Do not read this blog if not useful for you, because it will only spend your time, your energy, and spend your money.
Thursday, November 4, 2010
Maridjan
Nama itu mungkin berasal dari bahasa Arab, marjãn (permata dari batu karang merah), yang penyebutannya bisa ditemukan dalam Al-Qurãn (surat Ar-Rahmãn ayat 22 dan 58 ). Ini salah satu isyarat yang menandai adanya pengaruh Arab (Islam) terhadap orang Jawa, terutama mereka yang hidup di seputar keraton. (Ingat kisah tentang para penyebar Islam di Jawa, yang dikenal sebagai Wali Sanga).
Bagi masyarakat Jawa sendiri, Maridjan mungkin bukan nama yang unik. Bahkan Mbah Maridjan sebagai sebuah pribadi pun, bagi orang yang mengenal bagaimana “manusia Jawa” bukanlah pribadi yang unik.
Sebagai tipologi abdi dalem keraton (ke-ratu-an, kerajaan), khususnya Jawa, orang seperti Maridjan bukanlah contoh satu-satunya. Ia adalah ‘wakil’ (representasi) dari segolongan manusia yang –notabene– memandang raja sebagai pusat pengabdian, karena raja adalah titisan atau perwujudan Sang Mahakuasa. Karena itu, kepatuhan manusia seperti Maridjan terhadap raja adalah kepatuhan yang bukan hanya penuh hormat (pemuliaan) dan khidmat (pengabdian), tapi juga cinta. Dan bukan sembarang cinta pula, tapi cinta mati.
Maka tidak perlu heran bila manusia jenis ini juga mempunyai kesetiaan yang tak pernah pudar atau luntur, karena kesetiaan itu sudah melebur dalam darah yang mengaliri seluruh tubuh. Bahkan ketika ruh (spirit) pengabdian itu sudah tak mampu lagi mengalirkan darah ke sekujur tubuh, karena sang tubuh hangus tersambar wedhus gembel (sebutan penduduk sekitar Merapi untuk awan panas yang disemburkan sang gunung), ia masih berusaha untuk meninggalkan sang tubuh dalam posisi sujud, sebagai lambang pengabdian yang –mudah-mudahan– akan selalu dikenang.
Tapi, walaupun kebanyakan orang tidak mau mengenang; mungkin karena ketidakpedulian atau kesibukan masing-masing yang amat sangat padat, ruh Maridjan akan selalu menemukan tempat singgahnya, setidaknya ke anak-cucu; sebagaimana dulu ruh itu juga menitis dari atas ke dalam diri Maridjan.
Ya. Maridjan memangku jabatan (sejak tahun 1982) sebagai juru kunci adalah ‘titisan’ (baca: warisan) dari ayahnya (Mbah Darso), diawali dengan menjadi wakil sang ayah (tahun 1970). Dan begitu juga selanjutnya Maridjan menitiskan kepada salah seorang putranya, yang kini menjadi abdi dalem keraton Yogya, yang sudah siap melanjutkan estafet pengabdian sakral itu.
Marjãn abdi keraton
Maridjan adalah merjan (permata) para abdi keraton, yang kilaunya baru memijar dan menjadi pusat perhatian pada tahun 2006. Bulan Mei tahun itu, “yang lenggah” (duduk; bertahta) di gunung Merapi untuk kesekian kali menyelenggarakan ‘hajat’, yang ditafsirkan orang di luar sebagai gejala-gejala gunung Merapi akan meletus. Ketika ‘hajatan’ itu ditafsirkan para pengamat modern sebagai keadaan Merapi yang berstsatus “awas”, sehingga para penduduk harus mengungsi, (Mbah) Maridjan bertahan di tempat tinggalnya di dusun Kinahrejo. Ia bahkan tidak peduli walau permintaan untuk mengungsi datang dari presiden dan sultan Yogya sendiri.
