Saturday, August 8, 2009

WS Rendra Terima Gelar Doktor Honoris Causa dari UGM


Budayawan WS Rendra menerima anugerah gelar Doktor Honoris Causa di bidang kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada, Selasa, (4/3/2008). Dalam pidato pengukuhannya, Rendra membacakan orasi berjudul, "Megatruh Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu."

Tak hanya menyinggung soal budaya, isi pidato penyair yang dijuluki si Burung Merak ini juga menjelajah ke ranah politik, hukum, kemanusiaan, pertanian, riset, hak asasi manusia, kemaritiman Indonesia, hingga sejarah perjuangan untuk merefleksikan pergolakan zaman yang terjadi di Indonesia. Tokoh Pujangga Besar Ronggowarsito-lah yang menjadi ilham Rendra untuk menggambarkan zaman pancaroba yang disebut Ronggowarsito berturut-turut sebagai zaman Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba.

"Republik Indonesia tidak luput dari pergolakan zaman ini," kata Rendra.

Rendra menyebutkan, berdasar sejarah, suku-suku di Indonesia yang kuat tatanan hukum adatnya tak bisa dijajah VOC dan sukar ditaklukkan pemerintah Hindia Belanda. Suku-suku tersebut baru bisa ditaklukkan pada abad ke-19 setelah Belanda memiliki senapan. Dia mencontohkan Sulawesi Selatan baru bisa ditaklukkan tahun 1905, Toraja 1910, Bali 1910 dan Ternate 1923.

Setelah Indonesia merdeka, cara pembangunan ternyata masih menduplikasi tata cara Hindia Belanda. Akibatnya sampai saat ini Indonesia tergantung pada modal asing. Pinjaman asing menyebabkan pemerintah tersesat dalam politik pertanian dan pangan dari lembaga asing.


Bersetelan jas warna hitam berpadu dengan kemeja putih, pidato Rendra ini memperoleh pujian dari tetamu yang hadir. Tokoh Muhammadiyah Syafii Maarif bahkan menyebut isi pidato Rendra layak menjadi cetak biru bagi pedoman pembangunan dan pembenahan negara Indonesia ke depan.

"Kalau saya ikut menguji, maka nilainya A+,” kata Amien Rais. Menurut Amien, pidato Rendra relevan dengan kondisi sosial sekarang. Terutama ketika Rendra mengingatkan bahwa peristiwa sejarah berulang lagi.

Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof Sudjarwadi menyatakan pemberian gelar Doktor Honoris Causa di bidang kebudayaan kepada WS Rendra merupakan perwujudan penghargaan atas kiprah dan prestasi luar biasa yang dilakukan oleh promovendus.

Menurut Sudjarwadi, selama hampir setengah abad, tanpa mengenal lelah Rendra dinilai telah mengartikulasikan aspirasi budaya masyarakat melalui ungkapan sastra, teater, puisi, esai dan bentuk ungkapan seni lain.

Bernarda Rurit
TEMPO Interaktif, 4 Maret 2008


Renungan Indah W.S. Rendra

Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan


Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya

Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya

Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: mengapa Dia menitipkan padaku???


Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???...

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,

kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.


Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.


Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku. Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah… “ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja.”

TEMPO Interaktif, 7 Agustus 2009

No comments: