Tuesday, February 5, 2013

Bangsa yang Aneh


"The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn." [Alvin Toffler]

Kita ini sungguh-sungguh merupakan bangsa bernasib seperti yang digambarkan Toffler dalam kutipan di atas. Kita menjadi bangsa yang para pemimpinnya di segala lini merupakan penyandang buta-bisu-tuli alias tuna-total tak mampu belajar.

Kita menyatakan perang terhadap korupsi, tetapi korupsi semakin merajalela hingga ke sumsum tulang belakang tubuh bangsa. Kita berteriak-teriak tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, tapi sistem pendidikan nasional menghancurkan seluruh potensi kreatif dan kecerdasan anak bangsa sejak di satuan pendidikan anak usia dini.

Kita berkeluh-kesah tentang kebobrokan moral dan mental bangsa, tapi pada saat yang sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama -yang seharusnya menjadi menara suar bagi ketinggian ilmu dan akhlak- selalu berhasil mempertahankan rekor sebagai lembaga yang paling korup bukan kepalang. Bahkan kini disempurnakan dengan korupsi di Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Dengan demikian, bangsa ini kehilangan arah dan tujuan. Kita pun meratapi rendahnya budi pekerti dan karakter bangsa, tapi tak ada yang sungguh-sungguh berupaya melakukan perbaikan.


Kanker Mematikan
Segala sesuatu dan semua wacana tentang perubahan dan perbaikan bermuara hanya pada satu kubangan kebejatan: korupsi! Seluruh inisiatif dan niat baik dimangsa oleh budaya serba instan yang menjadi biang kanker mematikan. Ke arah mana pun kita berpaling, sejauh mata memandang, yang terhampar di hadapan hanya bentangan korupsi semata-mata, tanpa ujung tanpa akhir.

Tetapi masih ada segelintir orang yang terus berupaya membangun optimisme (atau ilusi?) bahwa harapan masih ada. Bahwa perekonomian tumbuh di atas 6 persen. Bahwa dengan mengurangi jumlah mata pelajaran dan menambah jam belajar di SD, SMP dan SMA -dengan tetap memberi tekanan pada menghafalkan dan melafalkan ayat-ayat suci- bisa dilahirkan generasi baru berkarakter dan berakhlak mulia (seolah-olah para koruptor di Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama bukanlah orang-orang yang pandai menghafal dan melafal!).

Kita terus diiming-imingi perubahan dan perbaikan di bidang pendidikan, tetapi dengan tetap menyelenggarakan Ujian Nasional (UN). Padahal sudah terbukti selama ini bahwa UN justru merupakan "pendidikan kriminalitas" yang diajarkan secara masif dan disokong dengan penuh semangat oleh para kepala daerah, kepala sekolah, dan para guru yang takut terciprat aib jika banyak muridnya tidak lulus UN sehingga mereka beramai-ramai mendorong dilakukannya aksi menyontek massal. Dan kejahatan itu dicitrakan sebagai perbuatan heroik, bukannya sebagai tindakan penghancuran moral anak didik sejak dini dan sistemik.


Fondasi Karakter
Pemerintah pun masih menganut paham bahwa ketentuan wajib belajar 12 tahun itu dimulai dari jenjang sekolah dasar (SD). Padahal sudah lama diketahui bahwa momentum terbaik bagi pembangunan kualitas manusia adalah pada masa "usia emas" (0-7 tahun). Itulah waktu emas bagi pembangunan fondasi karakter dan kecerdasan anak.