Banyak orang menafsirkan –dan kemungkinan besar itu benar– bahwa Maridjan hanya bersedia patuh kepada raja yang memberinya jabatan juru kunci dan gelar Mas Penewu Suraksohargo I, yaitu Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan demikian, ia –harap maklum!– hanya memandang Sultan HB X sebagai seorang gubernur NKRI. Dan hal itu memang diucapkan olehnya pada waktu itu. “Bila beliau (Sultan HB X) memerintahkan demikian (menyuruhnya mengungsi, red), berarti beliau seorang gubernur,” katanya.
Kesetiaan terhadap satu pihak bisa (otomatis) menyebabkan pembangkangan terhadap pihak lain. Itu hukum alam alias sunnatullah, karena Allah tidak menciptakan dua hati di satu rongga dada. Tapi itu hanya berlaku bagi orang yang sadar betul bahwa “hidup adalah pilihan”, sehingga langkah berikutnya setelah memilih adalah menunjukkan totalitas pengabdian, apa pun risikonya. Itulah prinsip yang dipegang teguh Maridjan. Dan untuk menegaskan prinsipnya itulah Maridjan mengatakan kepada orang-orang yang bertanya mengapa ia tak mau mengungsi, “Kalau memang mereka (penduduk yang tinggal di lereng Merapi) merasa sudah waktunya mengungsi, mereka harus mengungsi. Jangan hanya manut (ikut) orang bodoh yang tidak sekolah seperti saya.”
Benarkah Maridjan “orang bodoh” karena “tidak sekolah”?
Tidak!
Perkataan Maridjan adalah sebuah isyarat. Sebuah peringatan bahwa “kebenaran” tidak harus selalu diukur dengan “ilmu sekolahan”. Lebih-lebih lagi bila yang dibicarakan adalah soal falsafah hidup.
Seorang teman mengatakan bahwa Maridjan adalah contoh manusia idealis Platonis sejati, yang menempatkan “ide” (idea) sebagai pemandu hidup.
Dalam terminologi Jawanya (walau berasal dari bahasa Arab!), ide itu adalah batin. Maridjan memang manusia yang setia pada kata batin; yang isinya tiada lain adalah falsafah hidup orang Jawa lingkaran keraton.
Sementara itu, kebanyakan kita adalah manusia naturalis bentukan lembaga sekolah; yang sering kali menempatkan batin sebagai hamba bagi nature (alam; benda, materi). Karena ‘suara alam’-lah maka para pejabat BPPTK (Badan Penyelidikan dan Pengembangan Kegunung-apian) dan semua ‘orang sekolahan’ berteriak-teriak menyuruh rakyat menyingkir dari Gunung Merapi, dan karena ‘suara batin’-lah Maridjan dan sejumlah penduduk tetap bertahan di tempat tinggal mereka.
Ketika ternyata Gunung Merapi meletus seperti telah diisyaratkan ‘kaum naturalis’ melalui hasil pengamatan mereka atas alam, ‘kaum idealis’ dengan Maridjan sebagai salah satu figurnya (seperti) jatuh sebagai pihak terkecundang (kalah).
Tapi, benarkah bahwa Maridjan kalah?
Secara fisik dan pragmatis, Maridjan memang kalah. Tubuh tuanya tak mampu melawan terjangan awan panas. Tapi, secara batin (idea), kalahkah dia?
Tidak!
Kematiannya justru semakin menguatkan gaung suara batinnya, bahwa untuk menjadi bernilai itu manusia harus menjadi pengusung atau personifikasi –atau bahasa Al-Qurãnnya fã’il (pelaku)– dari sesuatu yang memang merupakan saripati dari segala nilai, yaitu idea atau konsep atau falsafah.
Terserah idea atau konsepnya berasal dari mana atau milik siapa. Itu soal lain.
Maridjan hanya contoh dari orang yang konsisten (istiqamah) dalam menghidupi atau menghidupkan sebuah falsafah, bahkan sampai kehidupan lahiriahnya sendiri berakhir.
Salam hormat untukmu, Mbah Maridjan!
Ahmad Husein kndm
http://ahmadhaes.wordpress.com/2010/10/28/marijan/
Label:
Gunung. Merapi,
Keraton,
Maridjan,
Yogyakarta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment