banyak mafia yang di situ kamu tidak bisa mengatasi. Ini soal keraton, saya nggak ikut-ikut tapi kalau terpaksa, suatu hari saya harus ambil.

Kemudian ada dua sifat Allah yang digelarkan kepada Muhammad, yaitu Ra’uf dan Rahim. Ini jangan dilihat Islamnya, karena Islam itu bukan kata benda melainkan kata kerja, jadi jangan tegang kalau saya ngomong Islam-Islam begini.

Ra’uf itu santun, sementara Rahim adalah cinta yang mendalam. Kalau Rahman itu cinta sosial yang meluas, Rahim adalah cinta individual, cinta spiritual, yang sifatnya mendalam.


Moderator kemudian mempersilahkan para peserta untuk mengajukan pertanyaan apa saja, untuk nyidhuk apa saja yang dibutuhkan dari Cak Nun.

Kita Butuh Pemimpin yang Ngerti Masalah dan Berani Bertindak

Pertanyaan pertama dilontarkan oleh Cak Ikin (Solikin) yang berasal dari Surabaya;
Luar biasa penjelasan dari Cak Nun. Saya menyinggung masalah bagaimana menanamkan nilai-nilai kepemimpinan pada masyarakat kita. Kalau kita lihat, kepemimpinan kita ke depan harusnya lebih ke core value base leadership. Dan seorang pemimpin memang harusnya melayani, bukan memerintah. Kalau kita lihat teori-teori modern, itu kan juga mengakar pada apa yang telah disampaikan nenek moyang kita. Kita lihat Sunan Kalijaga menyanyikan lagu Gundul-Gundul Pacul, bagaimana pemimpin harus menyejahterakan rakyatnya instead of memikul mahkotanya. Juga Ilir-Ilir, bagaimana pemimpin harus punya hati yang dekat dengan Pencipta, yang digambarkan dengan buah belimbing dengan lima sisi itu. Nah, saya melihat betapa efektifnya waktu itu menanamkan nilai-nilai dengan pendekatan kultural atau seni kepada masyarakat. Masalahnya sekarang, hal seperti ini jarang sekali. Kalau tahun 80-an ada Kiai Kanjeng, ada Kantata Takwa, sekarang dunia musik didominasi oleh boyband. Apakah era demokrasi yang hiruk-pikuk ini menyebabkan kita seperti ini?

Mohon pandangan Cak Nun mengenai bagaimana pendekatan seni budaya dalam rangka menanamkan nilai-nilai kepemimpinan dalam masyarakat.

Jawaban Cak Nun:
Saya kira kalau usaha-usaha seperti itu yang dari bawah ya nggak ada gunanya Mas. Gak ono Emha yo gak masalah, gak ono Kantata Takwa dan Kiai Kanjeng yo gak masalah. Gitu itu kan cuma nyiprat dikit, cuma detoksifikasi beberapa cc sementara racunnya bertruk-truk setiap hari.

Yang kita butuhkan adalah presiden yang ngerti masalah dan berani bersikap. Tahun 2014 pokoknya kalau ada presiden, (maka presiden) yang mengerti betul masalah, supaya kita bisa nasionalisasi kembali dalam banyak hal dalam batas yang kita mampu.

Bahwa itu dari Gundul Pacul atau apa, itu terserah, tapi yang penting dia berani bertindak. Dia nggak harus sehebat Ahmadinejad atau Chavez, tapi pokoknya bludhas-bludhus kendel. Coba Anda pelajari Turki, dia berada dalam 15 besar ekonomi kuat dan akan segera menjadi 5 besar, tapi tidak ngetarani. Eropa krisis, Turki tenang-tenang saja. Kalau Iran kan hebat, tegas, tapi kan landhep, ngetarani, terlalu tajam mencorongnya sehingga menjadi fokus. Kalau bisa kita tidak usah menjadi fokus. Indonesia ini nggak usah besar-besaran. Hebat ya nggak, tapi pokoknya diam-diam ada policy apa, policy apa, terus kita bisa mengelola isu.