Dengan kata lain, jika pendidikan anak usia dini tetap diabaikan dalam strategi pendidikan nasional, harapan bagi terciptanya generasi baru bangsa yang lebih baik benar-benar hanya merupakan ilusi dan omong kosong! Jika alokasi dana dan daya lebih dititikberatkan pada satuan pendidikan di atas pendidikan anak usia dini, sama saja dengan upaya mendirikan bangunan di atas fondasi yang rapuh. Itu artinya, tak ada yang sungguh-sungguh memikirkan masa depan bangsa. Tak ada yang sungguh-sungguh mempersiapkan generasi penerus bangsa yang tangguh dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Para pemimpin bangsa seharusnya bisa melihat betapa seriusnya Presiden Amerika Serikat Barack Obama memberi perhatian kepada pendidikan anak usia dini agar bangsa Amerika masih punya sumber daya manusia yang bisa bersaing dengan bangsa Cina dan India di masa kini dan masa depan. Fakta bahwa bangsa Cina kini setiap tahun mampu menghasilkan 20 juta penutur bahasa Inggris, dan menghasilkan 600 ribu orang ahli teknik -bandingkan dengan Amerika Serikat yang menghasilkan 70 ribu dan India yang menghasilkan 350 ribu insinyur (Michael Backman, 2008)- itu membuat Obama sangat risau akan masa depan bangsanya. Untuk itu, ia pun segera membuat langkah-langkah nyata membangun "generasi Sputnik" yang kedua.

Sebagaimana diketahui, dalam pidato di depan para pelajar di North Carolina, beberapa waktu lalu, Obama menuturkan, ketika Uni Soviet meluncurkan Sputnik ke luar angkasa pada 1957, bangsa Amerika terprovokasi dan langsung meningkatkan anggaran untuk studi matematika dan sains, yang kelak jadi kunci kemenangan Amerika dalam persaingan luar angkasa. "Lima puluh tahun kemudian (kini), momentum bagi generasi Sputnik kita datang lagi," katanya.


Berkubang dalam Paradoks
Kita memang bangsa yang aneh. Bangsa yang para pemimpinnya tak kunjung henti menciptakan dan berkubang dalam paradoks alias tak sama kata dengan perbuatan. Bangsa yang tak mau dan tak mampu belajar apa pun dari mana pun selain menjadi bangsa yang munafik dan korup.

Tentu saja, bangsa yang aneh ini tidak bisa diubah menjadi lebih "waras" dengan cara instan, mengingat begitu parahnya kerusakan yang terjadi di seluruh tubuh bangsa sejak menjadi bangsa yang terjajah, lalu gagal memaknai secara benar hakikat kemerdekaan dan hakikat reformasi.

Kalau tidak debil, kita seharusnya bisa belajar dan menempuh "jalan Jepang", yang bisa bangkit dan meraja lagi dalam kurun waktu 18 tahun sejak diluluh-lantakkan bom atom pada 1945. Atau menempuh "jalan Cina", yang bisa memperkuat otot-ototnya sebagai negara adidaya modern dalam kurun waktu 30 tahun sejak Deng Xiaoping memimpin reformasi politik-ekonomi pada 1978. Kita pun bisa menempuh "jalan Malaysia", yang menjadi negara maju selama 22 tahun kepemimpinan Mahathir Mohamad. Kita juga bisa menempuh "jalan Singapura", yang menjadi naga kecil berkat 30 tahun kepemimpinan Lee Kuan Yew.

Harus dikatakan, kita memang telah menjadi negara gagal yang menyia-nyiakan masa 67 tahun kemerdekaannya. Tetapi, kalau kita membaca kembali Mukadimah UUD 1945, para bapak pendiri bangsa kita rupanya telah melakukan kesalahan semantik, sehingga yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 itu bukan merupakan "kemerdekaan" yang sesungguhnya, melainkan proklamasi itu hanya "mengantarkan rakyat Indonesia ke 'depan pintu gerbang' kemerdekaan negara Indonesia ...."

Artinya, gerak maju kita hanya sampai di depan "pintu gerbang kemerdekaan" itu saja. Perjalanan kita macet di situ, kita pun baku caci, baku pukul, baku bunuh, dan baku jarah sampai hari ini di abad ke-21. Belum ada yang berhasil membuka pintu gerbang itu, lalu masuk ke dalamnya, dan memaknai kemerdekaan secara benar! Aneh.

Yudhistira ANM Massardi
Pengarang buku Pendidikan Karakter dengan Metode Sentra,
pengelola Sekolah Gratis TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi

KORAN TEMPO, 13 Desember 2012

No comments: