Wednesday, November 17, 2010

Des Alwi, Tokoh Simbol Masyarakat Banda



Di Banda Neira ia bukan saja tokoh, tapi juga ‘pusat komunikasi’ sebagai tempat mengadu, berkeluh kesah, meminta petunjuk untuk memecahkan masalah. Di Jakarta, ia terkenal sebagai pelobi tingkat tinggi dan simbol masyarakat Banda. Lalu, siapa Des Alwi?

Sebuah kapal putih tampak merapat ke dermaga. Semua mata tertuju pada dua orang tua mengenakan setelan jas putih dan berdasi yang menuruni tangga kapal. Kedua tuan berparas pucat itu membawa delapan koper besar dari kayu dan empat tas besar dari kulit. Dengan celana renang dan rambut yang masih basah saya perhatikan mereka. Yang salah seorang di antaranya memakai kaca mata. Seorang di antara mereka tersenyum kepada saya,” demikian kenangan Des Alwi saat pertama kali bertemu Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir di masa pembuangan mereka di Banda Neira.

Saat itu Des Alwi baru berusia 8 tahun dan duduk di kelas dua ELS (Europeesche Lagere School). Namun ia mengaku sudah mengetahui dengan pasti bahwa kedua tuan itu dari Boven Digul, karena wajah mereka pucat. “Setiap orang yang datang dari Digul senantiasa berwajah pucat. Agaknya di sana mereka kekurangan makan dan banyak yang menderita malaria,” ungkapnya.


Kedua orang itu lalu bertanya pada Des dengan bahasa Belanda, apakah tahu di mana rumah dokter Tjipto Mangunkusumo? “Tahu, tetapi jauh dari sini. Kalau rumah Mr. Iwa Kusumah Sumantri persis di depan dermaga ini,” jawab Des kecil. Nama dokter Tjipto dan Mr. Iwa memang sangat dikenal di Banda, karena mereka telah cukup lama berdiam di Neira dan Des Alwi adalah teman putra-putri mereka.

Belakangan Des baru tahu, kedua ‘tamu jauh’ itu bernama Muhammad Hatta dan Sjahrir, orang tahanan politik Belanda yang dibuang ke Boven Digul. Pertemuan dengan kedua tokoh itulah yang hingga kini tak pernah ia lupakan. Bahkan ia menganggapnya sebagai pertemuan yang kemudian menjadikan arah hidupnya hingga menjadi Des Alwi yang sekarang ini. Karena kecerdikan, kepandaian dan ‘kenakalan’-nya, kedua tokoh tersebut konon sangat menyukai cucu Said Baadilla ini. Hingga kemudian Bung Hatta mengambil Des Alwi sebagai anak angkat.

Saya merasa sebagai orang pertama yang mereka tangani. Dalam kehidupan saya selanjutnya, ketepatan dan ketelitian dalam bekerja yang telah beliau tanamkan merupakan salah satu nilai tambah yang besar dalam karier saya selama ini. Dari Oom Sjahrir, saya mendapat banyak wawasan dan pengertian,” kata Des Alwi.


Cucu Raja Mutiara Maluku
Des Alwi Abubakar lahir 17 November 1927 di Desa Nusantara, Neira sebuah pulau kecil dalam kelompok Banda di Kepulauan Maluku. Ayahnya bernama Alwi, berasal dari Ternate yang konon masih keturunan Sultan Palembang yang dibuang ke Banda. Sang ibu bernama Halijah Baadilla, anak perempuan dari Said Baadilla, pengusaha mutiara yang pernah terkenal dari Neira.

Sang kakek, Said Baadilla terkenal sebagai pebisnis ulung di Banda. Dengan bendera perusahaan Baadilla Brothers, ia mengembangkan bisnis mutiara Banda dan perkebunan Pala yang terkenal dengan Perk Kele Norwegen di Lonthor dan di Pagar Buton, Banda Besar. Mutiara dan Pala itu diekspor ke berbagai negara di Eropa, hingga ia dikenal sebagai eksportir berpengaruh. Berkembangnya perusahaan Baadilla Brothers menjulangkan nama Said Baadilla, hingga Pemerintah Hindia Belanda menjulukinya sebagai Raja Mutiara dari Maluku. Dengan julukan itu, pada tahun 1896 Said Baadilla mendapat kehormatan menjadi tamu istimewa Ratu Emma, istri Wilhelm III di Belanda.


Namun, kebesaran sang kakek hanya kenangan di benak Des Alwi. Sebagai cucu raja mutiara, Des Alwi lahir saat usaha Baadilla sudah hampir ambruk. Masa kebesaran sang kakek sudah mulai memudar, bahkan kondisinya semakin memburuk ketika sang kakek meninggal tahun 1934. Sampai usia 6 tahun, Des sama sekali tidak tahu jika sang kakek pernah menjadi orang terkaya di Banda Neira, bahkan di Maluku. Ia mengaku tak sempat menikmati kejayaan sang kakek, walaupun sisa-sisa kejayaan itu masih terlihat.

Namun, betapapun buruknya kondisi ekonomi keluarga, Des mengaku kehidupan masa kecilnya sangat menyenangkan. Setiap hari ia mengaji, berenang di laut sambil berebut memburu coin yang dilempar orang, mencuri buah dari kebun tetangga dan bermain dengan teman-temannya. “Masa kecil saya demikian indah. Saya bangga lahir di Neira,” ungkap ayah Mira, Tanya dan Ramon Alwi ini.


Ahli Lobi Dan Model Komunikasi
Kebesaran nama keluarga tidak membuat Des Alwi terlena. Ia tumbuh sebagai sosok pemuda yang begitu mencintai tanah kelahiran dan negaranya. Barangkali karena ‘pengaruh’ pendidikan Hatta dan Sjahrir, di samping sekolahnya di ELS, Des tumbuh menjadi pemuda yang tidak sekedar berani dan penuh percaya diri, tapi juga memiliki ‘kelebihan’ dalam berdiplomasi.


Sebagian orang menilai, kepiawaian Des Alwi dalam hal melobi, hingga mendapat julukan pelobi tingkat tinggi, dari petinggi nasional hingga internasional itu merupakan salah satu hasil dari kebiasaannya bergaul dengan tokoh-tokoh tahanan politik yang dibuang ke Banda. Des banyak belajar dari dr. Tjipto Mangunkusumo yang disebutnya sebagai Oom Tjip, Dr. Muhammad Hatta yang dipanggilnya sebagai Oom Kaca Mata, Sjahrir sebagai Oom Rir, Mr. Iwa Kusumah Sumantri dan beberapa anggota Sjarikat Islam Indonesia lainnya.


Maka, dalam perjalanan karier selanjutnya, ia pernah beberapa kali menjadi Atache Press/Kebudayaan KBRI di luar negeri yaitu KBRI Bern, KBRI Austria dan KBRI Philipina. Bahkan ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia – Malaysia tahun 1965-1975 ia berdinas sebagai diplomat yang terlibat dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi itu. Des berhasil menjadi perantara ‘sulit’. Jurus-jurus kepiawaian diplomasinya dalam mendekati PM Tun Abdul Rahman dan DPM Tun Abdul Razak berhasil meredakan konfrontasi itu.


Sebagai putra daerah ia berperan aktif dalam lobi-lobi nasional dan internasional, untuk berbagai kepentingan Indonesia di dalam maupun luar negeri. Secara lebih spesifik, Des Alwi memiliki jalur lobi kepada tokoh-tokoh nasional di Jakarta. Dalam hal ketokohan ini, maka realitas menunjukkan bahwa hampir sembilan puluh persen pembangunan fisik dan pembangunan masyarakat Banda yang membutuhkan peran lobi, semuanya dipengaruhi oleh hasil lobi Des Alwi di tingkat nasional. Dalam hal ini pula maka sebenarnya semua keputusan tentang pembangunan Banda yang berskala besar pada kenyataannya bukan diputuskan di tingkat Maluku atau Maluku Tengah, akan tetapi diputuskan di tingkat pusat, Jakarta.


Bahkan kini, dalam perkembangan masyarakat Banda, tokoh Des Alwi menjadi salah satu model komunikasi. Model komunikasi yang memusat pada tokoh Des Alwi ini adalah semua komponen masyarakat yang terlibat langsung dalam usaha dan kegiatan Des Alwi. Termasuk mereka yang pernah mendapat bantuan Des, baik fasilitas, dana maupun koneksitas.


Melihat ketokohan dan peran Des Alwi yang begitu dominan terhadap pengembangan masyarakat di Banda, terutama pariwisata, maka umumnya masyarakat Banda berpendapat bahwa Banda sangat identik dengan kehendak Des Alwi. Pendapat-pendapat macam ini dan kaitan-kaitan kepentingan masyarakat dengan bidang-bidang yang bersentuhan dengan usaha Des Alwi di Banda inilah yang melahirkan model-model komunikasi memusat kepada tokoh ini.

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/d/des-alwi/index.shtml

1 comment:

Djamhari Maskat said...

Haji Des Alwi, kini telah pergi menuju alam yang kita semua pasti akan datang kesana....
Kenangan saya beberapa tahun bergaul dengan dia memang sangat terkesan...
Pada awalnya anaknya Karma Alwi almarhum datang menemui saya di Setiabudi dan kita berdiskusi sampai jam 2 pagi..tentang filsafat, tentang pandangan hidup sampai akhirnya dia mengakui bahwa baru saya ketemu orang Banda seperti abang. Karma memanggil saya Bang dan saya menghormati dia dengan Bung Karma.
Karma Alwi adalah Temannya Jenderal Prabowo ketika masih di Amerika, dan dia sangat pasih berbahasa Inggris.
Disaat awal saya bertemu Om Des dikantornya di Cempaka Putih, waktu itu dia belum kenal saya yang ternyata Om dan Tante saya adalah teman sekolahnya.
Setelah teman-teman sekolah saya di Banda Neira banyak bercerita tentang saya, barulah pertemuan demi pertemua sedikit terasa ala Banda Neira.
Om Des lebih paseh bahasa Banda daripada Bahasa Indonesia...itu kesan saya.
Jika berbicara dengan putra-putrinya selalu dengan bahasa Banda atau Inggris.
Jikalau kita simak wawancara di TV Om Des selalu menggunakan bahasa Indonesia yang ke Banda-Bandaan.
Pesan Bung Hata kepadanya bahwa hanya Des yang bisa membangun Banda Neira, pulau terpencil namun punya nilai sejarah strategis dalam perjuangan para pahlawan tentunya tidak pernah terlupakan oleh Om Des, bahkan wasiatnyapun agar dia dikebumikan di Banda Neira satu bukti bahwa Des sangat mencintai Banda Neira.
Pada waktu bedah buku tentang Banda Neira, saya mengingatkan Des Alwi bahwa Kakek saya juga adalah murid Bung Hata dan ada dua mutiara ilmu yang ditulis Bung Hata di Banda Neira yang tidak disebutkan dalam buku Sejarah Banda..paling tidak pada edisi pertamanya. Buku Bung Hata itu ialah : Alam Pikiran Yunani dan Pengantar kejalan Ilmu dan Pengetahuan.
Selamat jalan Om Des..semoga jasamu akan mendapatkan imbalan yang setimpal dari Penguasa alam semesta ini, Allah Pengajar Al-Qur'an menurut Sunnah Rasul-Nya.
Djamhari