Jadi yang kita butuhkan adalah presiden yang –terserah apa istilahnya– revolusioner, ijtihadiyah. Dari sekian masalah nasional, kita skala prioritaskan. Yang primer-primer kita  kerjakan, baru yang sekunder, dan seterusnya.


Kalau Kiai Kanjeng itu apa sih pengaruhnya. Penyair, budayawan, nggak penting di dunia ini, apalagi di Indonesia. Di sini Nabi saja dijual-jual thok, kerjanya nggak ditaati.

Pemimpin kita nanti harus agak nothing to lose, punya kearifan budaya, punya pengetahuan yang komprehensif, yang luas, yang dia hati-hati (ketika) ngomong dan tidak mengeluh kecuali kepada Tuhan. Ojo sambat thok ae.

Saya hormat kepada apresiasi Anda, tapi tolong nggak usah letakkan itu sebagai sesuatu yang penting. Bekal saya hidup di dunia ini adalah kesadaran bahwa tanpa saya ini gak patheken, nggak masalah. Saya nggak akan menuntut apa-apa. Pernah saya dipanggil ke Istana, sesampai di sana saya tidak boleh masuk, saya tenang-tenang saja pulang lagi. Tapi begitu sampai di jalan, saya dikejar-kejar.

Kalau ada presiden yang masih kegandholan sama dirinya, kalau di dalam dirinya masih penuh dengan dirinya (egonya), jangan jadikan dia pemimpin. Di dalam diri SBY itu ada apa saja?

Kalau dalam Bahasa Jawa ada manunggaling kawula-Gusti. Artinya, di dalam diri seorang pemimpin, rakyat dan Tuhan menjadi satu. Rakyat ya Tuhan, Tuhan ya rakyat. Bukan kok Raja sama Tuhan menyatu di Gunung Lawu. Yang namanya menyatunya rakyat dan Tuhan itu, kalau misalnya Anda ini Direktur BI, rakyat Indonesia dan Tuhan menjadi satu dalam diri Anda. Anda tidak berani mengkhianati Tuhan karena rakyatmu akan sengsara. Kamu tidak berani menyakiti rakyatmu karena Tuhan akan marah.

Maka di dalam dirimu jangan ada “dirimu”. Dirimu itu tidak penting. Kalau kamu ingin jadi orang penting, jangan pentingkan dirimu. Sekarang orang bekerja untuk self image building, maka dia menjadi orang sangat tidak penting. Pak Harto tidak pakai metode itu tapi karakternya lebih terbangun daripada orang yang setiap hari urusannya image building.


Ada pemimpin ngepel di bandara, nyeberang di tengah banjir, mengatur jalan tol. Kok bisa tahu dia sedang melakukan itu? Lha wong dia bawa wartawan kok. Gitu-gitu aja kita terpukau. Kita ini saking miskinnya, pokoknya Jokowi. Itu kan karena saking mlarat atine, saking miskin harapannya, maka kelihatan koyo soto sithik langsung dibadhog gak karuan.

Maka forum ini ayo kita bikin kaya raya. Kita ini punya banyak harapan. Kita jangan terpukau oleh harapan-harapan yang sebenarnya belum tentu harapan. Tuhan selalu ngomong, ‘Hati-hati, apa yang kamu pikir hebat, bisa saja itu mencelakakan kamu, dan apa saja yang kamu pikir itu mencelakakan, jangan-jangan sesungguhnya dia yang hebat untukmu’. Itu peringatan Tuhan sangat universal dan sangat benar untuk kita pakai.

Sekarang kita menjadi sangat gumunan. Mbah Surip meninggal saya langsung datang ke rumah Mamik. Ribuan orang berkerumun di rumah Mbah Surip. Hebat, saya pikir. Tapi ternyata mereka bukan datang untuk layat ke Mbah Surip, tapi untuk melihat Manohara yang dikabarkan datang. Semua cium tangan sama Manohara. Itu kan karena bangsa Indonesia begitu miskin hatinya, sudah nggak ngerti apa yang harus dia hormati, apa yang harus dia tinggikan. Sudah nyembah berhala, salah pilih berhala pula.

Kita nggak punya resistensi moral, resistensi budaya. Saya tidak marah dan menghina Ariel melakukan itu, terus kecolongan videonya sampai bisa menyebar ke mana-mana. Setiap orang mungkin melakukan hal yang sama. Tapi kalau sudah terlanjur seperti itu kan rakyat harus punya rasa risih dong. Tapi ini nggak, nyatanya sekarang dia jadi bintang utama musik Indonesia, jadi bintang iklan, diterima TV, kalau ketemu dicium oleh ibu-ibu berjilbab. Begitu bodohnya bangsa kita sekarang.

Saya ingin Anda keluar dari ruangan ini ngerti persis apa masalahnya dan memulai perbuatan itu. Saya sedih karena tugas saya ngomong. Saya sebenarnya nggak suka ngomong. Sudah lama saya pengin berhenti gini ini, karena keselamatan manusia terletak pada lidahnya. Terus bagaimana, saya tiap hari disuruh ngomong, terus tiap hari saya harus menjaga habis-habisan.

Saya ini datang tanpa transaksi dengan BI. Saya datang karena deket sama Pak Burhan, Pak Boediono, siapa yang di Jogja. Saya datang karena saya bersahabat, saya ke sini karena rasa sayang saya. Saya punya hubungan dengan BI cukup lama, bukan secara profesional tapi secara kultural. Saya tersinggung setiap ada yang tanya berapa tarif saya. Memangnya saya mebel?


Parameternya Output Sosial

“Terimakasih Cak Nun, karena dengan penuh kejenakaan, banyak yang meresap,” ujar penanya kedua, Mas Puji, “Kalau saya melihat sebagaimana pembicara sebelumnya, kriteria pemimpin itu banyak sekali. Terimakasih tadi sudah diingatkan juga pada Ki Hajar Dewantara. Saya menangkap tadi Cak Nun menyampaikan bahwa kriteria pemimpin adalah punya basic yang kuat tentang keyakinan dan patuh kepada agama, sehingga segala sesuatu digantungkan sama Allah. Dalam konteks kepemimpinan yang sudah kita pelajari, memang jarang ada kriteria itu. Saya ingin tahu pandangan Cak Nun, kriteria patuh atau kuat di keagamaan itu sebenarnya seberapa besar pengaruhnya ke depan, khususnya untuk ke-Indonesiaan?

Jawab Cak Nun:
Ini saya sambil menjelaskan, kalau ada orang rajin shalat, itu belum output. Dia masih input. Belum tentu orang rajin shalat output sosialnya atau kepemimpinannya lebih bagus dari yang tidak shalat, karena shalat itu levelnya fikih, hukum, bukan moral.

Saya tidak patuh hukum. Kalau saya tidak mencuri, itu bukan saya patuh hukum, tapi karena saya punya nurani dan akal sehat. Masak untuk tidak mencuri saja saya harus nunggu ada pasal? Tanpa ada hukuman, saya tidak akan melakukan keburukan, karena yang menjadi supremasi dalam hidup saya bukan hukum melainkan nurani dan akal sehat.

Jadi seorang hakim datang ke pengadilan, yang dibawa nomor satu itu bukan pasal-pasal. Pasal itu siap kalau memang bisa dipakai. Kalau tidak ada pasal yang siap dipakai karena ada kasus-kasus dengan fenomena baru, hakim siap dengan akal sehat. Filosofi hukumnya dan nuraninya melahirkan pasal-pasal baru. Kan boleh to?

Dan memang harus gitu. Kita bisa menuntut atau dituntut sebelum ada pasalnya karena probabilitas perilaku manusia itu tidak bisa dibatasi. Dari 32 bidak catur saja ada 114  juta probabilitas langkah. Dengan manusia model Indonesia yang jumlahnya segini banyak, ada berapa probabilitas kesalahannya?

Mbok masyarakat punya otoritas sendiri, nggak usah semua diserahkan kepada Hukum. Kalau dicap sesat, lha gimana, setiap orang punya kesesatannya masing-masing kok. Setiap orang bisa sesat sekarang, nanti tidak. Sesat itu dinamis, jangan jadikan dia identitas. Anda jangan percaya saya Muslim. Kalau saya cuma ngaku-ngaku gimana? Bagaimana parameternya?

Maka kriteria patuh pada agama jangan dicari kriterianya pada sregep Jemuwahan, rajin shalat 5 waktu, sering umrah. Itu bukan output, itu input. Itu letaknya di pawon (dapur). Kalau memamerkan makanan kan tidak di pawon, tapi di etalase warungnya.

Sekarang orang terbalik-balik, yang dipamerkan justru dapurnya. Padahal dapur itu urusanmu. Agama itu urusan dapur, bukan di etalase. Sekarang malah kebablasan sampai ke papan nama.


Kita tidak peduli apakah dapur itu Islam, Kristen, Buddha, atau apa pun, nggak masalah. Apakah wajannya merk Syi’ah, sutil-nya merk Ahlusunnah, kompornya merk FPI merk Gereja Bethani, nggak masalah itu semua.Yang penting, perilaku sosialnya baik. Jadi untuk mencari pemimpin yang patuh, jangan diserahkan kepada Hukum.

Orang Indonesia itu begitu canggih urat syaraf kemunafikannya, sehingga teori-teori yang berlaku di dunia tidak bisa mengenai orang Indonesia. Kalau lihat wajah-wajah orang Indonesia bisa kelihatan lho dibandingkan sama orang dari masyarakat lain, Hongkong misalnya. Oh ini ada banyak ruang gelap di balik sorot matanya, jadi jangan percaya kalau dia ceramah. Di Indonesia, malaikat dan setan sukar dibedakan. Maka maklum kalau kita nggak bisa milih pemimpin, nggak bisa milih makanan, obat, penyanyi. Salah semua. Maka doa saya; “Tuhan, ikut Pemilu dong”. Kalau Allah ikut Pemilu kan bukan Allah itu satu suara tapi Allah bisa mempengaruhi seluruh suara.

Saya setuju sama prinsipnya, Mas, tapi saya kira itu tidak usah diterapkan seperti yang Anda bayangkan. Kalau saya minta sama Allah; “Kalau ini tidak Engkau kabulkan, kalau di 2014 ini tidak ada perubahan di Indonesia, saya akan siapkan anak-anak saya besok untuk jangka yang lebih panjang untuk lebih survive.” Karena kita nggak punya waktu lagi setelah ini.

Tapi hendaklah Anda ketahui kalau pemimpin yang akan memimpin Indonesia –kalau Allah mengizinkan– adalah orang-orang yang mungkin tidak kau sangka, mungkin sekarang kau sedang benci dengan dia. Atau mungkin kau sedang remehkan dia, tidak hitung dia sama sekali.

Menurut saya, Indonesia sudah banyak setor penderitaan dan kebingungan ke Allah sehingga Allah sayang sama kita. Kan setoran ke Allah itu nggak mungkin berupa kepandaian dan kehebatan. Yang bisa kita setorkan untuk memperoleh kasih sayang-Nya adalah penderitaan, kebingungan, kesedihan.

Saya yakin Allah akan mengabulkan kita. Kasihan anak-anak kita toh Pak, nggak aman di mana-mana sekarang ini. Di luar rumah tidak aman, di dalam rumah tidak aman oleh internet, oleh televisi. Zaman dulu kan ke mana-mana aman.

Saya melihat gejala bahwa di Indonesia akan ada kelahiran baru yang fresh, dan semua yang kemarin bersalah insyaAllah akan mengalami konversi untuk ber-husnul khatimah. Termasuk Anda ini adalah calon pemimpin yang akan berubah sama sekali. BI akan menjadi fresh bener untuk rakyat Indonesia.


Ngerti Banyak tentang Banyak Hal

Penanya ketiga, Mas Budi, mengucapkan terima kasih kepada Cak Nun kemudian menyatakan setuju pada uraian Cak Nun mengenai dunia pendidikan, di mana saat ini banyak produk-produk komersial yang masuk ke dunia itu. Padahal pendidikan adalah proses yang mampu melahirkan generasi pemimpin.

“Saya percaya bahwa pemimpin tidak dilahirkan tapi dibentuk melalui proses yang berupa kata kerja tadi. Kemudian kalau saya boleh tanya, kita tahu Ramalan Jayabaya. Menurut Cak Nun, kapan Ratu Adil yang kita tunggu-tunggu ini datang? Apakah sudah ada figur-figur yang menurut Cak Nun akan mengeluarkan kita dari carut-marut kondisi politik yang seperti ini, yang penuh dengan wajah korupsi? Apakah nanti akan lahir Ratu Adil yang kita nantikan, yang bisa manunggaling kawula-Gusti itu tadi?”

Jawab Cak Nun:
Yang pertama soal pendidikan, saya kira tidak terlalu berguna juga kalau kita ngomong pendidikan dalam segmen ini karena kita tergantung pemimpinnya. Kalau Ratu Adil sudah datang, semua akan ikut menjadi baik. Jadi kalau memperbaiki pendidikan dari Dikbud ya nggak bisa juga, maka tidak heran kalau pidato Pak Nuh; “Saya tidak akan mengubah ini itu,” itu kan maksudnya sing arep maling teruso maling. Jadi nggak bisa kalau mau ngomong pendidikan dari pendidikan. Kita harus ngomong kepemimpinan nasional –yang Anda bayangkan dalam idiom Ratu Adil.

Menurut saya Ratu Adil itu bisa padat, bisa cair, atau bisa juga frekuensi. Padat itu benar-benar ada Ratu Adil, bahkan pada tingkat namanya. Kalau Ratu, itu berarti negara kita akan berubah menjadi keraton. Bisa sampai di situ, tapi saya tidak bermimpi ke situ-situ amat, karena kita bikin negara ini kan juga serabutan, kita copas-copas saja. Kita lupa bahwa pemilik saham utama dari negara ini adalah keraton-keraton beserta para raja dan para sultan. Seluruh tanah ini adalah milik Sultan, tergantung wilayahnya di mana. Kalau di Jogja ya semua tanahnya milik Sultan Jogja; kalau di Solo ya tanahnya Sunan. Para pemegang saham NKRI ini kan tidak pernah dianggap bahwa mereka pemegang saham. Seharusnya MPR-nya itu mereka. Merekalah yang harusnya punya otoritas untuk milih Direktur BI, milih Presiden, milih segala macam.

Cak Nun menjelaskan bahwa ada lima pilar Indonesia :
1.    Rakyat
2.    Tentara rakyat (TNI dan Polri)
3.    Kaum intelektual dan cendekiawan
4.    Keraton dan adab kebudayaan
5.    Agama dan spiritualitas

Lima ini dalam sistem bernegara harus punya keseimbangan dan harmoni yang pas, baik peran maupun keterkaitannya. Sekarang kan nggak ada. Sekarang yang memimpin adalah pilar ketiga, kaum intelektual. Kaum intelektual memperlakukan pilar pertama berbeda dalam zaman yang berbeda. Begitu pula yang dialami pilar kedua. Misalnya Polri, itu kan tidak jelas apakah dia sipil atau militer. Kalau militer kenapa tidak di bawah TNI, sedangkan kalau sipil kenapa tidak di bawan Kemendagri? Kenapa polisi langsung di bawah presiden, sementara TNI di bawah Menteri Pertahanan? Itu kan juga perubahan sikap dari pilar ketiga terhadap pilar kedua.

Maka terjadilah Cebongan, dan itu bisa terjadi sangat banyak di mana-mana. Terjadilah Polsek dibakar di mana-mana, karena di antara 5 pilar ini sendiri tidak ada kesatuan. Oleh karena itu dibutuhkan ‘Ratu Adil’ yang memimpin kembali konsep dasar dari harmoni 5 pilar ini.


Yang keempat dan kelima juga hanya dieksploitir. Keraton dan adab kebudayaan itu kan kasihan, terus akhirnya mereka jualan pusaka. Habis itu keratonnya. Akhirnya karena bingung, istri raja pengin jadi anggota DPD, rajanya sendiri pengin jadi wapres, dia pikir presiden lebih tinggi daripada raja. Sudah enak-enak jadi raja malah pengin jadi presiden. Dia sudah punya keris malah pengin pedang, padahal sehebat-hebatnya pedang tidak akan menang lawan keris, karena semua yang pegang pedang itu hanya prajurit, sementara kalau raja pegang keris. Dalam tradisi budaya, satu keris bisa mengalahkan seribu pedang. Makin panjang tombak prajurit, makin rendah pangkatnya karena kesaktiannya juga semakin rendah.

Bahkan kalau sudah pandhita, sudah tut wuri handayani, sudah tidak butuh keris lagi karena tangannya bisa menjadi keris, bisa menjadi tombak, cambuk, (atau menjadi) apa saja. Kearifan ini kan tidak dipahami lagi oleh orang-orang modern.

Jadi kalau mau ngomong Ratu Adil, ayo kita pahami dulu itu semua. Thailand, Inggris, Jerman, Spanyol, mereka saja kerajaannya dihormati. Kok tiba-tiba kita melupakan kerajaan kita? Saking akehe kerajaan? Kerajaan kita ada berapa sih? Yang masih ada sampai sekarang ada 204 keraton, yang terbagi menjadi dua: satu sayap Jogja, satu lagi sayap Solo. Karena nasib mereka yang tak menentu, mereka cari hidup sendiri. Seharusnya presiden yang akan datang mampu menghimpun semua itu, menyusunnya kembali.

Kita tetap negara juga nggak apa-apa, nggak usah jadi keraton, tapi kita susun kekuatan kita. Nggak tiba-tiba ada DPR. Tiba-tiba kamu dari Kemayoran mewakili Jawa Tengah atau Jawa Timur lewat PAN atau Demokrat. Sekarang yang terjadi di Indonesia kalau pakai idiom budaya kae dhayohe teka, e klasane bedhah, e tambalen bedhah, e tambalen bolah, e bolahe methel, dan seterusnya. Kita hidup dalam irrelevansi terus-menerus. Di sini nggak ada hubungannya, di sana nggak ada hubungannya. Ini dimulai sejak zaman Gus Dur. Gus Dur itu siapa saja dijadikan apa saja coba. Masak Ushuluddin dadi Menristek?

Ratu Adil atau bukan, siapa saja yang coba mengembalikan martabat dan kehormatan kita sebagai bangsa dan negara, itu yang akan kita anggap sebagai gejala Ratu Adil.

Jokowi dilantik di daerah kumuh. Apa nggak terbalik? Mestinya orang kumuh ditaruh di Gubernuran. Kalau dilantik di daerah kumuh emang nggak pakai karpet, nggak pakai tiker? Ngerepotin juga toh di situ? Apa gunanya lambang kenegaraan yang namanya Gubernuran? Mestinya orang-orang kumuh dikumpulin, tukang becak, penjual di pasar, misalkan ada 10 orang, untuk nglantik Jokowi di Gubernuran. Nggak apa-apa sandalnya kotor, ke situ untuk nglantik.

Mestinya orang kecil ditunjukkan kalau dia Gundul Pacul. Gundul Pacul itu dia nyunggi wakul. Kalau kamu belum punya ilmu dan kesadaran, kamu nggak apa-apa mau main-main, tapi kalau sudah nyunggi wakul, kamu tidak boleh lagi main-main.

Bersambung ….

No comments: